Tantangan Ekonomi 2019

Sepanjang tahun 2018, Indonesia mengalami perjalanan yang berat. Secara ekonomi, tahun lalu diselimuti awan tebal “ketidakpastian” global yang cukup tinggi. Titik episentrum yang utama bersumber dari normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) melalui kenaikan suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR). Sumber ketidakpastian kedua adalah sengketa dagang dua raksasa ekonomi dunia, AS melawan Tiongkok.

Dua isu utama tersebut membuat pasar finansial global terguncang, bursa-bursa dunia terjangkit turbulensi, utamanya negara-negara pasar berkembang. Tapi, untunglah, di penghujung tahun, bursa Indonesia masih berperforma paling berkilau di Asia Tenggara dan nomor dua di Asia Pasifik. Walau sepanjang tahun berjalan, indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat terkoreksi 2,54 persen. Dibanding bursa negara lain yang terjerembab lebih dalam, tentu pencapaian tersebut terbilang cukup baik.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah tercatat sempat terdepresiasi sekitar 7 persen selama tahun lalu. Sementara itu, Bank Indonesia memprediksi laju inflasi 2018 hanya sedikit di atas 3 persen. Ini jauh di bawah target APBN 2018 sebesar 3,5 persen. Di atas kertas, kondisi fiskal hingga akhir Desember juga terbilang solid, dengan realisasi defisit di bawah target, bahkan digadang-gadang sebagai terendah sejak 2012. Hal tersebut bisa terjadi karena realisasi penerimaan tahun lalu melampaui sasaran. Hal ini diuntungkan tingginya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Tahun 2019 ini, diperkirakan pengaruh global tak semencekam tahun lalu. Bank Sentral AS diduga kuat hanya akan menaikkan suku bunga acuan dua kali. Sementara itu, tensi perdagangan AS-Tiongkok juga diramalkan akan mereda. Namun tidak berarti jalan yang membentang akan mulus-mulus saja. Ekonomi Indonesia masih didera luka berupa defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) karena neraca perdagangan tekor.

Dari data bulanan selama 11 bulan tahun lalu, Indonesia hanya mengenyam surplus perdagangan pada Maret dan September. Neraca perdagangan Januari–November 2018 menderita defisit 7,51 miliar dollar AS. Ini kontras dengan periode sama tahun 2017 yang menorehkan surplus sebesar 12,08 miliar dollar AS.

Namun, tren CAD terlihat kian membaik. Hal ini selaras dengan berbagai kebijakan pengetatan impor. Di antaranya, penaikan tarif pajak 1.147 barang konsumsi, mandatory percampuran minyak sawit ke dalam bahan bakar minyak (BBM), dan kewajiban menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di perbankan nasional. Kemudian, pembukaan pintu yang cukup lebar untuk investor asing melalui kebijakan relaksasi Daftar Negatif Investasi.

Atas dasar berbagai pancapaian itu, sejatinya Indonesia bisa sedikit lebih lega dalam menempuh tahun 2019. Apalagi dari sisi pertumbuhan ekonomi, tak ada satu pun lembaga dan ekonom, domestik ataupun asing, yang meragukan bahwa pada 2019 akan lebih baik dari 2018. Konsumsi masyarakat masih akan menjadi penghela utama, dengan kontribusi minimal 55 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Ditambah pula dengan adanya pesta demokrasi, pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg), dan DPD pada bulan 17 April. Pendongkrak sektor konsumsi lainnya, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) setidaknya 8 persen. Sedangkan laju inflasi diperkirakan tetap rendah, sehingga kekhawatiran atas penurunan daya beli bisa ditepis.

Tugas Berat

Namun, pemerintah masih memiliki beberapa tugas berat, di antaranya pemerintah harus lebih fokus pada perbaikan CAD, terutama membenahi neraca perdagangan. Jadi, pemerintah harus lebih kreatif dalam mencari pasar ekspor nontradisional, menjalin perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa kawasan penting. Kemudian, membenahi sektor industri hulu hingga hilir dan mengekspor barang-barang bernilai tambah tinggi. Pemerintah juga perlu mengerem impor migas serta berbagai kebijakan strategis lain. Ini tak bisa ditunda untuk menyembuhkan dua penyakit kronis ekonomi nasional tersebut.

Untuk membenahi neraca dagang dan defisit transkasi berjalan, pemerintah juga harus segera menyelesaikan persoalan struktur pertumbuhan ekonomi. Contoh pada triwulan dua 2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen (yoy). Sementara itu, triwulan tiga, angkanya menyusut menjadi 5,17 persen. Konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) memang terpantau cukup dominan, ditambah dengan konsumsi LNPRT. Namun persoalannya, konsumsi rumah tangga terutama di perkotaan semakin terkontaminasi barang-barang impor. Dominasi produk asing yang dijual lewat e-commerce sangat terasa, misalnya. Walaupun pembayaran bisa lewat rupiah, penyelesaian ke produsen menggunakan valas.

Kondisi semacam ini akan menambah ketergantungan ekonomi nasional pada barang impor. Ini bukan hanya pada bahan baku/penolong, barang modal, melainkan juga barang konsumsi. Dengan kata lain, kapasitas produksi nasional terseret turun. Lihat saja, pada Januari–Agustus 2018, misalnya, impor barang konsumsi tumbuh hingga 27 persen (yoy). Ini tertinggi kedua setelah pertumbuhan barang modal 29 persen (yoy). Bahkan di tahun 2017, angkanya sempat sampai 30 persen. Kondisi yang sama juga terlihat dari data ekspor yang makin kurang menggembirakan.

Perlu pengelolaan harga. Inflasi tahunan terpantau memang cukup rendah, bahkan selama September sebesar 2,88 persen, misalnya. Inflasi barang bergejolak bergerak 3,75 persen. Sayangnya, pengelolaan inflasi volatile food tidak menggunakan sumber daya lokal. Misalnya, impor beras dan jagung yang dilakukan secara masif di tengah-tengah panen petani. Selain menyakitkan petani, impor tentu membutuhkan valas. Impor yang tidak direncanakan sebelumnya tersebut akan diikuti pemburuan dollar di pasar.

Dari sektor perbankan, rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) di atas 20 persen dari level minimal 8 persen. Kemudian, rasio kredit bermasalah atau nonperforming loans hanya rerata 2,76 persen. Ini masih jauh dari alarm 5 persen. Akan tetapi, gejolak seperti beberapa bulan lalu akan mengekor ke bank-bank pemilik likuiditas rendah. Jika hipotesis tersebut benar, pemerintah sangat perlu mengawal likuiditas bank, terutama di kelompok buku 1 dan 2. Lebih dari itu, saat nilai tukar tertekan, kelompok buku 3 dan 4 sebenarnya juga sensitif. Sebab sebagian besar merupakan bank devisa yang memiliki keterkaitan langsung dengan nilai tukar.

Kemudian, perlu mencermati cadangan devisa. Pada Agustus 2018 lalu cadangan devisa mencapai 117,9 miliar dollar AS. Ini setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor, jika ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka tersebut memang masih jauh dari batas standar internasional sebesar 3 bulan impor, namun masalahnya, porsi hot money pada cadangan devisa yang berasal dari investasi portofolio, ternyata cukup tinggi.

Dana tersebut akan mudah kabur jika ada sedikit saja guncangan atau shock. Maka, rekayasa kebijakan investasi khusus untuk FDI harus dilakukan. Tambah lagi berjuang habis-habisan untuk menggenjot ekspor nasional. 

Sumber: Koran-jakarta.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only