Identifikasi dan Optimalisasi Sumber Penerimaan Negara

Salah satu raihan positif dari Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 adalah pendapatan Negara yang melampaui target sebesar 102,5%. Hanya saja, penerimaan pajak yang sebesar Rp 1.315,9 triliun adalah 92,4% dari rencana Rp 1.424 triliun. Meski tak capai proyeksi 100%, realisasi penerimaan pajak 2018 merupakan yang tertinggi selama lima tahun terakhir.

Di 2019, identifikasi semua sumber utama penerimaan harus dicermati sehingga tidak ada lagi celah sumber penerimaan yang bolong.  

Penerimaan pajak layak mendapat perhatian khusus. Mengacu pada data realisasi penerimaan pajak tahun 2018, masih ada kekurangan penerimaan sebesar Rp 108,1 triliun. Lebih terinci, penerimaan pajak non-migas tahun 2018 sebesar Rp 1.251,2 triliun atau 90,3% dari target Rp 1.385,9 triliun.

Lebih lanjut, pajak non-migas terdiri atas PPh nonmigas sebesar Rp 686,8 triliun atau 84,1% dari target, PPN sebesar Rp 538,2 triliun atau 99,3% dari target, PBB sebesar Rp 19,4 triliun atau 111,4% dari target, dan pajak lainnya sebesar Rp 6,8 triliun atau 70,1% dari target.

Pencapaian ini memberikan gambaran bahwa pertumbuhan pajak non-migas tahun 2018 mencapai 13,7% atau lebih tinggi disbanding tahun 2017 yang hanya tumbuh 2,9%. Selain itu, penerimaan PPh migas sebesar Rp 64,7 triliun atau 169,6% dari target atau tumbuh 28,6% meski lebih rendah dibanding tahun 2017 yaitu 39,4%.

Tantangan penerimaan pajak tahun 2019 perlu dicermati karena tidak saja terkait dengan beban pendanaan yang semakin besar tetapi juga agenda tahun politik yang biasanya berdampak terhadap iklim sosial politik (sospol) dan berimbas pada kinerja sektor riil. Padahal, sektor riil berkepentingan terhadap kelangsungan proses produksi untuk meningkatkan kemampulabaannya dan berefek pada setoran pajak ke negara.

Selain itu, problem global terkait perang dagang antara AS dan Tiongkok juga dipastikan memberi pengaruh terhadap geliat ekonomi nasional. Oleh karena itu, dipastikan tantangan serta beban penerimaan pajak di tahun politik semakin berat.

Mengandalkan tingkat kepatuhan pajak akan terasa semakin berat, meski penerapan pembayaran pajak online juga diharapkan berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan dan berimplikasi terhadap penerimaan negara melalui sektor perpajakan. Artinya, edukasi perpajakan publik juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran kolektif dalam pembayaran pajak.

Konsistensi

Identifikasi sumber penerimaan APBN 2019 secara tidak langsung menjadi tantangan, selain faktor agenda politik nasional tetap harus dicermati sebagai persoalan tersendiri, dikaitkan dengan aspek kepatuhan wajib pajak.

Meski demikian, secara keseluruhan penerimaan negara menunjukkan kinerja yang positif. Paling tidak, penerimaan pajak sektor industri pengolahan sebesar Rp 363,60 triliun (naik 11,12%), sektor perdagangan Rp 234,46 triliun (23,72%), sector jasa keuangan & asuransi sebesar Rp 162,15 triliun (11,9%), sektor konstruksi & realestat sebesar Rp 83,51 triliun (6,62%), sektor pertambangan sebesar Rp 80,55 triliun (51,15%) dan penerimaan pajak sektor pertanian sebesar Rp 20,69 triliun (21,03%).

Hal ini mengisyaratkan bahwa meski di satu sisi penerimaan dari sejumlah sektor tersebut ada yang lebih rendah dari pencapaian tahun sebelumnya, namun secara keseluruhan ada capaian yang optimal dengan besaran rasio pajak mencapai 11,5% dari produk domestik bruto (PDB) atau lebih baik dari tahun 2017 yang hanya 10,7% dari PDB.

Fakta ini tentunya harus diapresiasi dan menjadi cambuk untuk meningkatkan kinerja di tahun 2019. Pencapaian perpajakan tersebut secara tidak langsung mengafirmasi adanya pengaruh signifikan dari program reformasi perpajakan. Meski demikian, catatan menariknya adalah bahwa pada tahun 2017 penerimaan pajak juga meleset yaitu sebesar Rp 1.147,5 triliun atau 89,4% dari target Rp 1.283,6 triliun.

Kegagalan pencapaian penerimaan pajak memang harus bisa menjadi cambuk mengejar ketertinggalan yang ada. Karenanya, mengandalkan aspek kepatuhan semata tidaklah akan berhasil sehingga perlu upaya ekstensifikasi yang lebih maksimal.

Terlepas dari pencapaian tersebut, pada sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik atau Finance Minister of The Year 2019 Global and Asia Pasific dari majalah keuangan The Banker. Bahkan, ada penegasan pula bahwa daya tahan ekonomi Indonesia relatif kuat di bawah kendali Menkeu Sri Mulyani, meski pada tahun 2018 terjadi bencana beruntun.

Prestasi sebagai Menteri Keuangan terbaik juga disematkan kepada Sri Mulyani oleh Majalah Global Markets di tahun 2018, yaitu Finance Minister of The Year Asia Pasific. Kebijakan yang digulirkan kementerian yang dipimpinnya dianggap kredibel dan efektif sehingga bisa mengatasi dua persoalan penting, yaitu pengumpulan pajak dan penyerapan anggaran.

Realisasi APBN 2018 selain mencapai pendapatan negara melampaui target sebesar 102,5%, juga menghasilkan kinerja yang sangat positif dan kredibel lainnya. Defisit 1,76% dari PDB, yang lebih kecil dari target 2,19%. Kemudian, keseimbangan primer defisit sebesar Rp 1,8 triliun, masih jauh dari target sebesar Rp 87,33 triliun.

Sementara belanja negara dapat optimal, 99,2%, dan demikian pula dengan pembiayaan anggaran yang lebih rendah Rp 25,5 triliun dari target.

Lebih Besar

Semua prestasi dan pencapaian penerimaan pajak tersebut tetap menuntut reformasi perpajakan, yang sejatinya hal ini bukanlah regulasi sesaat tapi suatu kewajiban yang memang harus dijalankan terutama untuk mengejar target penerimaan negara. Jika demikian, maka identifikasi semua sumber utama penerimaan harus dicermati sehingga tidak ada lagi celah sumber penerimaan yang bolong. Meski demikian, harapan itu harus juga ditopang oleh sumber daya manusia (SDM) di bidang perpajakan yang berkualitas.

Betapa sejarah telah mencatat kasus-kasus tindakan penyimpangan oknum perpajakan yang berdampak buruh pada citra lembaga ini dan dampaknya pada penerimaan APBN. Bagaimanapun, harus dipahami bahwa ada potensi pendefinisian keliru tentang pajak oleh wajib pajak sehingga perlu ‘disiasati’, bukan untuk “ditaati” karena pajak selalu dianggap sebagai cost.

Jika dicermati sejatinya kebijakan fiskal dan anggaran adalah senjata strategis sebagai upaya membangun fundamental keuangan negara dan sekaligus memberikan arah pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, reformasi perpajakan menjadi salah satu yang penting untuk dilakukan.

Selain itu, pertimbangan tentang pengelolaan keuangan negara yang baik, transparan, kredibel dan akuntabel sejatinya merupakan jaminan bagi pelaksanaan semua program dan proyek pembangunan. Betapa tidak, dengan kejadian bencana alam beruntun selama tahun 2018 ternyata penerimaan negara masih bisa maksimal, meski belum optimal dan tentunya ini menjadi tantangan yang sangat berat untuk 2019.

Meskipun demikian, optimisme tetap harus dipacu agar semua persoalan ekonomi global sekalipun bisa diantisipasi, termasuk misal dampak dari perang dagang ASTiongkok yang tentu dikhawatirkan merembet ke daya saing dan potensi ekspor produk nasional.

Sumber : beritasatu.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only