Pemberian insentif bebas pajak untuk produk reksa dana, Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra), Dana Investasi Real Estat (DIRE), dan Kontrak Investasi Kolektif—Efek Beragun Aset (KIK—EBA) dinilai dapat menggairahkan industri.
Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Yunirwanyah mengatakan, pemerintah akan memberikan relaksasi pajak kepada para wajib pajak (WP) pemilik reksa dana, Dinfra, DIRE, dan KIK—EBA.
Relaksasi yang akan dimasukkan ke revisi PP No.100/2013 tentang PPh Berupa Bunga Obligasi ini rencananya akan memberikan tarif sebesar 0% bagi keempat instrumen investasi tersebut sampai dengan 2020. Setelahnya, tarif yang akan dikenakan sebesar 10%.
Saat ini, PP No.100/2013 tersebut memberlakukan pajak bunga obligasi yang menjadi aset dasar reksa dana adalah sebesar 5% dan akan berakhir pada 2020. “Reksa dana tarifnya 0% sampai 2020, setelah itu 10%. Dinfra, KIK-Eba, dan Dire skema tarifnya juga sama,” kata Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Yunirwanyah di Bali, Rabu (31/7).
Kepala Riset Infovesta Utama Wawan Hend rayana menjelaskan, pemberian insentif pajak sebesar 0% untuk kontrak investasi kolektif memang sudah sewajarnya diberikan, khususnya untuk produk investasi alternatif yang masih tergolong baru seperti DIRE, Dinfra, dan KIK—EBA.
“Menurut saya ini akan menjadi lebih menarik, baik bagi para fund manager maupun emiten yang butuh pendanaan. Keduanya bisa melirik produk yang tiga [DIRE, Dinfra, dan KIK—EBA] tadi,” kata Wawan kepada Bisnis , Kamis (1/8).
Pasalnya, lanjut Wawan, secara yield akan membuat investor tertarik dengan pemberlakuan pajak yang wacananya sebesar 0%— sekarang sebesar 5%—dan bisa dinikmati hingga akhir 2020 tersebut.
Paling tidak, imbal hasil yang diterima investor nantinya bisa lebih tinggi ketimbang produk obligasi yang menjadi saingan dari produk investasi alternatif itu sendiri.
LEBIH RUMIT
Dengan adanya ketertarikan dari sisi investor, para penerbit, baik dari emiten maupun manajer invetasi pun nantinya akan lebih yakin untuk menerbitkan DIRE dan Dinfra kendati proses penerbitannya lebih rumit ketimbang obligasi.
Menurut Wawan, pemberian pa- jak setelah 2020 sebesar 10% pun sebenarnya masih tergolong insentif karena pajak yang sesuai dengan UU No. 36/2008 tentang perubahan keempat UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan adalah sebesar 15%.
Adapun, produk investasi alternatif memang baru berkembang selama setahun terakhir. Saat ini, baru ada Dinfra milik PT Jasa Marga (Persero) Tbk. dengan jumlah Rp423,5 miliar yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Untuk produk DIRE, terdapat tiga produk yang dicatatkan di bursa yaitu DIRE Ciptadana Properti Ritel Indonesia, DIRE Ciptadana Properti Per- hotelan Padjajaran, dan DIRE Simas Plaza Indonesia.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menilai penerbitan produk investasi alternatif memang masing menantang, mulai dari pencarian proyek yang feasible hingga mencari investor yang berminat.“DINFRA, DIRE, dan KIK—EBA pajak memang positif tapi jumlahnya masih relatif belum banyak karena proses penerbitannya cukup menantang,” ujar Rudiyanto.
Namun demikian, bagi reksa dana, efek pemberian relaksasi pajak akan menjadi lebih positif karena komunitasnya yang sudah besar. Adapun pemberian relaksasi pajak ini dinilai akan menguntungkan semua produk reksa dana dengan aset dasar obligasi.
Selanjutnya, alih-alih memberikan pajak 0% hingga tahun depan dan 10% untuk tahun-tahun berikutnya, Rudiyanto berpendapat akan lebih baik apabila regulator bisa mempertahankan pajak yang sudah berlaku sekarang sebesar 5% untuk 5 tahun ke depan.
Ketua Dewan Presidium APRDI Prihatmo Hari menyampaikan, hadirnya produk investasi alternatif di pasar modal sangat bagus untuk pendalaman pasar.
“Jadi seyogyanya para pihak memberi perhatian dan sama-sama bantu perbesar. Apalagi ketiga produk tersebut sangat bisa digunakan sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur yang kebutuhannya sangat besar,” kata Prihatmo.
Sumber : Harian Bisnis Indonesia
Leave a Reply