Bisnis Kantong Plastik Terjepit Beleid

November 2018 lalu, seekor bangkai paus terkapar di pinggir pantai Pulau Kapota, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Spesies paus jenis sperm whale dengan panjang 9,5 meter dan lebar 4,37 meter itu tewas mengenaskan dengan 5,9 kilogram sampah plastik bersarang di perutnya.

Kematian paus naas itu berhasil membetot perhatian media massa, tak terkecuali di media sosial. Banyak pembicaraan terkait sampah plastik yang membanjiri lautan. Kondisi itu memaksa pemerintah membuat sikap, termasuk pemerintah daerah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan imbauan agar pemerintah daerah membuat regulasi pengurangan sampah plastik di daerah. Gayung bersambut, satu per satu pemerintah daerah membuat inisiatif dan merilis regulasi, salah satunya regulasi pelarangan penggunaan kantong plastik di daerah.

Sejumlah kepala daerah berusaha ambil momentum dari isu populis itu dengan membuat regulasi pelarangan pemakaian plastik yang diklaim sebagai regulasi ramah lingkungan. Hanya dalam tempo waktu empat bulan, sudah ada 20 daerah yang memiliki aturan larangan menjual kantong plastik itu.

Regulasi itulah yang membuat pengusaha kantong plastik kelabakan. Semula mereka memproyeksikan adanya kenaikan permintaan di tahun politik. Namun yang terjadi sebaliknya. “Permintaan turun, peritel langganan kami tak lagi membeli kantong plastik,” kata Stanley Lay, pemilik CV Gemini Mas Plastik di Surabaya.

Berdasarkan cerita Stanley, saban bulan ia rutin memasok 20 ton kantong plastik untuk peritel modern di Samarinda dan Balikpapan. Namun sejak kedua daerah itu menerapkan aturan larangan menyediakan kantong plastik di ritel modern mulai Januari 2019, sejak itulah Stanley kehilangan pesanan dari langganannya.

Dari 100 ton produksi kantong plastik di pabriknya ada di Surabaya, sekitar 20% untuk kebutuhan ritel modern di Kalimantan. Adapun 80% sisa produksinya untuk memenuhi pasar tradisional baik di Kalimantan maupun di Jawa.

Penurunan produksi kantong plastik tentu berdampak ke kinerja perusahaannya. Mesin yang biasanya bekerja maksimal dan efisien, sekarang kerja minimal. Begitu juga dengan pekerja, Stanley terpaksa menyetop kontrak kerja dengan beberapa pekerja. “Mau tak mau harus kami hentikan, karena order kami berkurang,” jelasnya.

Tak hanya di Surabaya, produsen kantong plastik PT Asia Recycle Mandiri di Kota Solo, Jawa Tengah juga mengeluhkan kondisi serupa. Pesanan kantong plastik yang rutin datang ke meja bagian pemasaran, sejak Januari turun drastis.

Enny Wibisono, Direktur PT Asia Recycle Mandiri bilang, penurunan pesanan terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang selama ini memenuhi permintaan kantong plastik untuk daerah Bali. “Sejak Denpasar melarang pemakaian kantong plastik di ritelnya, penjualan kami melalui distributor di NTB turun dan sejak Januari sudah tidak pesan lagi,” jelas Enny.

Sama dengan Stanley, Enny terpaksa merumahkan sebagian kecil tenaga kerjanya. Dari 500 orang karyawan operator mesin produksi, Enny merumahkan 21 orang. “Kami terpaksa harus meliburkan 4% dari pekerja kami,” ungkap Enny.

Tentu tak hanya Stanley dan Enny saja, ada ratusan produsen kantong plastik yang berpotensi kehilangan pendapatan karena regulasi dari pemerintah daerah itu. Stanley bilang, perusahaan kantong plastik yang paling terpukul adalah perusahaan skala menengah atas yang punya konsumen dari peritel nasional atau peritel skala lokal. “Saya masih beruntung, karena masih punya pasar kantong plastik untuk pasar tradisional,” katanya.

Untuk menyiasati mesin produksi tetap jalan dan pekerja tetap bisa mencari nafkah, Stanley maupun Enny sudah berusaha menyiasatinya dengan memproduksi polybag dan garbage untuk pertanian atau perkebunan. Namun, kondisi itu tak bisa menggantikan seluruh potensi pasar kantong plastik yang hilang. “Pasar polybag masih kecil, jadi tak terserap,” ungkap Stanley.

Industri daur ulang

Untuk memproduksi kantong plastik, produsen kantong plastik tak seluruhnya memakai bahan baku bijih plastik, karena ada pula yang menggunakan bahan baku plastik daur ulang. Penggunaan plastik daur ulang itu untuk produksi kantong plastik berwarna, seperti hitam, merah, dan atau warna lain.

Bahan plastik daur ulang termasuk scrap plastik itu juga untuk bikin polybag dan garbage. Bahan baku plastik daur ulang diperoleh dari pengumpul plastik dari Tempat Pembuangan Sampah (TPS). “Dalam sehari, saya mengolah 12 ton sampah plastik,” kata Enny.

Jika ditelusuri, 12 ton sampah plastik daur ulang itu berasal dari tumpukan sampah yang dipilah oleh pemulung di TPA. Jumlah 12 ton bukanlah jumlah yang sedikit, butuh ratusan pemulung mengumpulkannya. Dengan alasan inilah, Enny bilang, pekerjaan yang dilakukannya bukanlah pekerjaan yang merusak lingkungan.

Sebaliknya, Enny dan ratusan pekerjanya menjadi penyelamat lingkungan dengan mendaur ulang plastik yang terbuang. Terkadang, sampah plastik yang diolah berasal dari TPS Bantar Gebang, TPS terbesar di Pulau Jawa. “Kami mengurangi beban pemerintah mengatasi masalah sampah,” katanya.

Namun, jangankan apresiasi yang diperoleh, usahanya mendaur ulang mengolah sampah plastik kerap mendapatkan cibiran. Bahkan, Enny kerap berhadapan dengan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menuduhnya memproduksi produk yang merusak lingkungan. “LSM tahuya semua pabrik plastik merusak lingkungan. Padahal, kami ini mendaur ulang,” keluh Enny.

Bak jatuh tertimpa tangga. Enny dan Stanley dan produsen kemasan plastik lainnya ketar-ketir melihat peluang pasar kantong plastik ke depan. Di hilir, sudah ada pembatasan pasar kantong plastik oleh pemerintah daerah. Di sektor hulu, produsen kantong plastik akan berhadapan dengan rencana cukai atau paak dosa alias sin tax pada plastik.

Meski regulasi cukai plastik belum terbit, namun Kementerian Keuangan sudah menyusun rencana aturan itu berlaku tahun ini. Aturan berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) itu memiliki tujuan untuk membatasi konsumsi plastik yang berdampak kepada pencemaran lingkungan.

Bagi Enny, penerapan cukai plastik mesti memberikan keringanan kepada pebisnis daur ulang plastik seperti mereka. Adapun Stanley mendukung rencana cukai plastik tetapi dengan syarat, tak ada larangan menyediakan kantong plastik bagi peritel modern. “Penerapan cukai plastik itu lebih baik daripada melarang kantong plastiknya,” ujar Stanley.

Aprindo juga keberatan

Keberatan terhadap larangan penggunaan kantong plastik di ritel modern tak hanya berdampak ke bisnis produsen plastik saja. Peritel modern dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga ketiban sialnya. Apalagi jika aturan larangan memakai kantong plastik berlaku tanpa sosialisasi. “Bahkan, ada kasus peritel di-sweeping oleh petugas yang mencari kantong plastik. Ini akan memprihatinkan,” kata Stanley.

Terkait hal ini, Tutum Rahanta, Wakil Ketua Aprindo bilang, pihaknya tegas menolak larangan memakai kantong plastik di ritel modern. “Untuk diet atau membatasi kantong plastik, kami bisa terima,” jelasnya.

Usulan Tutum untuk mengurangi pemakaian kantong plastik adalah penerapan kantong plastik berbayar atau menjual kantong ramah lingkungan. “Konsumen bisa pilih, tetapi jangan ada larangan,” tegasnya.

Pedagang plastik juga keberatan jika aturan tersebut berlakukan di Jakarta. Lusi, pedagang grosir plastik di Pasar Palmerah bilang, kantong plastik adalah salah satu kontribusi penjualan terbesar produk yang dijualnya. Saban pekan, Lusi menjual 100 kilogram (kg)-150 kg kantong plastik.

Meski banyak yang menolak, beberapa daerah tetap percaya diri memberlakukan larangan menyediakan kantong plastik di ritel modern. Salah satunya kota Bogor yang juga berencana memperluas aturan ke pasar tradisional. “Berlaku pada Januari 2020,” kata Muzakir, Direktur Utama PD Pasar Pakuan, BUMD milik Kota Bogor yang mengelola 13 pasar di Kota Hujan tersebut.

Sumber: Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only