Siap Habis-Habisan Menggenjot Ekspor

Indonesia butuh ekspor sebanyak mungkin! Begitu pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negar, Jakarta, Senin (8/7) lalu.

Pernyataan Presiden tersebut bukan tanpa alasan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang keluar pada hari yang sama, kinerja ekspor Indonesia masih memble. Sepanjang Januari hingga Juni tahun ini, nilai ekspor negara kita turun 8,57% menjadi US$ 80,32 miliar dibanding periode sama tahun lalu sebesar US$ 87,85 miliar.

Untungnya, nilai impor di semester I-2019 juga menyusut 7,63% menjadi US$ 82,25 miliar. Sehingga, defisit neraca perdagangan kita sedikit menyempit menjadi US$ 1,93 miliar.

Pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan banyak jurus guna menggenjot ekspor. Tapi, belum ampuh-ampuh amat. Karena itu, pemerintah mengeluarkan amunisi baru, dengan merilis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Thaun 2019 tentang Kebijakan Dasar Pembiayaan Ekspor Nasional. Beleid ini berlaku mulai 25 Juni lalu.

Kebijakan Dasar Pembiayaan Ekspor Nasional bertujuan : pertama, mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan ekspor nasional.

Kedua, mempercepat peningkatan ekspor nasional.

Ketiga, membantu peningkatan kemampuan produksi nasional berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan untuk ekspor.

Keempat, mendorong pengembangan usaha mikro, kecil, menengh, dan koperasi untuk mengembangkan produk yang berorientasi ekspor.

“Aturan tersebut bertujuan untuk memaksimalkan peran Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dalam membantu meningkatkan kinerja ekspor nasional, “ kata Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan.

Dengan PP No. 4/2019, pemerintah mengarahkan strategi pembiayaan ekspor untuk kegiatan yang menghasilkan devisa, menghemat devisa dalam negeri, dan meningkatkan kapasitas produksi nasional.

Nbemun, kegiatan yang menghasilkan devisa bukan Cuma ekspor. Sebab, LPEI juga dapat mandat untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor jasa pariwisata di dalam negeri.

Menurut Wira, sudah ada beberapa proyek pengembangan destinasi wisata yang pembiayaannya berasal dari LPEI. “Pada akhirnya ini akan menarik wisatawan sehingga menambah devisa dan memperbaiki defisit transaksi berjalan,” imbuh dia.

Agus Windiarto, Direktur Pelaksana III LPEI, mengatakan, lembaganya siap menjalankan seluruh mandat yang pemerintah berikan. Sejalan dengan program pemerintah, LPEI bakal memberikan dukungan yang optimal terhadap pengembangan lima sektor prioritas : industri makanan dan minuman, otomotif, elektonik, serta kimia. “Baik untuk ekspor korporasi maupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), “ ucap Agus.

Selain pembiayaan, LPEI menyediakan fasilitas dalam bentuk penjaminan dan asuransi. Mereka juga bisa melaksanakan kegiatan berupa penyediaan jasa konsultasi, restrukturisasi pembiayaan ekspor, reasuransi, juga penyertaan modal. Semua fasilitas dan kegiatan itu juga bisa diberikan LPEI untuk badan usaha yang baru dibangun atau masih rintisan (startup).

Jadi, “PP Nomor 43 Tahun 2019 disusun untuk menjawab kondisi atau permasalahan dan tantangan ekspor, sekaligus menangkap peluang ekspor ke depan,” tambah Wira.

Revisi fasilitas pajak

Pemerintah juga mengeluarkan PP Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Beleid ini keluar berbarengan dengan aturan main pembiayaan ekspor.

Salah satu poin pentingnya adalah perusahaan yang melakukan pendidikan vokasi bakal mendapatkan pengurangan pajak penghasilan (PPh) bruto maksimal 200% dari nilai investasi yang mereka keluarkan. “PP Nomor 45 Tahun 2019 juga bagian dari upaya mendorong ekspor,” ujar Rofiyanto Kurniawan, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kementerian Fiskal Kemkeu.

Begitu juga dengan kebijakan perluasan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) alias 0% untuk ekspor jasa. Aturna mainnya termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32/PMK.010/2019 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya Dikenai PPN.

Rofiyanto menjelaskan, kebijakan tersebut digulirkan untuk meningkatkan perekonomian domestik, dengan mendorong ekspor jasa. Insentif PPN 0% bisa berdampak positif bagi pengusaha domestik dalam negeri yang akan menjual jasanya ke mancanegara.

Di satu sisi, pembebasan PPN bakal mendongkrak daya saing pengusaha lokal di pasar global. “ Membaiknya ekspor jasa akan memperbaiki defisit transaksi berjalan,” kata Rofiyanto.

Nah, menurut Rofiyanto, satu langkah yang pemerintah siapkan dalam rangka memacu kinerja manufaktur dan ekspor nasional. Yakni, merevisi PP No.18/2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau Di Daerah-Daerah Tertentu (tax allowance). “ Jadi, semuanya nanti diharapkan akan mendorong ekspor,” ujar dia.

Hanya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dramin Nasution pesimistis, kinerja ekspor bisa meningkat dalam waktu dekat. Meski begitu, ia menegaskan, pemerintah terus berupaya menjaga neraca dagang bulanan tetap surplus, dengan menekan arus impor minyak dan gas (migas).

Menurut Darmin, kinerja ekspor nasional yang belum juga oke tak lepas dari perekonomian global. “Ekonomi dunia bermasalah,” ungkapnya.

BPS mencatat, neraca dagang Juni mencetak surplus US$ 200 juta. Ini seiiring nilai ekspor bulan lalu yang mencapai US$ 11,78 miliar, sementara impor hanya US$ 11,58 miliar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati enggan berspekulasi atas tren penurunan ekspor ke depan. Yang terang, pemerintah akan terus melakukan evaluasi kinerja perdagangan secara menyeluruh.

Kemkeu akan fokus melaksanakan instruksi presiden untuk menggenjot ekspor dengan menyiapkan kebijakan pendukung , yakni perpajakan, bea cukai, dan lainnya. “Kami terus berkerjasama dengan instansi lain untuk mendukung ekspor dan perkuat industri,” ujar Sri.

Benahi iklim usaha

Pieter Abdullah, Direktur Riset Core Indonesia, menilai, berbagai upaya pemerintah memang belum efektif meningkatkan ekspor. Pasalnya, struktur ekonomi Indonesia selama ini terlalu mengandalkan komoditas sumber daya alam (SDA) yang sangat rentan dipengaruhi harga dan permintaan.

Permintaan melambat karena ekonomi secara global lesu, sehingga harga turun. “Sementara menggenjot ekspor manufaktur belum siap, ini terjadi penurunan besar di situ, “ kata dia.

Pemerintah terlambat membangun industri manufaktur secara komprehensif. Selama ini, kebijakan pemerintah di sektor manufaktur cenderung parsial. Bukan kebijakan holistik dan terintegrasi, baik di sektor infrastruktur, birokrasi, dan lain-lain. “ Pemerintahan Jokowi benar membangun infrastruktur. Tapi, tak ada perencanaan infrastruktur untuk industri yang mana, “ jelasnya. Melihat itu, ia menilai, masih sangat sulit bagi Indonesia keluar dari defisit neraca dagang tahun ini.

Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengamini apa yang Pieter katakan. Menurut dia, tidak ada yang baru dari berbagai kebijakan pemerintah tersebut. “Itu sebenarnya recycle barang lama saja,” catusnya.

Apapun kebijakan pemerintah tidak akan efektif menggenjot ekspor selama ekosistem usaha di dalam negeri tidak kondusif. “Terus terang, sekarang banyak aturan dan undang-undang yang pisaunya tajam kedalam dan tumpul ke produk luar, sehingga banjirlah barang impor,” ungkap Ade.

Kalau pemerintah benar-benar ingin memperbaiki industri manufaktur dan kinerja ekspor, maka iklim usaha di dalam negeri harus dibenahi dulu. Bila iklim usaha sudah baik, pengusaha akan nyaman melakukan aktivitas produksi. “ Kalau sekarang kan, rasanya gimana sih kalau kerja dalam ketakutan, enggak nyaman, kan ?” ujarnya.

Kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga memiliki keraguan atas paket-paket insentif pemerintah bisa berdampak positif dalam menggenjot ekspor. Soalnya, hingga saat ini pengusaha masih ragu, apakah insentif fiskal bisa diterapkan secara nyata. “Memang, banyak regulasi bagus, tapi syaratnya sangat berat untuk mendapatkan insentif itu,” kata Agung Pambudhi, Direktur Apindo Research Institute.

Karena itu, Agung mengharapkan, berbagai insentif super deduction tax bisa sejalan dengan semangat Presiden yang berpihak kepada pengusaha. Maklum, ada banyak stimulus yang sulit diakses oleh pengusaha. Salah satunya, tax holiday dan tax allowance.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) Adhi Lukman mengatakan, seharusnya berbagai insentif tersebut memang bisa dengan mudah diakses pelaku usaha seperti di Vietnam, ada istilahnya mekanisme check list. Jadi, kalau kita mau investasi ini, ya, dapat ini. Tidak banyak syarat,” bebernya.

Yukki Nigrahawan Hanafi, Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), bilang, butuh terobosan lain untuk menggenjot ekspor. Yang mendesak saat ini pemerintah lakukan : mempermudah layanan birokrasi ekspor.

Pengurusan ekspor masih menekan waktu hingga dua hari. Belum ditambah kemacetan di jalan sehingga berdampak ke pengusaha. “ Izin penggunaan bahan baku juga perlu dipermudah,” imbuh Yukki.

Wira mengakui, sejauh ini bermacam insentif yang sudah ada belum maksimal dalam mendorong ekspor. Memang, tidak mudah menggenjot eskpor di tengah perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Perang dagang dua raksasa ekonomi dunia itu berdampak terhadap penurunan volume perdagangan secara global. “Akibatnya, permintaan atas barang-barang produksi banyak menurun,” sebutnya.

Menjawab kekhawatiran pengusaha soal penerapan insentif, Wira menjamin, semua akan pemerintah berikan selama memenuhi persyaratan. Revisi aturan tax allowance juga untuk menjawab keluhan pengusaha yang kesulitan memenuhi persyaratan yang ada.

Semoga, jurus-jurus baru pemerintah kali ini manjur.

Sumber : Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only