Penerimaan negara selama semester I 2019 masih jauh dari target, karena itu pemerintah akan menggencarkan langkah penegakan hukum sebagai upaya untuk mengejar target penerimaan pajak 2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah akan melakukan sejumlah upaya untuk mencegah shortfall penerimaan tidak melebar.
Upaya pemanfaatan data tegasnya, akan terus dilakukan untuk melihat potensi penerimaan dari sektor pajak tersebut. “Upaya-upaya enforcement tentunya akan kami lakukan,” tegas Sri Mulyani, Selasa (16/7/2019).
Menilik data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tahun lalu target rasio kepatuhan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yakni 80 persen dari Wajib Pajak (WP) sebesar 17,6 juta. Namun, realisasi SPT tahun 2018 ini hanya mencapai 71 persen atau 12,55 juta.
Realisai SPT pada tahun 2018 meningkat 0,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, rasio kepatuhannya menurun dari 72,6 persen di tahun 2017 menjadi 71 persen.
Data Kemenkeu per Juni 2019, realisasi penerimaan negara baru sebesar Rp898,76 triliun atau 41,5 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pendapatan yang berasal dari perpajakan mencapai Rp688,94 triliun atau baru memenuhi sekitar 38,6 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2019 yang sebesar Rp1.577,6 triliun.
Jika penerimaan perpajakan lesu, maka total pendapatan negara terancam. Pos pajak penghasilan (PPh) yang seharusnya menjadi penyumbang terbesar penerimaan perpajakan juga tercatat baru sebesar Rp376,32 triliun atau 42,07 persen dari target APBN.
Satu penyebab lesunya pendapatan pada pos tersebut adalah pertumbuhan pendapatan PPh 25/29 Badan yang terbilang minim. Penerimaan PPh badan hanya tumbuh 3,4 persen secara tahunan (year-on-year/YoY) pada semester I-2019, yang mana lebih lambat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Jika faktor restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran) pajak dikeluarkan dari perhitungan, pertumbuhan PPh badan hanya sebesar 5,56 persen YoY di semester I-2019, lebih rendah dari semester I-2018 yang mencapai 10,73 persen YoY.
Menurut Kemenkeu, perlambatan penerimaan PPh Badan terjadi akibat pertumbuhan laba korporasi yang melemah. Faktor-faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi global dan perang dagang Amerika Serikat (AS)-China turut berperan dalam menekan laba korporasi.
Selain itu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) malah mencatatkan pertumbuhan negatif alias terkontraksi sebesar 2,9 persen. Kemenkeu mengklaim hal tersebut disebabkan adanya peningkatan restitusi.
Sebagai informasi PPh dan PPN merupakan dua komponen terbesar dalam penerimaan pajak, yang mana akan berpengaruh signifikan terhadap total pendapatan negara. Sewajarnya hal ini akan menjadi perhatian serius pemerintah. Sebab bila tidak diantisipasi, defisit anggaran bisa melebar. Hampir 80 persen dari total anggaran Indonesia masih dibiayai dari pajak.
Sementara dari sisi pengeluaran, realisasi belanja negara per Juni tercatat mencapai Rp1.034 triliun, tumbuh 9,6 persen dari periode yang sama tahun lalu. Belanja pemerintah pusat mencapai Rp630,57 triliun dan Transfer Daerah dan Dana Desa (TKDD) mencapai Rp403,95 triliun.
Laporan APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) Kemenkeu menjelaskan, selama semester I kenaikan belanja pemerintah pusat, khususnya kementerian dan lembaga didorong adanya kegiatan strategis pemilihan umum (pemilu).
Kenaikan juga disebabkan percepatan pengadaan barang dan jasa untuk belanja operasional seperti oleh KPU, TNI/Polri, serta serapan besar dari beberapa kementerian dan lembaga.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita), Yustinus Prastowo menyarankan pemerintah melakukan penghematan belanja dari pos-pos yang bisa ditunda ke tahun depan. Hal itu guna mengoptimalkan pajak di semester II nanti.
Tak hanya itu, dia juga mengatakan pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap Pajak Penambahan Nilai (PPN). Seperti memantau PPN Sektor Pengolahan. “Potensinya mungkin bisa menambah ekstra Rp50 triliun,” ujar Yustinus, (17/7).
Sumber : Berita Tagar.id
Leave a Reply