Jakarta. Produksi minyak dan gas (migas) di Indonesia kian menipis. Salah satunya dipengaruhi oleh investasi di bidang eksplorasi dan produksi migas yang juga mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penurunan terjadi sejak 2013. Menurut Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya, investasi migas di Indonesia tidak lagi menarik.
Berly bilang hal ini dipengaruhi oleh persepsi kebijakan yang berlaku. Berdasarkan global petroleum survey 2018, skor persepsi kebijakan Indonesia masih di bawah Texas, Rusia, Mesir, Mozambik, Algeria, dan Nigeria. Hal itu ditandai dengan blok-blok lelang yang kurang diminati.
“Kita cuma bagus dengan negara-negara yang sedang berkonflik seperti Irak, Libia, dan Venezuela,” kata dia dalam diskusi bertajuk tantangan dan opsi solusi revitalisasi sektor migas Indonesia, di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2019.
Berly mengatakan berdasarkan survei yang dilakukan PWC ada beberapa penyebab yang menghambat investasi. Misalnya terkait dengan kontrak yang berubah-ubah. Sejak 2017 Indonesia menerapkan skema kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC) gross split dari sebelumnya cost recovery.
Kelamahan skema ini hanya diterapkan melalui payung hukum peraturan pemerintah (PP). Ini dinilai kurang kuat ketika nantinya pemerintahan berganti. Sehingga menurut Berly perlu dikuatkan dalam bentuk Undang-Undang.
Lalu konsistensi kebijakan antara kementerian yakni Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian yang berbeda-beda. Lalu adanya regulasi baru seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 218 tahun 2014 tentang tata cara pengembalian kembali pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah terhadap kontraktor hulu migas.
Kemudian ketidakpastian terkait cost recovery dan audit dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) atau Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta tidak adanya badan khusus yang menyelesaikan perselisihan antara departemen kelembagaan.
Di sisi lain sistem tata kelola dan kontrak migas di Indonesia yang berlaku saat ini pun dinilai belum tepat. Dengan PSC gross split, Indonesia masih berada di bawah tiga kaki dalam menjalankan kegiatan hulu migas yakni di bawah dominasi pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM, perusahaan minyak nasional (national oil company/NOC) serta regulator dalam hal ini SKK Migas.
Dia menilai seharusnya dengan skema PSC yang berlaku dominasi kontrol bisa dilakukan oleh NOC. Oleh karena itu Berly mendukung apabila ada badan usaha khusus (BUK) migas seperti yang tengah dibahas dalam revisi UU Migas. BUK diberi kuasa untuk mengurusi bisnis hulu migas.
“Indonesia untuk koordinasi kan agak susah. Makin banyak lembaga makin susah koordinasinya,” jelas dia.
Sumber : medcom.id
Leave a Reply