Mengelola Kesadaran Pajak

Pekan lalu pemerintah melalui Kementerian Keuangan memberikan penghargaan kepada 30 wajib pajak (WP) terdiri dari 24 badan usaha dan enam orang WP pribadi, sebagai pembayar pajak terbesar kepada negara. Penerimaan pajak dari WP besar tersebut mencapai Rp 418,73 triliun atau sekitar 31,8% dari total penerimaan pajak 2018.

Acara ini sejatinya rutin dilaksanakan tiap tahun. Akan tetapi, gelaran untuk tahun ini terasa agak berbeda. Pertama, apresiasi kepada WP besar terjadi tatkala kritik terhadap kenaikan utang negar masih terus berlangsung. Sepertinya, pemerintah ingin menyampaikan pesan pendanaan belanja juga ditempuh lewat peningkatan penerimaan pajak.

Kedua, kenaikan penerimaan negara pada APBN 2018 melampaui target (102,5%). Namun sayangnya, penerimaan perpajakan masih terjadi kekurangan (shortfall) sebesar Rp 108,1 triliun dari sasaran awal. Alhasil, penghargaan kepada WP besar menjadi semacam pengakuan atas kontribusi mereka terhadap kondisi keuangan negara.

Ketiga, penghargaan terhadap besarnya kontribusi WP besar bersamaan dengan pemberlakuan Pertukaran Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Program ini memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk mengintip basis pajak dari industri keuangan. Akibatnya, besarnya kontribusi WP besar merupakan hal yang wajar.

Beberapa argumen di atas tetap belum mampu mendongkrak secara signifikan rasio pajak dengan produk domestik bruto (PDB). Rasio pajak beranjak sedikit dari 10,7% dari PDB pada 2017, ke posisi 11,5% pada tahun lalu. Artinya, untuk mengejar target rasio pajak 12,2% pada tahun ini, sokongan dari wajib pajak menengah dan kecil tetap diperlukan.

Momentum untuk itu sudah diinisiasi. Untuk UMKM, misalnya, pemerintah telah memangkas pajak penghasilan (PPh) menjadi 5%. Dengan porsi 90% bangun usaha di Indonesia adalah UMKM, setoran pajak dari segmen ini niscaya sangat material untuk menggenjot penerimaan perpajakan.

Hal yang sama juga terjadi pada PPh Orang Pribadi. Meski tarif pajak tidak dipangkas, pemerintah menaikkan batas PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) dari Rp 3 juta per bulan menjadi Rp 4,5 juta per bulan. Artinya, individu yang sebelumnya terkena PPh bisa jadi tidak lagi menjadi wajib pajak yang secara implisit adalah terkena pemotongan pajak juga.

Secara teoretis, pemangkasan tarif pajak akan diikuti dengan kenaikan kepatuhan pajak. Logikanya, dengan beban pajak yang lebih rendah, wajib pajak baru akan terdorong untuk ikut membayar pajaknya, sementara yang lama akan merasa lebih ringan dalam menunaikan semua kewajiban fiskalnya.

Kepatuhan pajak (tax compliance) tampaknya menjadi kata kuncinya. Padahal, jika kepatuhan pajak para WP bisa dirawat, penerimaan negara dari pos perpajakan bisa diandalkan sebagai sokoguru APBN. Tesis ini tidak berlebihan jika menilik lebih jauh atas potensinya.

Jumlah penduduk yang berstatus pekerja mencapai 115 juta jiwa. Artinya, terdapat potensi sekitar 85 juta wajib pajak yang belum terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan. Bahkan kalau dikurangi dengan mereka yang pendapatannya di bawah PTKP sekalipun, angkanya masih sangat signifikan.

Besarnya potensi penerimaan yang belum tergarap niscaya lebih besar lagi jika mempertimbangkan keakuratan laporan pajaknya. Dari yang memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), berapa yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT). Dari yang melaporkan SPT-nya, berapa yang mengisi dan membayar pajaknya dengan benar.

Ini penting, mengingat pembayaran pajak di Indonesia menganut sistem self assessment. Pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada WP untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh kewajiban pajaknya. Pemerintah juga punya wewenang memeriksa kewajaran laporannya.

Gali potensi pajak

Sayangnya, kewenangan pemeriksaan pajak, andai ditemukn kejanggalan, jarang sampai pada pengadilan pajak. Jika terjadi, butuh waktu paling tidak tiga tahun untuk memutuskan perkara pidana pajak. Penyelesaian sengketa pajak kebanyakan berakhir pada denda yang perhitungannya bisa dirundingkan.

Kenyataan di atas mengindikasikan problem rendahnya penerimaan pemerintah dari sektor perpajakan terkait dengan banyak aspek. Aspek yang paling utama adalah regulasi yang sedemikian rupa  mampu mengondisikan  kepatuhan WP dalam memenuhi kewajibannya.

Konsekuensinya, sistem self assessment menghendaki penegakan hukum (law enforcement) yang bisa dipercaya. Hal ini penting untuk menimbulkan efek jera, sekaligus bentuk apresiasi lain terhadap WP yang patuh.

Pentingnya regulasi dan penegakan aturan harus didukung oleh subjek pajak yang terkena aturan tersebut. Oleh karenanya, masalah pajak tidak hanya semata-mata terkait dengan aspek kepatuhan melainkan sudah masuk pada masalah yang lebih hakiki, yaitu kesadaran wajib pajak (tax awareness).

Sebagai contoh, orang cenderung akan menyembunyikan pendapatan yang sebenarnya agar nilai pajak yang dibayarkan lebih rendah. Atau, pendapatan yang sebenarnya telah dia laporkan sebagai dasar pembayaran pajak, sementara pendapatan dari sumber lain, dari aktivitas daring, misalnya, tidak diungkap.

Praktik-praktik penyimpangan dalam pembayaran pajak yang intinya menunjukkan rendahnya kesadaran wajib pajak semacam itulah yang paling realistis dikejar pemerintah. Hal ini relevan untuk mengonversi potensi penerimaan menjadi penerimaan efektif guna memenuhi target penerimaan pajak.

Dalam kondisi ekonomi yang rentan terhadap gejolak eksternal, tidak bijak apabila upaya mengejar target pajak dilakukan dengan ekstensifikasi pajak. Ekstensifikasi pajak yang dibangun tanpa pondasi kesadaran membayar pajak yang kuat akan kontraproduktif tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga bagi masyarakat luas.

Dengan perspektif ini, kesadaran WP perlu dikelola dengan peningkatan pelayanan melalui kemudahan pembayaran, pelaporan, dan akses informasi perpajakan. Lantas, wajib pajak perlu memperoleh jaminan bahwa setoran pajaknya dialokasikan konkret pada belanja yang membawa kemaslahatan rakyat.

Beberapa catatan di atas setidaknya akan menumbuhkan kepercayaan wajib pajak dalam membayar pajak. Alhasil perilaku 3F, yaitu: tidak jujur (fraud) untuk menghindar, melawan (fight) dengan penggelapan, dan memindahkan (flight) objek pajaknya ke luar negeri, tidak bakal terjadi lagi.

Sumber: Harian Kontan


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only