Menggagas Pajak Transaksi Online

DALAM Debat Calon Presiden II pada 17 Februari 2019, isu bisnis unicorn menyeruak di sela-sela sesi tanya-jawab langsung kedua kandidat. Awalnya kandidat petahana Joko Widodo yang menanyakan langsung kepada kandidat penantang Prabowo Subianto soal strategi yang akan dilakukannya dalam menghadapi geliat bisnis unicorn. 

Prabowo menjawabnya lugas dengan menyodorkan beberapa kekhawatiran terhadap perkembangan aktivitas komersial unicorn di Indonesia. Di antara poin-poin tanggapannya, Prabowo menyinggung soal kekhawatiran para pelaku bisnis unicorn terhadap rencana pemerintah mengenakan pajak atas usaha bisnis online tersebut. 
Langkah pemerintah mencoba menggarap sektor bisnis unicorn tidak jauh dari bayangan perluasan sumber pendapatan pajak baru di lahan bisnis yang baru tumbuh meraksasa lima tahun terakhir ini. Oleh karena itu, keputusan pemerintah merilis aturan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce merupakan langkah maju yang patut diantisipasi. 

Keputusan yang tertuang dalam Peraturan Menkeu 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan E-Commerce atas Transaksi Perdagangan Sistem Elektronik akan melengkapi ketentuan yang mengatur perdagangan konvensional (offline) dengan perdagangan online.

Pro-kontra terhadap pengaturan yang akan berlaku pada April 2019 sebaiknya didekati dengan dua pemahaman. Pertama bahwa implementasi kebijakan itu bagian dari meningkatkan tax-ratio Indonesia. Sejauh ini Indonesia tergolong negara yang relatif stagnan dalam melakukan reformasi pajak, termasuk menggali potensi peningkatan tax ratio habitat wajib pajak. 

Kedua, sebenarnya ketentuan pajak usaha online dalam regulasi itu tidak memberikan pembedaan dengan perdagangan konvensional yang bersifat offline. Menurut Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, semua perlakuannya tetap sama untuk sektor usaha online dan offline, terutama terhadap bisnis dengan nilai omzet sebesar Rp4,8 miliar yang berada di bawah rezim pajak 0,5% berdasarkan PP23/2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Sektor online merupakan ranah transaksi perdagangan baru yang belakangan ini berkembang sangat pesat di dunia, termasuk Indonesia. Dengan komunitas internet user sebanyak 132 juta orang, nilai digital market nasional menurut Temasek sudah mencapai USD27 miliar (2018). 

McKinsey bahkan telah memproyeksikan jauh sebelumnya bahwa hingga 2025, projected profit Indonesia berada di kisaran USD150 juta (2016). Hal itu tidak berlebihan karena jika dipotret dari pengeluaran yang dilakukan pada saat harbolnas (hari belanja nasional) misalnya selama dua hari pada 11–12 Desember 2018, nilai transaksi yang dibukukan sudah berjumlah Rp6,8 triliun (Katadata, 2018).

Dalam struktur pasar ekonomi online, aktivitas komersial industri over the top (OTT) maupun gurita marketplace yang bergeliat di sektor online memang menjadi magnet pajak yang besar. Sebaliknya jika sektor ini tidak mulai digarap dengan baik, potensi kerugian pendapatan pajak yang akan dihadapi Indonesia juga tidak kecil.

Data lima tahun silam saja menunjukkan potential loss setiap tahunnya berjumlah Rp6,9 triliun dari kerugian aktivitas komersial online yang bersifat unreported economy senilai Rp94,5 triliun (Media Ekonomi, 2013). Dengan tingkat aktivitas perdagangan online dan OTT Indonesia yang kini semakin maju, jumlah kerugian itu dipastikan juga makin besar.

Luputnya perhatian pemerintah terhadap aktivitas perdagangan online yang dikategorikan sebagai unreported economy muncul karena regulasi perpajakan yang tidak cukup progresif melakukan adjustment terhadap perkembangan perdagangan global. Pengaturan pajak aktivitas komersial online dan OTT melalui PMK 210 sebenarnya merupakan pintu (gateway) untuk menyisir tiga kelompok pemain utama dalam perdagangan online. 

Ketiga kelompok itu adalah pedagang/penyedia jasa yang berjualan dalam platform marketplace, penyedia platform marketplace, serta pelaku e-commerce di luar platform marketplace.

Identifikasi tersebut sebenarnya merupakan jawaban langsung terhadap kebutuhan reformasi pajak yang lebih progresif dalam bentuk peningkatan tax ratio. Hal ini juga sejalan dengan kecenderungan global yang diserukan melalui Agenda 2030 Sustainable Development Goals (SDGs) untuk memperluas mobilisasi sumber daya domestik (domestic mobilization Resources,DMR).Konsep DMR sendiri sebagian besar bertumpu pada optimalisasi pengelolaan sumber-sumber perpajakan nasional masing-masing negara. Mobilisasi dukungan kesuksesan SDGs melalui sumber-sumber perpajakan diperkirakan akan mendominasi guliran penguatan kebijakan pajak nasional di berbagai negara. 

Dalam konteks multilateral, ambisi untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber pajak baru sudah terlihat pada upaya mengaktifkan prinsip-prinsip perpajakan dalam base erosion and profit shifting (BEPS)yang sekarang terus dimatangkan dalam kerangka G-20. Indonesia juga melakukan Mutual Legal Assistance (MLA), dan Automatic of Exchange Information (AoEI) yang masih merupakan bagian dari upaya pertukaran informasi keuangan secara lebih terbuka bagi kepentingan langkah-langkah taxation.

Ini artinya upaya memajaki lahan bisnis online sebenarnya hal yang lumrah dilakukan banyak negara sebagai konsekuensi dari munculnya bidang-bidang hubungan ekonomi baru di tengah komunitas bisnis global. Indonesia perlu beradaptasi dengan pergeseran itu dengan melakukan antisipasi kebijakan di sektor pajak nasional terhadap bisnis online yang tumbuh subur. Sudah saatnya memang kita mengoptimalkan pendapatan negara yang dapat digenjot dari sektor yang selama ini cukup terabaikan di tengah potensi besar pendapatan.

Sumber: Sindonews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only