Tantangan Ditanggung Sang Tulang Punggung

Skenario pajak kendaraan berdasar emisi, akan menghapus perlakuan khusus yang selama ini diterapkan untuk mobil LCGC.

Ada perkembangan baru di dunia otomotif. Tak lama lagi, penyebutan kendaraan ramah lingkungan tak lagi memakai tolak ukur besar silinder mesin. Dalam konsep baru yang disusun pemerintah, kendaraan ramah lingkungan akan mengacu pada kadar gas buang emisi karbon dari kendaraan tersebut.

Alhasil, semakin rendah gas buang karbon yang dikeluarkan kendaraan itu, semakin ramah kendaraan itu terhadap lingkungan. Nah, perubahan konsep kendaraan ramah lingkungan ini akan berdampak kepada insentif pajak yang selama ini diberikan pada Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) yang kerap disebut low cost green car (LCGC).

Untuk diketahui, sejak 2013, mobil LCGC mendapat insentif khusus berupa pembebasan pembayaran pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang rata-rata bertarif 5% dan 10%. Insentif itu bertujuan meningkatkan kinerja penjualan mobil yang saat itu melesu.

Nah, dalam draft usulan Kementerian Keuangan saat bertandang ke Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pertengahan Maret lalu, mobil LCGC nanti tak lagi mendapatkan perlakuan khusus berupa pembebasan PPnBM atau tarif 0%. “Tarif PPnBM LCGC akan ditetapkan 3%,” kata Johannes Nangoi, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).

Adanya pengenaan PPnBM tersebut sudah barang tentu mengubah harga jual mobil. Jika harga satu unit mobil LCGC dibandrol Rp 130 juta, pembeli mesti merogoh kocek tambahan lagi untuk PPnBM sebesar 3% atau setara 3,9 juta.

Johannes menyambut baik rencana Kemkeu yang bertujuan meningkatkan standar kendaraan ramah lingkugan. “Kita mesti apresiasi. Mobil ramah lingkungan itu bukan soal besar atau kecilnya mesinnya, tetapi seberapa besar karbon yang dikeluarkan oleh mobil itu,” jelas Johannes.

Meski mendapatkan sambutan dingin dari beberapa produsen mobil LCGC yang dihubungi KONTAN, namun Johannes yakin, kebijakan itu sesuai dengan semangat industri otomotif di dalam negeri. Dalam pembicaraan yang dilakukan antara Pemerintah dan Gaikindo, implementasi kebijakan baru untuk LCGC itu akan berlaku dua tahun lagi atau pada tahun 2021.

Hal tersebut dibenarkan oleh Putu Juli Ardika, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian. Ia bilang perubahan skema PPnBM diperkirakan berlaku mulai 2021. Hal tersebut mempertimbangkan kesiapan para pelaku usaha untuk menyesuaikan diri. “Detail aturan masih kami bahas,” kata Putu.

Namun pengenaan tarif PPnBM sebesar 3% bagi mobiil LCGC belum tentu seragam untuk semua mobil LCGC. Nanti tergantung hasil uji emisi gas buang dari masing-masing merk LCGC itu. Jika merujuk draft yang disampikan Kemkeu , gas buang kendaraan LCGC yang bisa mendapat tarif PPnBM 3% harus memiliki emisi gas buang 120 gram per kilometer (km).

Selain emisi, konsumsi bahan bakar mobil LCGC tersebut minimal bisa mencapai 20 km per liter untuk bensin dan 21,8 km per liter untuk mobil bermesin diesel. Johannes bilang, masih ada waktu dua tahun bagi produsen mobil LCGC untuk meningkatkan teknologi mobilnya dan menyesuaikan diri dengan regulasi. “Tujuan aturan itu baik, untuk meningkatkan kualitas lingkungan kita menjadi lebih baik,” ujarnya.

LCGC Tulang Punggung

Tak hanya itu, perubahan konsep kendaraan ramah lingkungan yang mengacu emisi gas buang itu juga menyelaraskan standar emisi kendaraan di Indonesia dengan negara lainnya. Hal positifnya adalah, mobil produksi Indonesia bisa diekspor ke negara yang sudah duluan mengadopsi standar gas buang lebih tinggi. “Ini juga peluang untuk membuka ekspor lebih besar,” terang Johannes.

Selama ini, pasar ekspor mobil produksi pabrik di Indonesia terbatas hanya ke beberapa negara yang masih memberlakukan standar emisi yang sama. Sementara ekspor ke kawasan Eropa atau Jepang masih sulit dilakukan karena standar emisi gas buang kendaraan di negara tersebut lebih tinggi dari mesin mobil yang di produksi di Indonesia. Alhasil, ekspor mobil hanya menjangkau beberapa negara berkembang.

Sampai akhir 2018 silam, penjualan mobil low cost green car (LCGC) masih menjadi tulang punggung penjualan mobil di Indonesia. Merujuk data Gaikindo, dari 1,15 juta unit penjualan mobil nasional, sebanyak 20% atau 230.444 unit adalah penjualan dari mobil LCGC.

Salah satu produsen mobil yang mendapat berkah dari LCGC adalah PT Honda Prospect Motor (HPM) lewat Brio Satya. Selain menjagokan penjualan dalam negeri dengan Brio Satya, HPM juga berhasil mengekspor perdana Brio Satya pada Rabu (10/4) lalu dengan tujuan Filipina.

Takehiro Watanabe, Presiden Direktur HPM menyebutkan, Honda Brio memiliki desain spesial yang sesuai dengan kebutuhan warga Indonesia. “Kami yakin bahwa Honda Brio yang diproduksi di Indonesia bisa sukses di negara lain di kawasan Asia Tenggara,” kata Takehiro.

Terkait rencana pemerintah mengubah insentif PPnBM untuk LCGC, Jonfis Fandy, Marketing dan After Sales Service Director HPM belum mau memberikan komentar. Ia beralasan, regulasi perubahan aturan tersebut belum terbit, sehingga pihaknya sulit berkomentar. “Kami menunggu aturan final yang dikeluarkan,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan Amelia Tjandra, Direktur Pemasaran PT Astra Daihatsu Motor (ADM). Ia enggan berkomentar jika aturan tersebut belum dirilis pemerintah.

Akan tetapi, Jonfis memperkirakan, pasar mobil LCGC tetap akan tumbuh 5% tahun ini. Indikasinya, dalam tiga bulan pertama tahun ini, penjualan Brio Satya berhasil naik 20% menjadi 13.608 unit dibanding periode yang sama tahun lalu sebanyak 11.309 unit.

Namun pandangan berbeda justru disampaikan Fransiscus Soerjopranoto, Executive General Manager PT Toyota Astra Motor (TAM). Ia tidak terlalu mempersoalkan rencana pengenaan PPnBM 3% untuk kendaraan LCGC. Dalam hitungannya, kenaikan harga yang muncul karena PPnBM hanya Rp 4 juta dari harga LCGC yang sekitar Rp 150 juta. “Tidak berpengaruh signifikan, kok,” katanya.

Tantangan pasar LCGC menurut Soerjopranoto, bukan pada pengenaan PPnBM, melainkan pada ancaman kredit macet. Ancaman ini bisa membuat perusahaan pembiayaan berpikir ulang untuk memberikan fasilitas kredit LCGC.

Hub ekspor di ASEAN

Tantangan kedua adalah membaiknya fasilitas transportasi publik yang nyaman. “Tapi peluang penjualan LCGC masih ada, sekalipun tidak besar, terutama di luar Jakarta atau di luar Jawa,” jelas Soerjopranoto yang juga menunggu aturan pengenaan PPnBM untuk LCGC segera dirilis.

Kehadiran LCGC membuat industri mobil dalam negeri bisa menjaga keseimbangan penjualan mobil. LCGC yang memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang tinggi juga berdampak ke perekonomian dan menggairahkan ekosistem industri komponen dari hulu sampai hilir.

Airlangga Hartanto, Menteri Perindustrian menyebutkan, kandungan produk dalam negeri pada LCGC bisa meningkatkan daya saing produk mobil Indonesia di pasar ekspor. “TKDN menjadi kunnci keberhasilan sektor industri otomotif nasional, yamg kami harapkan mampu menjadi hubungan (ekspor mobil) ASEAN, bahkan Asia,” kata Airlangga.

Untuk diketahui, tahun 2018, Indonesia mengekspor 346.000 unit mobil dengan nilai setara US$ 4,78 miliar. Dari total ekspor itu, ekspor berbentuk utuh atau completely built up (CBU) sebanyak 264.000 unit dan berbentuk completely knocked down (CKD) sebanyak 82.000 unit. Dari sisi produksi, tahun 2018, Indonesia memproduksi 1,34 juta unit mobil atau setara US$ 13,76 miliar.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only