Jakarta. Lembaga riset Prakarsa menyatakan pemerintah perlu mengkaji mendalam kebijakan insentif ekspor impor, terutama untuk komoditas strategis yang menyumbang nilai ekspor besar bagi Indonesia. Solusi itu dinilai perlu untuk menyelesaikan masalah aliran keuangan gelap dari ekspor sejumlah komoditas unggulan Indonesia.
“Kebijakan pemberian insentif fiskal seperti pembebasan bea masuk, tax holiday, hingga tax allowance yang jor-joran berpotensi menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengelakan dan penghindaran pajak secara lebih masif,” ujar peneliti Prakarsa Widya Kartika saat memaparkan penelitiannya di Restoran Madame Delima, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019.
Di samping itu, ia menyarankan pemerintah dan parlemen segera melakukan perubahan regulasi perpajakan, kepabeanan, dan perdagangan lintas negara, serta melakukan peninjauan kembali perjanjian perpajakan dengan negara-negara lain. Dengan demikian potensi hilangnya penerimaan negara dari pajak dan non-pajak dapat dicegah dengan lebih baik.
Sebelumnya, hasil riset Prakarsa menyebut adanya aliran gelap yang keluar dan masuk ke Indonesia dari enam komoditas unggulan ekspor membuat Tanah Air berpotensi kehilangan penerimaan pajak mencapai US$ 11,1 miliar. Enam komoditas itu antara lain batubara, minyak sawit, karet, udang-udangan, tembaga, dan kopi.
“Potensi terbesar hilangnya penerimaan berasal dari batubara yaitu 5,32 miliar dolar Amerika Serikat,” ujar Widya. Potensi itu dihitung berdasarkan data ekspor pada kurun waktu 1989-2017.
Dalam penelitian itu, Prakarsa mengolah data dari United Nations Comtrade Database dengan klasifikasi harmonize system. Untuk mengestimasi aliran keuangan gelap, ia menggunakan pendekatan global financial integrity yang menghitung kesalahan tagihan perdagangan baik berupa over-invoicing maupun under-invoicing.
Selain dari batubara, kerugian lain yang juga cukup besar diakibatkan praktik ekspor under-invoicing pada komoditas minyak sawit dan karet yang jika dijumlahkan mencapai US$ 4 miliar. Sementara, ekspor under-invoicing pada tiga komoditas lain menyebabkan potensi kerugian di bawah US$ 1 miliar. “Angka ini dihitung berdasarkan total ekspor under-invoicing pada tahun tersebut dengan tarif PPh badan pada tahun tersebut,” kata Widya.
Untuk memitigasi kerugian itu, Widya mengatakan pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan eksportir. Pengawasan itu juga perlu difokuskan kepada komoditas tertentu, seperti batu bara dan kelapa sawit, yang paling tinggi potensi terjadinya praktik aliran keuangan gelap. Di samping pemerintah dinilai perlu segera membangun kolaborasi lintas aktor untuk mengatasi perkara itu.
Senada dengan Widya, Peneliti dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastadi menyebut perlunya pemerintah mengkaji kembali insentif ekspor guna menanggulangi persoalan itu. “Itu menyebabkan over influencing jadi dia berorientasi ekspor lalu besarannya dinaikkan, harganya dinaikkan untuk dapat bea masuk impor lebih rendah, kecenderungan ini menimbulkan distorsi,” kata dia.
Belum lagi, dari insentif fiskal itu, pemerintah justru harus keluar duit untuk memberi insentif ekspor. Sementara, dari sisi konsumen, mereka juga tak diuntungkan. “Consument surplus itu berdasarkan penelitian empiris berkurang,” ujar dia. Ditambah, subsidi ekspor kemungkinan retaliasi dari negara tujuan.
Fithra lebih menyarankan adanya penguatan hubungan perdagangan bilateral maupun regional melalui perjanjian dagang guna mengurangi adanya aliran dana ilegal. Ia berujar langkah itu terbukti berdampak dari hubungan dagang dengan Cina. Pada 2010, ketika belum ada perjanjian dagang Asean dan Cina, perbedaan statistik dagang Indonesia dan Cina bisa mencapai US$ 10 miliar.
“Tapi dengan adanya perjanjian itu, perbedaan statistik memudar. Jadi hipotesis saya dengan adanya FTA atau kerjasama komprehensif regional bisa mengurangi kecenderungan lalu lintas uang ilegal,” tutur Fithra.
Sumber : Tempo.co
Leave a Reply