Perlukah Tax Amnesty Jilid II

Wacana pemberlakuan tax amnesty jilid kedua kembali muncul dalam diskusi Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Kamar Dadang dan Industri (Kadin), Jumat, 2 Agustus 2019 di Jakarta. Padahal dengan UU No 11 tahun 2016 telah diberlakukan pengampunan pajak selama waktu Sembilan bulan, sejak bulan Juli 2016 sampai dengan Maret 2017.

Keberlakuan UU tersebut tampaknya dinilai kurang optimal karena sedikit wajib pajak (WP) memanfaatkannya dan penerimaan negara hanya sebesar Rp 135 triliun. Maka, ketika Negara terus menerus membutuhkan dana, tax amnesty (TA) jilid kedua menjadi tema menarik untuk didiskusikan.

Menimbang perlu tidaknya TA jilid kedua, pastinya menimbulkan pro dan kontra. Dua pertanyaan penting hendak penulis kemukakan dalam tulisan ini. Pertama, apakah TA cukup diberlakukan sekali saja? Kedua, apakah TA jilid kedua dapat memberikan keadilan sosial buat bangsa?

Pembatasan Tax Amnesty

Ketika wacana TA jilid kedua muncul, sebagian pihak menentangnya dengan berbagai argumentasi, seperti efek psikologi serta ketidakbaikan bagi sistem perpajakan. Termasuk alasan ketidakpatuhan wajib pajak (WP) atau moral hazard dalam pemenuhan kewajiban pajaknya. Penting penulis kemukakan bahwa alasan seperti itu sangat wajar jika amnesty dimaknai memberi ampunan semata.

Dalam konteks hokum tidaklah demikian. Hukum (hokum pajak) merupakan tatanan hidup bersama yang dianggap sesuai dengan kepentingan nasional. Di titik ini penulis setuju dengan teori Von Jhering (1818-1892) yang berbasis ide manfaat yang diusahakan lewat hukum (UU). Karena itu merupakan hasil penyatuan kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama, yakni kemanfaatan (utilitarianisme). Kepentingan individu jadi bagian tujuan sosial, menghubungkan tujuan pribadi dengan kepentingan orang lain.

Kalau begitu, usainya keberlakuan TA dalam UU No 11/2016 tidak bisa dimaknai tidak diperlukan lagi TA jilid kedua, jilid ketiga, dan seterusnya. Bahkan ukuran moral hazard yang ‘dicurigai’ akan dimanfaatkan WP, semestinya juga belum bisa dibenarkan, sepanjang belum diberlakukan TA jilid kedua, dan seterusnya.

Analisisnya adalah pembatasan untuk tidak memberlakukan TA jilid kedua dari sisi hukum seakan ‘menutup’ ruang pemahaman hokum seperti dikatakan Ehrlich bahwa hukum itu hidup dan selalu mengikuti perkembangan masyarakat (living law). Karenanya, keberlakuan TA menjadi alasan kenyataan social yang secara ekonomis manusia sadar akan kebutuhannya (opinion necessitates).

Dalam konteks itu juga, persoalan kepatuhan atau moral hazard tidak semata ditentukan oleh ada atau tidak adanya TA. Sekalipun WP ikut TA tidak berarti kepatuhan meningkat, tetapi karena memang TA dibutuhkan saat itu. TA tahun 2016, TA jilid kedua, dan seterusnya, bukan merupakan penentu atau ukuran peningkatan kepatuhan. Kepatuhan atas hukum (UU) adalah budaya hukum yang menurut Satjipto (2003) ditentukan oleh nilainilai tertentu yang menjadi acuan dalam praktik hukumnya. Nilai itu disebut Ulpian sebagai hidup jujur, jangan sakiti orang lain, dan berikan kepada orang yang menjadi haknya (honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere).

Keadilan Sosial

Setelah melaksanakan program pengampunan pajak, pemerintah menerbitkan UU Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan No 9/2017 yang dirasa cukup baik karena sudah ada 47 juta transaksi yang dilaporkan. Apa maknanya? Menurut penulis, UU ini hendak menyatakan perlunya keadilan sosial yang dibutuhkan semua pihak.

Keadilan sosial itu merupakan keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur ekonomi, politik dan sosial budaya dalam masyarakat (Magnis-Suseno, 2018). Kondisi itu hanya bisa dilakukan Negara melalui kebijakan berkeadilan yang punya dampak besar.

Dalam analisis penulis, wacana keberlakuan TA jilid kedua –sepanjang tepat materi maupun sasarannya– mau tidak mau akan mewujud pada keadilan sosial untuk kepentingan bersama seperti kebijakan keberlakuan UU 9/2017 di atas.

Dengan usainya TA 2016 maka bukan merupakan harga mutlak tidak membolehkan keberlakuan TA jilid kedua karena lembaga (UU) TA adalah hukum yang hidup. “Usai tax amnesty pertama, pemerintah sebaiknya melakukan penegakan hukum bagi mereka yang tidak ikut tax amnesty,” begitu kira-kira pendapat sebagian masyarakat yang menurut penulis cukup wajar. Namun dari sisi filosofis patut dipertanyakan karena pastinya menimbulkan pertanyaan lain.

Pertanyaannya, apakah ancaman via penegakan hukum menjadi lebih efektif ketimbang tidak mengancam? Daya pengancam sebagai dasar kekuasaan pemerintah, jika dianalisis sepertinya hendak kembali pada cara berpikir Hobbes yang menggambarkan negara sebagai leviathan (raksasa). Penegakan hukum bagi WP yang tidak ikut TA seakan hendak menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata-mata karena kemampuannya untuk mengancam. Tesis itu mesti dipikirkan ulang dalam memahami makna penegakan hukum dalam konteks TA. Jika diperhatikan UU TA No 11 tahun 2016, terlihat bahwa Negara tidak merepresentasikan gambaran sebagai leviathan. Itu sudah tepat.

Begitulah mestinya jika TA jilid kedua hendak diwujudkan. Jadi, bukan berpikir dalam tataran efek psikologis bahwa ‘saya lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty.’ Termasuk pendapat moral hazard sebagai perilaku WP. Dengan uraian di atas, disimpulkan bahwa keberlakuan TA jilid kedua menjadi perlu bagi kebutuhan bersama guna membentuk perilaku hukum yang menjadi cita-cita bersama.

Negara melalui kebijakan politik hukum perlu membentuk UU (termasuk UU TA jilid kedua) guna menciptakan keadilan sosial sebagai tujuan bersama.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only