Belum Ada Obat Mujarab Pengurang Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kemiskinan dan ketimpangan Maret 2019 turun sedikit.

Jakarta. Kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi masih menghantui Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin turun tipis, Di sisi lain, ketimpangan ekonomi di kawasan perkotaan bertambah lebar lebar.

Menurut data BPS, per Maret 2019, persentase penduduk miskin sebesar 9,41% dari total populasi Indonesia. Angka ini turun dibanding dengan hasil survei Maret 2018 yang masing-masing tercatat 9,82% dan 9,66% dari jumlah penduduk.

Saat bersamaan, jumlah penduduk miskin juga berkurang menjadi 25,14 juta jiwa. Pada Maret dan September 2018, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 25,95 juta dan 25,67 juta jiwa.

Selain itu, indeks kedalaman kemiskinan turun menjadi 1,55 pada Maret 2019, dari 1,63 pada September 2018. Begitu pula dengan indeks keparahan kemiskinan yang turun menjadi 0,37 pada periode yang sama, dari 0,41 pada September 2018 lalu.

“Tren ini menggembirakan lewat dari kebijakan pemerintah seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu kebijakan lainnya untuk penurunan kemiskinan yang menunjukkan proses yang menggembirakan,” kata Kepala BPS Suhariyanto, Senin (15/7).

Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail Zaini mengatakan, penurunan angka kemiskinan lambat salah satu penyebabnya, karena penyerapan tenaga kerja lambat, Ahmad menilai, pemerintah saat ini cenderung menyerap tenaga kerja di sektor jasa yang minim tenaga kerja,

Sementara sektor padat karya mampu mengurangi tingkat kemiskinan, seperti industri manufaktur dan pertanian justru melambat. Dalam sepuluh tahun terakhir sektor padat karya turun dan cenderung stabil di bawah 20% dari total penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

Karena itulah ia menyarankan agar pemerintah memberikan stimulus berupa insentif pajak bagi perusahaan manufaktur. Misalnya, dengan insentif pajak super agar bisa meningkatkan produksi dan berdampak penambahan jumlah tenaga kerja.

Di sisi lain, birokrasi harus sinkron antarlembaga. “Jadi investor juga mendapatkan kepastian,” katanya.

Selain itu pemerintah harus menjaga kestabilan harga pangan, utamanya beras, Sebab, fluktuasi harga beras sensitif terhadap kemiskinan.

Ketimpangan

BPS juga mencatat tingkat ketimpangan di Indonesia yang diukur menggunakan rasio gini (gini ratio) pada Maret 2019 turun menjadi 0,382. Angka rasio gini ini merupakan posisi terendah sejak September 2011. Ini berarti tingkat ketimpangan antar penduduk kaya dan miskin makin menurun.

Meskipun begitu, pemerintah masih punya pekerjaan rumah. Yaitu, rasio gini di perkotaan justru naik. Dari data BPS, rasio gini di perkotaan pada Maret 2019 naik tipis menjadi 0,392. Pada September 2018, rasio gini ada di level 0,391. Ini artinya, jurang antara si kaya dan si miskin di perkotaan sedikit melebar.

Selain itu BPS juga mencatat ada delapan provinsi dengan rasio gini yang lebih tinggi dari rasio gini nasional.

Delapan provinsi yang di maksud, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (0,423), Gorontalo (0,407), Jawa Barat (0,402), dan Sulawesi Tenggara (0,399). Kemudian DKI Jakarta (0,394), Papua (0,394), Sulawesi Selatan (0,389), dan Papua Barat (0,386).

Sementara itu, Penelitian Institute Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyoroti tantangan yan dihadapi oleh pemerintah untuk menurunkan ketimpangan di Indonesia.

Pertama, konsentrasi pertumbuhan masih di Pulau Jawa yang angkatanya cenderung naik. Kedua, inflasi di luar Jawa relatif tinggi. “Sehingga porsi pendapatan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan bahan makanan meningkat. Ini yang menyebabkan ketimpangan relatif sulit turun,” katanya.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only