Tingkat Kepatuhan Korporasi Rendah

JAKARTA. Tuntutan untuk memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) korporasi dari 25% menjadi 20% hingga tax amnesty jilid kedua bertolak belakang dengan kepatuhan formal wajib pajak korporasi yang masih rendah.

Data Ditjen Pajak sampai Juli 2019 menunjukkan, realisasi kepatuhan formal wajib pajak (WP) Korporasi masih berada di bawah 60% atau tepatnya sebesar 57,28% dari WP badan yang wajib lapor SPT.

Secara rasio, jumlah tersebut relatif stagnan dibandingkan dengan tahun lalu pada angka 58% atau justru lebih rendah dibandingkan dengan 2017 yang tembus ke angka 65%.

Adapun secara umum, realisasi kepatuhan formal wajib pajak baik badan maupun orang kaya juga masih belum sesuai dengan ekspektasi. Pasalnya, dengan target kepatuhan sebanyak 85% atau 15,5 juta SPT, jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT hanya 12,3 juta atau masih ada gap sebesar 3,2 juta.

Dampak relaksasi fi skal yang diberikan kepada para wajib pajak yang juga dinikmati oleh korporasi, turut memperlebar gap penerimaan pajak.

Data terbaru menunjukkan, realisasi belanja pajak atau tax expenditure sementara 2018 mencapai Rp180 triliun atau 1,21% dari PDB. Angka ini melonjak dibandingkan dengan 2016 yanga hanya 1,16% dari PDB dan 2017 sebesar 1,14% dari PDB.

“Kalau dari sisi capaian lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Tetapi dari sisi pencapaian target 85%, walaupun masih berat kami masih cukup optimistis,” kata Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal, akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan, otoritas pajak memiliki sejumlah langkah untuk meningkatkan kepatuhan, salah satunya memaksimalkan pengawasan. Bahkan Ditjen Pajak telah mengirimkan surat kepada WP dan korespondensi yang cukup banyak dengan wajib pajak. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kepatuhan.

Pemerintah sendiri menargetkan, dengan berbagai macam strategi, termasuk pengawasan hingga law enforcement, porsi pemenuhan kewajiban secara sukarela atau voluntary payment bisa terus diperbaiki. Jika saat ini 15% dari total penerimaan merupakan hasil effort dari otoritas pajak, pemerintah menargetkan ke depan angkanya bisa ditekan menjadi 10%-5%.

SAWIT & BATU BARA

Yon secara spesifi k menyinggung mengenai kepatuhan wajib pajak sawit dan batu bara. Menurutnya, masalah wajib pajak di dua sektor tersebut tidak bisa dilihat secara parsial. Karena persoalan pembenahan di sumber daya alam, perlu dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dari hulu sampai hilir.

“Dari hulu misalnya mulai dari perizinannya, pemetaannya, tentunya setelah hulunya selesai, ujung-ujungnya ke penerimaan. Kami berharap ini bisa terus dilakukan dengan stakeholder yang lain,” jelasnya.

Belum lama ini, KPK merilis laporan yang menyatakan bahwa kekurangan pembayaran pajak tambang mineral dan batu bara di kawasan hutan mencapai Rp15,9 triliun per tahun.

Di sektor perkebunan sawit, KPK menemukan sekitar Rp18,13 triliun potensi pajak yang tidak terpungut oleh pemerintah.

Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan, langkah ekstensifi kasi memang diperlukan untuk mendorong perbaikan basis data Ditjen Pajak. Apalagi di tengah kebijakan pemerintah yang cenderung memperluas cakupan pengurangan dan pembebasan pajak.

“Ekstensifi kasi memang sesuatu yang diperlukan sebagai wujud perluasan basis pajak seiring dengan makin banyak insentif dan relaksasi serta juga wacana penurunan tarif PPh,” ujarnya.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only