Menurut laporan Google-Temasek, nilai ekonomi digital Indonesia berdasarkan nilai kotor penjualan barang (GMV) mencapai 27 miliar dolar AS pada 2018, tumbuh 49 persen dibandingkan tahun 2015 dan tertinggi di ASEAN. Pada tahun 2025, nilainya diperkirakan mencapai 100 miliar dolar AS.
Kita tentu bisa membayangkan betapa besar perusahaan digital global meraup keuntungan dari transaksi bisnis di Indonesia. Dengan jumlah penduduk 260 juta orang dan pengguna internet 170 orang, Indonesia memang menjadi salah satu pasar ekonomi digital yang besar di dunia.
Namun apa pengaruhnya untuk ekonomi Indonesia? ”Pertumbuhan (pendapatan perusahaan teknologi) terus berlipat, tetapi kita tidak merasakannya, baik dalam pertumbuhan domestik bruto (PDB) maupun pendapatan pajak,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pertemuan pejabat keuangan dan moneter G-20 di Fukuoka, Jepang, Sabtu (8/6/2019).
Cerdik atau licik
Harus diakui, dunia termasuk Indonesia, memang tergagap dalam membuat regulasi pajak atas perkembangan ekonomi digital yang tumbuh secara eksponensial, dengan cakupan tanpa berbatas teritorial.
Ketika negara-negara di dunia masih bingung mencari definisi yang tepat antara pajak digital (digital tax) atau pajak jasa digital (digital service tax) untuk judul regulasinya, para pelaku bisnis digital sudah terbang jauh, bahkan nyaris tak meninggalkan jejak.
Mengutip laporan The Guardian (3/2/2019) para kampiun bisnis digital seperti Amazon, Facebook, Uber, eBay dan Google telah mempekerjakan ribuan ahli untuk menemukan celah hukum agar bisa menghindari atau mengurangi pajak.
Bukan rahasia selama bertahun-tahun para pelaku ekonomi digital global menyiasati pajak dengan sangat cerdik, bila tak mau disebut licik.
Mereka membuka kantor di banyak negara dan mengirimkan pendapatannya ke beberapa negara suaka pajak semisal Irlandia, Swiss, Cayman Island, dan Luksemberg. Cara itu membuat mereka membayar pajak amat rendah di negara-negara tempat mereka beroperasi dan mendulang keuntungan besar.
Para raksasa digital itu seperti sangat memahami bahwa sampai saat ini isu pajak ekonomi digital sangat luas areanya dan menyangkut persoalan tumpang tindih hak perpajakan antarnegara, yang tidak mudah untuk mengatasinya.
Mereka juga paham bahwa sampai hari ini belum ada konsensus global tentang norma dan standar pajak atas penghasilan dari transaksi ekonomi digital. Juga kesepakatan bersama untuk memajaki perusahaan penyedia layanan digital lintas negara.
Meski begitu pada pertemuan pejabat keuangan dan moneter G-20 di Fukuoka, Jepang, konsensus global diharapkan mulai bisa dilaksanakan tahun depan.
Dunia memang seperti ditantang untuk membuat aturan pajak ekonomi digital yang berkeadilan. Adil bagi pelaku bisnis digital maupun pelaku bisnis konvensional, tanpa menunggu adanya konsensus global. Namun dari mana memulainya dan apa acuannya?
Negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) berihtiar membuat acuan melalui dokumen konsultasi publik ”Addressing The Tax Challenges of The Digitalisation of The Economy” (Februari 2019).
Dokumen tersebut menyebut dua pilar kebijakan, sebagai respons atas tantangan pajak ekonomi digital. Pertama soal alokasi pajak yang diharapkan lebih besar ke negara-negara pasar tanpa memerhatikan kehadiran fisik perusahaan. Kedua terkait penerapan instrumen pencegahan penggerusan basis pajak melalui sistem pajak minimum.
Regulasi yang gamang
Indonesia sesungguhnya sudah sejak beberapa waktu lalu berihtiar menjaring pajak ekonomi digital. Namun pelaksanaannya selalu terkendala dengan regulasi yang kurang memadai. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Badan Usaha Tetap (BUT), adalah contoh upaya tersebut.
Ketentuan ini mewajibkan semua unit usaha asing yang beroperasi di Indonesia mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). NPWP mempertegas bentuk usaha tetap sebagai subyek pajak, dengan yuridiksi yang tetap.
Namun ketentuan tersebut tentu saja menjadi tidak efektif, sebab masih merujuk pada aturan perpajakan konvensional. Sementara model bisnis perusahaan digital beroperasi lintas negara dan tidak lagi mengenal yurisdiksi wilayah.
Yang lain adalah menerapkan skema PPN berdasarkan konsumsi konsumen. Skema ini tidak memerlukan revisi undang-undang, cukup dengan peraturan menteri. PPN cukup ampuh menyasar transaksi business to business (B2B) bernilai besar.
PPN bisa dipungut terhadap layanan digital berbayar atau berlangganan yang dibebankan kepada konsumen. Namun skema PPN tetap memiliki kelemahan. Ia tidak bisa dikenakan untuk transaksi business to customer (B2C) seperti yang ditawarkan Google dan Facebook.
Apa boleh buat, kita harus menyadari bahwa proses bisnis perusahaan berbasis teknologi digital sangat kompleks dan luas cakupannya, sehingga tidak cukup dengan aturan PPh umum. Oleh karena itu, perlu adanya jenis pajak baru yang bukan modifikasi UU PPh atau UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Potensi pajak perusahaan lintas negara juga bisa dibidik dengan kerja sama antarnegara melalui program pertukaran data otomatis (AEoI).
Direktorat Jenderal Pajak pada 2018, sudah mengirim data/informasi keuangan ke 54 negara dan menerima data/informasi keuangan dari 66 negara. Tahun ini, Indonesia akan mengirim data ke 81 negara dan menerima dari 94 negara.
Namun bagaimana mengimplementasikannya dalam bentuk regulasi? Itulah masalahnya. Sampai hari ini Kementerian Keuangan masih kelihatan gamang.
Sempat terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Namun, PMK ini segera ditarik setelah muncul polemik dan dianggap sebagai kebijakan tak populer yang akan meredupkan potensi sektor digital di Indonesia.
Meniru Inggris dan Prancis
Ihtiar menjaring pajak ekonomi digital tidak bisa hanya parsial, harus menyeluruh dan berkeadilan. Pembuat regulasi harus cermat dan antisipatif terhadap perkembangan ekonomi digital.
Tidak ada salahnya mencontoh Inggris dan Prancis, yang dinilai selangkah lebih maju dalam membuat regulasi pajak ekonomi digital. Kedua negara ini bisa merumuskan partisipasi warganet di platform, sebagai sebuah aktivitas bisnis.
Inggris memungut pajak dua persen dari pendapatan perusahaan teknologi global yang diperoleh dari negeri itu. Inggris memperkirakan pendapatan perusahaan digital yang menyasar warganya mencapai 25 juta poundsterling.
Negeri ini mendefinisikan pendapatan itu terkait dengan partisipasi warganya di platform yang disediakan perusahaan teknologi, seperti media sosial, mesin pencari, dan laman pemasaran.
Artinya pajak tak hanya dikenakan pada transaksi bisnis seperti jual beli online, atapun langganan aplikasi berbayar, tapi aktivitas digital warganet pun bisa dihitung monetisasinya. Aturan pajak ini bakal berlaku Januari 2020.
Sementara Prancis akan memajaki 3 persen untuk pendapatan yang berasal dari iklan digital, aktivitas di laman pemasaran, dan penjualan data dari aktivitas pengguna.
Prancis hanya akan memajaki perusahaan teknologi dengan pendapatan di atas 750 juta euro secara global atau setara 25 juta euro untuk pendapatanya di Prancis. Regulasi ini sudah diteken National Assembly (majelis rendah) pada April, serta disetujui senat Prancis pada Mei lalu. Sama dengan Inggris pemajakan jasa digital di Prancis ini bakal efektif 1 Januari 2020.
Mengingat begitu luas dan kompleksnya transaksi ekonomi digital ini, sebaiknya bentuk regulasinya tak cukup hanya dengan Surat Keputusan Menteri seperti yang sudah-sudah. Tapi harus dalam bentuk Undang-undang, seperti halnya UU PPh atau UU PPN.
Sumber : Berita Tagar
Leave a Reply