PENERIMAAN NEGARA : Kinerja Impor Tekan Setoran PPN

JAKARTA — Setoran pajak pertambahan nilai (PPN) diprediksi terus tertekan seiring dengan tren penurunan kinerja impor hingga akhir paruh pertama tahun ini.

Selain karena adanya kebijakan pengendalian yang diberlakukan pemerintah, meningkatnya ketidakpastian global juga turut menekan kinerja impor.

Data Kementerian Keuangan menunjukan, per Mei 2019 kinerja PPN hanya tumbuh di angka minus 4,41%. Kinerja PPN yang kurang bergairah ini dipengaruhi oleh pernimaan PPN dalam negeri yang minus 5,27% dan PPN impor yang minus 2,72%.

Sementara itu, PPh 22 impor yang tahun lalu mencatatkan pertumbuhan sebesar 30,27% tahun ini hanya mampu tumbuh sebesar 0,61%.

Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal menjelaskan, seiring dengan pelambatan impor tersebut penerimaan Juni pun tak akan jauh berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya.

Apalagi secara naluriah, jika pertumbuhan impor dan neraca dagang yang secara umum mengalami pelambatan, penerimaan PPN akan terus tertekan.

“Bulan Juni, PPN masih mengalami tekanan terutama karena impornya juga tertekan,” ungkap Yon kepada Bisnis, Senin (15/7).

Menurutnya, dengan berpijak pada situasi tersebut upaya untuk membangkitkan penerimaan PPN praktis mengalami tantangan yang besar. Hal ini juga diproyeksikan secara otomatis pencapaian target 2019 akan terdampak oleh merosotnya kinerja PPN tersebut.

Seperti diketahui, penerimaan pajak per Mei 2019 sebesar Rp496,6 triliun atau hanya tumbuh 2,4%. Padahal target pertumbuhan penerimaan pajak tahun ini sebesar 19%.

Apabila target tersebut tidak terpenuhi, maka target penerimaan pajak juga akan membengkak pada tahun depan.

Sebagai ilustrasi, sejumlah pengamat memproyeksikan penerimaan pajak 2019 berada di angka 89% dari target Rp1.577,5 triliun atau shortfall di angka Rp173,6 triliun.

Dengan potensi shortfall tersebut, realisasi penerimaan pajak 2019 kemungkinan berada pada angka Rp1.403,9 triliun. Artinya pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2020 bisa membengkak di angka 20%-23%.

“Kalau shortfall ya mungkin ada di angka segitu,” ujarnya.

Adapun, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai impor kumulatif Januari–Juni 2019 adalah US$82,2 miliar turun 7,63% atau US$6,7 miliar dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Penurunan terjadi pada impor migas dan nonmigas masing-masing US$3,1 miliar (22,55%) dan US$3,6 miliar (4,83%). Lebih lanjut penurunan impor migas disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah US$1,8 miliar (41,49%), hasil minyak US$1,19 miliar (14,75%), dan gas US$79,6 juta (5,68%).

Ekonom Indef Enny Sri Hartati menyarankan kepada pemerintah untuk menyusun kebijakan pengendalian impor yang komprehensif dan spesifik guna menjaga stabilitas fiskal.

Menurutnya, kebijakan pengendalian impor yang dilakukan pemerintah selama ini selalu memiliki berbagai macam tendensi. Merosotnya impor sudah pasti akan menurunkan kinerja penerimaan dari sektor tersebut.

Hanya saja, persoalan yang terjadi saat ini adalah pengendalian impor tidak bisa optimal karena barang yang dikenakan hanya bersifat konsumsi.

Di sisi lain banyak juga kebijakan yang diterapkan pemerintah cenderung membebaskan pajak-pajak impor, yang juga akan menekan penerimaan.

“Harusnya pemerintah membuat kebijakan yang sifatnya komprehensif dan spesifik, misalnya fasilitas kepada barang impor berorientasi ekspor, harus benar-benar dimanfaatkan oleh pengusaha bersangkutan,” jelas Enny.

Dengan berbagai persoalan yang menggunung, pekerjaan rumah yang perlu dilaukan pemerintah untuk mendorong kinerja penerimaan PPN menurutnya adalah membangkitkan industri-industri yang memiliki korelasi langsung dengan penerimaan PPN.

Selama ini, terbatasnya penerimaan PPN terjadi karena pergerakan industri yang cukup lambat. Kondisi ini akan berbeda jika industri bisa tumbuh di atas 4,5%-5%.

Apabila industri mampu tumbuh di angka tersebut, pemerintah bisa memastikan bahwa penerimaan PPN juga akan mengalami kenaikan paling tidak di atas level yang diterima saat ini.

“Tetapi kalau rendah, ya penerimaannya rendah. Sedangkan PPN impor juga sebenarnya tidak terlalu besar,” ujarnya.

EKSTENSIFIKASI

Sementara itu, untuk menutup gap dari kebijakan insentif pajak dan penurunan tariff PPh korporasi dari 25% menjadi 20%, pemerintah akan menggencarkan ekstensifikasi.

Direktur Ekstensikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Angin Prayitno Aji menyebut data merupakan salah satu urat nadi bagi otoritas pajak. Oleh karena itu, aktivitas ekstensifikasi menjadi salah satu kunci untuk memperbaiki basis data Ditjen Pajak.

“Intinya kami telah memiliki instrumen salah satunya automatic exchange of information . Nah dari situ kita lihat ternyata yang belum ber-Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) masih banyak juga,” kata Angin di Kantor Ditjen Pajak, Senin.

Banyaknya wajib pajak (WP) yang seharusnya memiliki NPWP akan terus diperhatikan oleh Ditjen Pajak. Apalagi saat ini Ditjen Pajak juga telah menerbitkan edaran di mana empat subyek pajak telah dijadikan sasaran prioritas ekstensifikasi.

“Nanti akan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak untuk memastikan dan menindaklanjutinya,” ungkapnya.

Dalam surat edaran (SE) No. SE–14/PJ/2019 Tentang Tata Cara Ekstensifikasi disebutkan bahwa daftar sasaran ekstensifikasi yang ditetapkan merupakan wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif namun belum memiliki NPWP.

Mekanisme penetapannya dilakukan berdasarkan skala prioritas melalui sistem informasi dan hasil analisis risiko yang dilakukan otoritas pajak.

Dengan mekanisme tersebut, pemerintah kemudian menetapkan empat WP yang menjadi sasaran ekstensifikasi.

Pertama orang pribadi, kedua wajib pajak warisan yang belum terbagi, ketiga wajib pajak badan, dan keempat bendahara yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut pajak.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only