Tahun Ini, Ditjen Pajak Intip Kekayaan WNI di 94 Negara

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengatakan akan bisa mengintip data wajib pajak (WP) yang menjadi nasabah jasa keuangan luar negeri di 94 negara. Jumlah tersebut meningkat dibanding 2018 yang baru 66 negara.

Kepala Sub Direktorat Pertukaran Informasi Direktorat Perpajakan Internasional DJP Leli Listianawati mengatakan data tersebut diterima sebagai bagian dari dampak pertukaran data nasabah secara otomatis untuk kepentingan perpajakan  (Authomatic Exchange of Information/ AEoI). Dengan pertukaran data ini, maka Indonesia juga berkewajiban memberikan data Warga Negara Asing (WNA) yang mempunyai rekening jasa keuangan di dalam negeri.

Sayangnya, ia tidak menyebut nama-nama negara yang mengirimkan data rekening data wajib pajak WNI di luar negeri ke Indonesia. Begitu pula dengan negara tujuan pengiriman data nasabah dari Indonesia.

Adapun di tahun ini, Indonesia akan menyerahkan data nasabah ke 81 yurisdiksi atau lebih banyak dibanding tahun lalu yang hanya. “Setiap tahun memang akan bertambah karena negara yang wajib melakukan AEoI kan ikut bertambah,” jelas Leli, Kamis (14/3).

Sejauh ini, DJP mengaku puas dengan pelaksanaan AEoI yang dimulai sejak September kemarin ini. Sebab, informasi aset keuangan WP di luar negeri yang sudah diterima DJP selama ini ternyata hampir sama dengan analisis jumlah aset keuangan kala DJP menyusun kajian akademis dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Leli bilang, kini DJP sudah mencatat Rp1.200 triliun aset keuangan WP di luar negeri, atau hampir sama dengan estimasi sebelumnya yang penyusunannya dibantu oleh perusahaan konsultan asal Amerika Serikat, McKinsey and Company. Melalui data yang sudah diterima, DJP menemukan bahwa aset-aset keuangan tersebut ada yang belum dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan dan kebijakan pengampunan pajak (Tax Amnesty) 2016 hingga 2017 silam.”Kami harapkan tahun ini bisa bertambah lagi datanya karena semakin banyak data yang kami himpun,” imbuh dia.Namun demikian, saat ini DJP masih belum selesai memproses data-data tersebut. Menurutnya, masih diperlukan pencocokan keterangan antara data milik DJP dengan data yang dikirimkan lembaga jasa keuangan luar negeri. Jika AEoI sudah optimal, ia berharap tingkat kepatuhan pajak di Indonesia bisa membaik.

“Kami inginnya bisa seperti Norwegia dan negara-negara maju (OECD) bahwa tingkat kepatuhan pajak di tahun pertama meningkat 20 persen setelah penerapan AEoI,” pungkas dia.

AEoI sendiri merupakan satu dari beberapa kesepakatan pertukaran data nasabah yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara lain. Sebelumnya, Indonesia sudah melakukan pertukaran dokumen pajak per negara (Country by Country Report/CbCR) melalui perjanjian bilateral. CbCR sendiri merupakan upaya untuk mencegah transfer pricing, yakni pengalihan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari satu negara ke negara lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah.

Sesuai UU Nomor 9 Tahun 2017, data yang bisa dipertukarkan dengan negara lain mencakup identitas pemilik rekening, nomor rekening, identitas lembaga keuangan, saldo rekening per 31 Desember 2017, dan penghasilan yang diperoleh dari rekening (bunga).

Data lembaga jasa keuangan internasional yang dapat diintip DJP adalah nasabah yang memiliki rekening keuangan mulai dari US$250 ribu yang telah dibuka sebelum 1 Juli 2017. Sedangkan untuk rekening keuangan lainnya, tak ada batasan saldo minimum.

Sebaliknya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2017, lembaga jasa keuangan di dalam negeri harus melaporkan data nasabah dengan rekening bernominal minimum Rp1 miliar per 31 Desember 2017 paling lambat pada 30 April 2018. 

Sumber: CNN Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only