Industri alas kaki dan sepatu kembali naik daun. Ekspornya bergelora, meski sudah jauh tertinggal oleh Vietnam.
Anda bangga menggunakan sepatu olahraga mahal merek global saat lari pagi di Gelora Bung Karno ? Tentu anda boleh bangga, karena banyak dari sepatu merek global itu hasil produksi tangan terampil dari anak bangsa yang bekerja di pabrik sepatu di Indonesia. Namun, sebelum anda bangga, pastikan dulu sepatu itu memiliki Made in Indonesia.
Banyak merek global telah mempercayakan produksi sepatunya di Indonesia, tengok saja Nike, Reebok, Adidas, dan banyak lagi. Kepercayaan beberapa merek global untuk memproduksi sepatu di Indonesia itu membuat industri sepatu kita berkembang hingga saat ini.
Memang industri ini sempat melemah karena kehilangan kepercayaan investor pasca krisis 1998. Namun perlahan, industri sepatu Indonesia kembali bangkit dan berusaha mengejar ketertinggalan. Sampai saat ini, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mencatat, Indonesia berhasil menjadi eksportir sepatu terbesar ketiga dunia, setelah Vietnam.
Kabar gembira itu tentu tak mudah, butuh kerja keras yang dilakukan oleh pelaku industri alas kaki per tahun mencapai 8,47% atau di atas pertumbuhan ekonomi. Ini terjadi sejak tahun 1999 atau pasca krisis ekonomi menerjang Indonesia.
Nah, mulai tahun ini, Aprisindo bermaksud mempercepat pertumbuhan dengan target ha kdj kdobel digit setiap tahun. ” Kami ingin ekspor naik 100% dalam waktu lima tahun ke depan,” kata Firman Bakri, Direktur Eksekutif Aprisindo.
Jika merujuk target, setidaknya pelaku industri sepatu membidik nilai ekspor US$ 10 miliar pada tahun 2024 mendatang. Menurut Firman, kenaikan kinerja ekspor itu tak semata mendatangkan devisa ke negara, tetapi juga bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi, khususnya industri sepatu.
Sekadar gambaran, tahun 2018 lalu, pertumbuhan industri sepatu mencapai 9,42%, di atas pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,17%. Tak terkecuali selain terhadap kinerka industri, pertumbuhan ekspor sepatu itu juga berimbas kepada penyerapan tenaga kerja. Dalam catatan Kementerian Perindustrian, sektor industri sepatu telah menyerap tenaga kerja sebanyak 819.000 orang di tahun 2018, naik ketimbang tahun sebelumnya yang sebanyak 795.000 orang.
Ekspor sepatu Indonesia sangat riskan dan tergantung dari pesanan pemilik merek.
Ekspansi pasar
Untuk mendukung ambisi dari pelaku industri tersebut, Airlangga Hartanto, Menteri Perindustrian telah menjadikan industri sepatu sabagai industri prioritas. Selain bersifat padat karya, alasan lainnya, industri sepatu yang berorientasi ekspor juga berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. “Bersama dengan industri tekstil dan pakaian, industri alas kaki pun dipersiapkan untuk memasuki era Industry 4.0 agar lebih berdaya saing global. Hal ini sejalan dengan implementasi roadmap Making Indonesia 4.0,” kata Airlangga.
Gati Wibawaningsih, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian menambahkan, jumlah industri alas kaki di Indonesia saat ini tercatat 18.687 unit usaha, yang meliputi 18.091 unit usaha skala kecil, 441 unit usaha skala menengah, dan 155 unit usaha skala besar.
Namun, Firman menambahkan, kebanyakan ekspor sepatu dan alas kaki dilakukan oleh beberapa perusahaan, terutama yang memproduksi merek-merek global. Mereka biasanya memproduksi sepatu olahraga, sepatu kantoran yang merupakan pesanan dari merek-merek ternama seperti Nike, Reebok, atau Adidas.
Dengan kondisi ini, ekspor sepatu Indonesia sebenarnya sangat riskan dan bergantung dari pesanan dari pemilik merek. Melihat peta ekspor, sangat jarang merek sepatu lokal yang mengekspor produknya untuk skala industri atau dalam jumlah banyak.
Memang ada beberapa produsen sepatu lokal yang bisa ekspor, tetapi jumlahnya masih mini. “Untuk melakukan ekspor secara industri, butuh promosi, marketing, membuka jaringan distributor dan membuka gerai di negara tujuan ekspor,” kata Firman. Untuk merealisasikan rencana bisnis itu, perusahaan membutuhkan investasi yang berlipat dan sangat mahal.
Dari sisi produksi, industri di Indonesia mampu memproduksi sebanyak 1,41 miliar pasang sepatu atau berkontribusi sebesar 4,6% total produksi sepatu dunia. Sehingga dari sisi produksi, Indonesia menjadi negara produsen sepatu terbesar ke 4 di dunia, setelah China, India, dan Vietnam.
Kinerja produksi sepatu itu tak lepas dari kedatangan investor asing di sektor alas kaki. Sebagai gambaran, sepanjang tahun 2018, nilai investasi di industri alas kaki sudah mencapai Rp 12,8 triliun, atau naik dibanding tahun 2017 yang mencapai Rp 12,1 triliun.
Kenaikan investasi yang terjadi di tahun 2018 tersebut diyakini akan terlihat dalam kinerja ekspor tahun ini dan ke depan. “Kami optimistis akan terjadi peningkatan nilai ekspor produk alas kaki nasional sampai US$ 6,5 miliar pada tahun 2019 dan menjadi US$ 10 miliar dalam empat tahun ke depan,” kata Airlangga.
Kehadiran investasi baru akan meningkatkan produksi dan kemampuan ekspor. Selanjutnya, tinggal memperluas dan melebarkan cakupan pasar. Cara-cara yang sedang dirancang adalah menguatkan ekspor ke pasar yang ada, plus menambah tujuan ekspor baru.
Di antara negara yang kini menjadi bidikan ekspor sepatu adalah Australia Soalnya, Indonesia baru saja menandatangani perjanjian kerjasama ekonomi komprehensif (CEPA) dengan Australia. Selain juga terbuka peluang menggenjot ekspor lewat perjanjian dagang Eropa lewat European Free Trade Association (EFTA).
Namun, khusus untuk pasar Eropa, Firman bilang, hal itu sangat tergantung dengan tensi hubungan bisnis Indonesia-Eropa yang sedang memanas karena sengketa dagang terkait cruide palm oil (CPO). Firman berharap, penyelesaian sengketa dagang CPO itu bisa berjalan baik agar tidak menimbulkan efek ke industri sepatu.
Peluang lain yang diintip pelaku industri sepatu Indonesia adalah menggenjot ekspor ke Amerika Serikat (AS) di saat negara Uwak Sam itu berseteru dengan China. Eksportir Indonesia bisa mengempit pasar sepatu yang yang sebelumnya dikuasai oleh eksportir dari China.
Namun, untuk mengejar kenaikan ekspor tersebut, Firman berharap mendapatkan dukungan dari pemerintah dan juga pelaku usaha lainnya. Maklum, ekspor produk konsumen seperti sepatu membutuhkan dukungan dari peritel sebagai distributor. “Alangkah baiknya jika peritel departement store seperti Matahari dan Ramayana bisa membuka gerai di luar negeri,” kata Firman.
Keharidaran peritel dari Indonesia di luar negeri juga akan membuka ruang bagi merek sepatu lokal dikenal di negara tersebut. Hal ini lumrah dilakukan oleh sepatu merek impor yang datang ke Indonesia bersamaan dengan hadirnya peritelnya.
Selain rencana di atas, Firman berharap Aprisindo memberikan tiga harapan ke pemerintah. Pertama, pemerintah mesti menumbuhkan industri bahan baku di dalam negeri. Ini penting, mengingat banyak bahan baku yang masih impor yang membuat produk Indonesia kurang kompetitif. “Ajak industri bahan baku berinvestasi dan berikan tax holiday,” kata Firman.
Kedua, soal pengupahan yang kerap menjadi keluhan pelaku usaha sepatu. Menurut Firman, selama ini, industri pelaku Indonesia bisa bersaing di mancanegara karena upah buruhnya masih rendah. Namun, saat ini, upah buruh di Indonesia lebih mahal ketimbang Vietnam.
Ketiga, mendorong insentif baru selesai dari tax allowance. Firman berharap, industri sepatu bisa mendapatkan tax holiday agar industri sepatu bisa menambah investasi baru dan menambah produksi serta menyerap tenaga kerja.
Domestik juga besar.
Meski industri alas kaki membidik pasar ekspor, namun jangan sampai menyia-nyiakan pasar lokal. Sebab pasar dalam negeri juga tumbuh seiring kenaikan jumlah penduduk. Tahun 2018 saja, Aprisindo mencatat total penjualan sapatu dipasar domestik mencapai US$ 2,9 miliar.
Selain diperebutkan oleh produk dalam negeri, sepatu impor dari berbagai negara juga ikut meramaikan pasar Indonesia. Seperti produk konsumsi lainnya, sepatu dari China mendominasi impor dengan porsi dengan nilai mencapai US$ 400 juta. Setelah itu, ada Vietnam dengan nilai impor mencapai US$ 152 juta, setelah itu disusul produk dari AS, Singapura, India, Malaysia, Thailand, dan negara lainnya.
Meski demikian, Firman bilang pasar domestik, sepatu dari dalam negeri masih mendominasi pasar. Sebab masalah yang paling sulit terpecahkan di Indonesia adalah ongkos distribusi yang mahal. Ketika sepatu impor masuk, mereka butuh investasi besar agar bisa menyebar di pasar Indonesia. “Sementara saat ini, daya beli konsumen lebih banyak di pedesaan,” terang Firman.
Sumber : Tabloid Kontan
Leave a Reply