Menyoal Tax Amnesty Jilid II

Gagasan pemetintah yang ingin menggulirkan pengampunan pajak (TA) jilid II telah menimbulkan dua pendapat berbeda. Pertama, menilai perlu TA jilid II karena masih sedikit Wajib Pajak (WP) ikut pengampunan pajak sebelumnya. Kedua, menilai tidak perlu dan pemerintah mestinya melakukan penegakan hukum pemeriksaan bagi WP yang tidak ikut TA agar dirasa adil.

Memberi kesempatan ulang kepada WP ikut pengampunan pajak lewat TA jilid II tentu didasarkan pada pendekatan penanaman kesadaran ulang. Sedangkan pendekatan penegakan hukum didasarkan pada rasa keadilan sebagai konsekuensi tindakan karena tidak ikut TA.

Kedua pendekatan tersebut bisa tepat, tapi bisa juga kurang tepat. Pasalnya, tulisan ini ingin menganalisis pada pendekatan filosofis menilai hakekat pajak serta menilai aturan pajak pada makna dekonstruksi hukum termasuk hubungan hukum dan keadilan dalam konteks gagasan TA jilid II.
Seperti kita ketahui bersama bahwa TA sudah diberlakukan melalui Undang-Undang (UU) No 11 tahun 2016 dengan masa berlaku hanya sembilan bulan. Pemberlakuan sangat singkat boleh jadi pemberi sinyal bagi WP supaya segera memanfaatkannya agar terhindar dari sanksi hukum.

Tapi fakta berkata lain. Ternyata masih sedikit WP memanfaatkan TA sehingga dinilai perlu diterapkan TA jilid II. Kalau begitu, dua pernyataan berikut perlu dijawab terlebih dahulu bila kelak TA jilid II benar benar diterapkan. Pertama, apakah gagasan TA jilid II adil buat mereka yang sudah ikut TA? Kedua, mengapa pemerintah bukan menjalankan penegakan hukum (pemeriksaan) bagi WP yang tidak ikut TA?

Saat memahami keadilan suatu UU, semestinya perlu pemahaman makna dekonstruksi hukum atas satu UU. Selama ini publik hanya memahami dan mengklaim keharusan kesesuaian satu kejadian (tindakan) dengan norma patokan hukum sebagai tindakan itu adil atau tidak.

Padahal, dalam penemuan keadilan, publik pun harus siap dan berani melepaskan aturan, norma dan kriteria yang sudah ditetapkan. Dekonstruksi hukum yang dimaksud terletak dalam makna bahwa penemuan keadilan bukan merupakan usaha menerapkan satu aturan saja.


Dikatakan Derrida bahwa keadilan tidak melulu ditemukan dalam hukum atau dalam tatanan rasio. Keadilan juga bisa ditemukan diluar dari apa yang tertulis dalam UU. Tidak cukup hanya menerapkan aturan hukum untuk menemukan apa yang adil dan tidak adil.

Artinya dekonstruksi hukum dalam norma atau teks UU Pajak, termasuk UU Pengampunan Pajak No 11 tahun 2016 semestinya dikontekstualisasi pembaca menurut situasinya masing-masing. Bila TA jilid II hendak diwujudkan, hal inipun mesti dilakukan pada konteks dan situasi yang memang dimungkinkan.

Kesimpulannya, hukum itu hidup karena mengikuti zamannya. Begitupun makna pengampunan pajak tidak bisa diputuskan untuk tidak diperbolehkan untuk disusun ulang dalam mencari keadilan dan kemanfaatan bersama. Norma akan selalu dan terus menerus mengikuti zaman.

Diskusi TA jilid II adalah diskusi kebaruan dalam menilai keberhasilan dan keadilan dalam pungutan pajak. Keadilan TA tidak dapat dimaknai sebagai keadilan dalam UU TA, karena keadilan tidak sepenuhnya terdapat dalam UU termasuk keadilan penerapan atau penegakan hukumnya.

Kebaruan pandangan menilai adil tidaknya melalui gagasan TA jilid II menjadi materi menarik untuk didiskusikan, terlebih keadilan dari makna pajak yang sudah berusia tua. Paham dan kebijakan pajak hakekatnya adalah keadilan untuk semua, keadilan kepentingan umum, walau terus diperdebatkan dalam praktiknya.

Kebaruan pandangan menilai rencana TA jilid II adalah kebaruan pandangan kekinian sekaligus menjadi kritik hukum bagi pandangan menilai pelaksanaan UU No 11/2016 (TA jilid I). Kebaruan pandangan tersebut ditunjukkan guna menciptakan kesejahtraan umum yang menjadi tugas negara melalui pengumpulan pajak.

Kebaruan pandangan dalam pajak adalah kebaruan yang tidak dapat menyandarkan seutuhnya hanya pada UU karena itu berbahaya. Semakin kita menerapkan hukum dengan ketat, semakin kita mencapai ketidakadilan bukan keadilan.

Lebih tegas dinyatakan Nonet lewat tesis hukum responsif yang menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan ketentuan sosial dan aspirasi publik. Begitupun hukum pajak mesti terbuka bagi gagasan TA jilid II dengan mengedepankan perubahan perubahan sosial demi keadilan yang dituju.

UU No. 11/2016 yang sudah berakhir pada 2017 lalu memberi banyak pembelajaran bagaimana otoritaa pajak menjalankan praktik berhukum proses pengampunan pajak. Termasuk merenungkan adagium lex tamesti sunt scripta yang amat berbahaya karena berperinsip paham legalisme terkait UU TA.

Kebaruan yang dikehendaki adalah kebaruan menciptakan hukum menutrut budaya hukum kita yang tidak melulu berpaham legalisme. Ruang keadilan dan kemanfaatan pungutan pajak dalam gagasan TA dilid II, tentu amat diharapkan meski harus dikaji dalam konteks kebaruan budaya hukum sebagai jati diri bangsa.

Sumber :Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only