Ruang Fiskal Masih Aman

JAKARTA — Pemerintah akan memperlebar target defisit anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 dari 1,84% menjadi 1,93%. Pasalnya, pendapatan negara hingga akhir tahun ini diproyeksikan hanya 93,8% dari target sebesar Rp2.165,1 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Ind rawati menuturkan, proyeksi defisit (shortfall) yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pada 2018 sebesar 1,76%.

Namun, berdasarkan Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, pelebaran ruang fiskal atau defisit menjadi 1,93% pada tahun ini masih relatif aman karena di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Defisit ini angkanya lebih besar dibandingkan dengan 2018, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan 2016 dan 2017,” tuturnya saat melaporkan realisasi penerimaan negara pada semester I/2019 ke Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (16/7).

Dengan proyeksi penerimaan negara hanya 93,8% atau Rp2.030,8 triliun dari target Rp2.165,1 triliun, defisit pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp134,3 triliun. Penurunan kinerja pendapatan negara itu merupakan implikasi dari kondisi ekonomi dan pelemahan harga komoditas.

Menkeu mengatakan, realisasi pendapatan negara pada semester 1/2019 sebesar Rp898,8 triliun atau umbuh 7,8% secara tahunan ( year on year /y-o-y). Realisasi ini lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan negara sepanjang semester I/2018 sebesar 16% y-o-y.

Menurutnya, perlambatan kinerja pendapatan negara ini dipicu oleh pencapaian penerimaan dari pajak, bea dan cukai yang hanya tumbuh 5,4%. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tumbuh 18,2%.

PENURUNAN PAJAK

Penurunan pajak ini, imbuhnya, dipengaruhi oleh realisasi harga minyak mentah Indonesia ( Indonesia crude price / ICP) yang berada di bawah patokan APBN 2019 sebesar US$70 per barel. Selain itu, realisasi produksi siap jual ( lifting ) minyak dan gas bumi pada semester I/2019 juga masih di bawah target.

Tren melesetnya penerimaan pajak dari target masih berlanjut hingga semester I/2019.

Sri Mulyani menjelaskan, selain pertumbuhan penerimaan pajak yang masih jauh dari ekspektasi, penerimaan pajak sampai akhir tahun ini dip royeksikan hanya mencapai 91,1% atau Rp1.437,1 triliun dari target dalam APBN 2019 sebesar Rp1.577,5 triliun.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menjelaskan, kinerja penerimaan pajak yang masih rendah merefleksikan aktivitas ekonomi yang belum menunjukan pemulihan.

“Tantangan ke depan makin berat karena hampir semua momentum yang berpotensi mendorong kinerja ekonomi telah berlalu pada semester I/2019,” katanya, Selasa (16/7).

Data Kementerian Keuangan sampai semester I/2019 menunjukkan, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp603,3 triliun atau hanya tumbuh 3,75% secara tahunan. Padahal, penerimaan pajak pada semester I/2018 tumbuh 13,9% y-o-y.

Pertumbuhan penerimaan pajak yang melambat tersebut merupakan imbas dari penurunan penerimaan baik dari sisi jenis maupun penerimaan pajak sektoral. Dari sisi jenis pajak, penerimaan pajak yang menunjukkan penurunan paling dalam adalah pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 2,6%. Padahal, pada tahun sebelumnya, penerimaan PPN mampu tumbuh 13,6%. Merosotnya penerimaan PPN tersebut terjadi karena setoran PPN dalam negeri turun 2,9% dan PPN impor turun 2,1%.

Robert tak memungkiri bahwa kinerja penerimaan yang masih di bawah ekspektasi tersebut tak bisa dilepaskan dari gejolak perekonomian yang terjadi pada semester 1/2019.

Namun, imbuhnya, realisasi penerimaan pajak pada paruh pertama tahun ini tidak bisa menjadi rujukan untuk melihat kondisi pada semester II/2019.

Menurutnya, tanda-tanda perbaikan ekonomi pada semester selanjutnya mulai terlihat. Artinya, potensi penerimaan pajak yang akan dipungut oleh pemerintah juga lebih besar.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, dengan prospek penerimaan negara yang belum sepenuhnya optimal, langkah cepat memang diperlukan oleh pemerintah.

“Jika tidak ada langkah yang serius dari pemerintah, shortfall bakal terus melebar dan penerimaan pajak bisa meleset dari outlook. Pemanfaatan data, perlu strategi konkret, kalau tidak seperti yang kami sampaikan [ shortfall bisa melebar],” jelasnya.

Fiscal Research-Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai perluasan basis pajak merupakan hal yang penting.

“Contohnya peningkatan jumlah wajib pajak, dan memperkuat ketentuan antipenggerusan basis pajak, serta memperkuat administrasi pemungutan pajak melalui digitalisasi pengolahan basis data. Selain itu, perlu kerja sama pertukaran informasi hingga penegakan hukum adalah keharusan agar mengurangi defisit penerimaan.”

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only