Membongkar Kartel Tiket Pesawat

Sudah tiga bulan berlalu, permasalahan lonjakan harga tiket pesawat belum mencapai titik temu hingga kini. Bahkan masalah tersebut sudah menebarkan efek buruk ke perekonomian. Salah satunya adalah soal penurunan jumlah wisatawan yang cukup signifikan di daerah wisata.

Imbasnya, roda perekonomian daerah yang ditopang oleh sektor pariwisata terancam ikut mandek. Kemudian, industri kerajinan, makanan berskala UMKM hingga industri perhotelan juga terkena efeknya.

Bahkan kondisi ini bisa merembet ke perekonomian nasional yang saat ini sedang gencar-gencarnya meningkatkan sektor pariwisata, untuk menggenjot konsumsi dan devisa. Padahal generasi milenial saat ini lebih memilih untuk berwisata daripada mengkonsumsi sandang, pangan, papan. Geliat ekonomi seperti itu terancam akan melambat gara-gara harga tiket pesawat yang sudah tidak terjangkau lagi.

Sinyal ini dibuktikan oleh data terbaru dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan penurunan jumlah penumpang domestik sebesar 12,55% (yoy). Di sisi lain penerbangan ke luar negeri justru meningkat 11,27% (yoy). Disinyalir ada pergeseran permintaan dari penerbangan domestik ke luar negeri yang disebabkan oleh mahalnya harga tiket pesawat domestik.

Berbagai alasan dicoba dilontarkan oleh pihak maskapai ataupun pemerintah melalui Kementerian Perhubungan. Dari mulai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga harga avtur yang dianggap sebagai biang kerok dari mahalnya harga tiket pesawat. Kalau karena faktor PPN, yang patut dipertanyakan adalah berapa porsi PPN terhadap harga tiket?

Selain itu, harga avtur juga dinilai tidak masuk akal jika dijadikan kambing hitam permasalahan mahalnya harga tiket pesawat seperti yang disampaikan oleh INACA.

Namun, data menunjukkan bahwa harga avtur di Bandara Soekarno-Hatta yang dipasok oleh Pertamina justru lebih murah dibandingkan dengan Shell yang menjual avtur di Bandara Changi Singapura dan Malaysia. Bahkan harga avtur diakui Kementerian BUMN terus menurun sejak November tahun lalu.

Kondisi itu sejalan dengan penurunan harga minyak dunia pada akhir 2018 hingga awal tahun ini. Jadi, harga avtur yang punya kontribusi sekitar 40% – 45% dari total biaya perusahaan penerbangan, bukanlah jadi penyebab utama mahalnya harga tiket pesawat.

Menyanggah Garuda

Salah satu dugaan penyebab mahalnya tiket pesawat yang paling mendekati kebenaran adalah dugaan adanya praktik kartel yang dilakukan oleh perusahaan maskapai penerbangan dalam menentukan harga. Salah satu sinyal dari dugaan tersebut adalah maskapai penerbangan secara bersama-sama menurunkan harga ketika masalah mahalnya harga tiket pesawat mencuat. Bukan tidak mungkin ketika menaikkan harga pun mereka sebelumnya sudah bersepakat.

Dalam sebuah diskusi tempo hari, penulis sudah membeberkan fakta-fakta yang memperkuat dugaan penulis tentang adanya kartel dalam tiket pesawat. Namun, hal ini mendapatkan tanggapan dari Direktur Utama Garuda Indonesia yang mempertanyakan dugaan kartel dengan alasan beda segmen penjualan maka tidak mungkin melakukan praktik yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5/1999 tersebut. Namun penulis menyayangkan bantahan tersebut bersifat sangat defensif dan mempertanyakan dari pembedaan segmen dari Direktur Utama Garuda Indonesia.

Dalam teorinya, suatu barang dikatakan bersaing dalam pasar yang sama apabila mempunyai efek substitusi atau saling menggantikan satu sama lain. Kenaikan harga tiket pesawat di salah satu maskapai akan membuat permintaan dari maskapai pesaingnya berubah.

Jika tiket pesawat Citilink meningkat, maka opsi yang dapat diambil konsumen kelas low cost carrier (LCC) tentu adalah Lion Air. Begitu juga sebaliknya. Sangat kecil kemungkinan konsumen tersebut berpindah ke maskapai udara yang mempunyai harga di atas harga LCC.

Pasar di jenis penerbangan LCC sangat terkonsentrasi pada dua pemain besar, Lion Air (Lion Air Grup) dan Citilink (Garuda Indonesia Grup). Pangsa pasar Lion Air di LCC mencapai 65%, sedangkan Citilink sebesar 25%. Pesaing terdekat hanya Nam Air yang memiliki pangsa pasar 6% saja.

Setelah operasional Sriwijaya Grup diambil alih oleh Garuda Indonesia, praktis konsentrasi dua grup besar (diukur melalui concentration ratio atau CR2) perusahaan LCC mencapai 96% (Lion Air Grup dan Garuda Indonesia Grup+Sriwijaya Air).

Nilai Herfindhal-Hirschman Index (HHI) untuk pasar ini mencapai lebih dari 1800 dan tambahan nilai HHI dari bergabungnya Sriwijaya Air ke Garuda Indonesia Grup mencapai lebih dari 200. Maka dapat diduga kondisi ini bisa menimbulkan praktek kartel. Sriwijaya Grup juga dinilai sebagai maverick, yaitu perusahaan yang dinilai menjadi perusahaan perusak kemapanan dua perusahaan besar.

Dilihat dari skala grup perusahaan, kondisi persaingan tidak jauh beda dengan Lion Air Group sebagai leader. Tahun 2017, Lion Air Group menguasai setengah dari pangsa pasar penerbangan Indonesia. Garuda Indonesia Group menggenggam pangsa pasar 33%, dan Sriwijaya Grup memegang sekitar 13%. Jadi jika digabungkan Garuda Indonesia Grup menguasai 46% setelah mengambil alih Sriwijaya Air. Nilai CR2 nya mencapai 96% dan pasar mengarah kepada duopoli secara grup.

Dengan kondisi tersebut monopoli power dari kedua perusahaan tersebut sangat memungkinkan untuk mengatur harga. Terlebih saat ini tengah muncul kasus kesepakatan antara agen tiket online dengan perusahaan maskapai untuk menguntungkan perusahaan maskapai dengan cara menghilangkan pesaing lainnya.

Dari temuan awal itu saja kita bisa melihat bahwa dua perusahaan besar industri penerbangan nasional menguasai hampir seluruh pasar penerbangan domestik. Tidak adanya perusahaan penerbangan lain yang muncul, membuat penulis pesimistis harga tiket pesawat bisa bersaing.

Semoga pemerintah mendorong perusahaan penerbangan baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk bersaing di industri penerbangan domestik.

Sumber: Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only