Meski Impor Gula Naik 216%, NPI Surplus US$0,33 Miliar

Meski Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia (NPI) Februari 2019 surplus sebesar US$ 0,33 miliar, impor gula dan kembang gula pada bulan yang sama mengalami kenaikan US$100,9 juta, atau meningkat 216,99%.

Melihat data tersebut, Menkeu Sri Mulyani Indrawati akan terus mewaspadai kondisi neraca perdagangan Februari 2019 yang mengalami surplus US$0,33 miliar. “Pemerintah akan tetap terus waspada. Kenapa? Karena ini positifnya terdiri dari dua-duanya negatif yaitu ekspornya negatif 10,3%, impornya turun lebih dalam lagi,” ujarnya di Desa Sindangsari, Kabupaten Serang, Banten, Jumat (15/3).

Menurut dia, pemerintah akan mengevaluasi kondisi tersebut, untuk mencari faktor penyebabnya. Dia pun mengerucut karena musiman atau akibat pelemahan ekonomi dunia. “Jadi kita juga harus lihat faktor-faktor apakah ini bentuknya seasonal karena biasanya bulan Februari, Maret ini adalah faktor musiman penurunan ataukah ada sesuatu yang sifatnya lebih fundamental seperti dampak dari pelemahan ekonomi dunia,” ujar Sri Mulyani.

Menkeu juga akan mengevaluasi kemungkinan penurunan impor, disebabkan oleh penggantian barang impor dengan yang ada di dalam negeri. Jika tidak, dia khawatir kegiata produksi industri akan terganggu. “Jadi kita nanti kita akan lihat statistiknya lebih dalam, tetapi paling tidak dengan surplus ini memberikan suatu sinyal positif kepada kita namun masih banyak dan masih harus kita lakukan,” tutur dia.

Sebelumnya BPS merilis neraca perdagangan Februari 2019 yang mencatatkan surplus US$0,33 miliar. Hal ini berbanding terbalik dibandingkan Januari 2019 yang mengalami defisit US$1,16 miliar dan Februari 2018 yang defisit US$120 juta.

Ekspor Indonesia pada Februari juga mengalami penurunan 10,03% dibandingkan Januari 2019. Nilai ekspor Indonesia pada Februari tercatat US$12,53 miliar. Sedangkan impor pada Februari 2019 juga menurun drastis yaitu 18,61% menjadi US$12,2 miliar dibandingkan impor Januari 2019 US$14,99 miliar.

Menurut Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, penurunan impor paling tajam terjadi pada golongan barang konsumsi sebesar 18,77%, diikuti bahan baku penolong 7,6% dan barang modal sebesar 2,32%.

Dia memperkirakan, penurunan impor khususnya yang terjadi pada barang konsumsi merupakan dampak dari pengenaan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor untuk 1.147 komoditas barang. Kebijakan ini sendiri telah diterbitkan sejak September 2018. “Pemerintah menerapkan beberapa kebijakan untuk kendalikan impor, misalnya komitmen kendalikan impor barang konsumsi 1.147 komoditas, PPh dinaikan, itu mulai berdampak,” ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, pada Februari 2019, impor barang konsumsi memang mengalami penurunan. Hanya komoditas buah-buahan yang mengalami kenaikan 16,2% dari US$65,8 juta menjadi US$76,5 juta. Salah satunya terjadi pada impor jeruk mandarin. “Impor konsumsi turun. Kalau jeruk mandarin (naik) karena ada tahun baru China, karena kan memang butuh buah-buahan khusus. Tapi ini lebih karena seasonality,” ujarnya.

Sementara itu, di antara komoditas nonmigas lain, gula dan kembang gula mengalami peningkatan impor paling besar. Tercatat, impor gula dan kembang gula pada Februari 2019 mengalami kenaikan sebesar 216,99% atau senilai US$100,9 juta.

Pada Januari 2019, impor gula dan kembang gula sebesar 59 ribu ton senilai US$19 juta. Sedangkan di Februari 2019, impor gula tercatat sebesar 384 ribu ton senilai US$128 juta. “Golongan gula dan kembang gula mengalami peningkatan terbesar,” ujar Suhariyanto.

Berdasarkan data BPS, sejak 2008, impor gula memang cenderung mengalami kenaikan. Pada 2008, impor gula Indonesia sebesar 1,01 juta ton senilai US$366 juta, pada 2009 sebanyak 1,37 juta ton senilai US$568 juta, pada 2010 sebanyak 1,78 juta ton senilai US$1,11 miliar,

Kemudian pada 2011 sebanyak 2,5 juta ton dengan nilai US$1,73 miliar, pada 2012 sebanyak 2,76 juta ton senilai US$1,63 miliar, pada 2013 sebanyak 3,34 juta ton senilai US$1,73 miliar, pada 2014 sebanyak 2,96 juta ton senilai US$1,32 miliar, pada 2015 sebanyak 3,37 juta ton senilai US$1,25 miliar.

Pada 2016 sebanyak 4,76 juta ton senilai US$2,09 miliar, pada 2017 sebanyak 4,48 juta ton senilai US$2,07 miliar, pada 2018 sebanyak 5,02 juta ton senilai US$1,79 miliar dan pada 2019 hingga Februari sebanyak 444 ribu ton senilai US$147 juta.

Sumber: neraca.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only