Industri Manufaktur Terus Lesu, Pemerintah Perlu Lakukan Ini

JAKARTA — Pertumbuhan industri manufaktur Indonesia terus mengalami pelemehan sejak paruh kedua 2018. Penurunan terjadi di banyak sektor, mulai dari industri batu bara dan migas, kimia dan farmasi, hingga karet dan plastik.

Sementara, 16 Paket Kebijakan Ekonomi yang diterbitkan Presiden Joko Widodo tidak banyak membantu. Direktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Research Institute, Agung Pambudhi mengakui, industri manufaktur beberapa tahun ke belakang hanya mampu tumbuh di kisaran 4,35 persen.

Sementara, kontribusi manufaktur terhadap pertumbuhan produk domestik bruto juga kian melemah hingga di bawah 4 persen. Hal itu diikuti dengan jumlah pekerja industri manufaktur dalam 10 tahun terakhir yang stagnan di kisaran 14 juta pekerja.

“Data-data ini memang konfirm bahwa ada stagnasi manufaktur bahkan penurunan. Sederhananya, apakah kita bisa optimis atau pesimis? Tentu harus optimis,” kata Agung.

Agung memaparkan, 16 Paket Kebijakan Ekonomi yang diterbitkan pemerintah hanya mampu menyelesaikan persoalan dalam jangka pendek. Diperlukan arah kebijakan jangka panjang yang membentuk grand design arah manufaktur Indonesia ke depan.

Ia mengatakan, hal paling mendesak yang perlu dibenahi pemerintah saat ini mengenai pengembangan industri padat karya yang berorientasi ekspor. Industri tersebut, jika dikelola dengan baik akan meningkatkan jumlah tenaga kerja dan lebih banyak menyumbang kenaikan PDB Nasional.

“Dalam konteks ini, perlu dukungan fiskal dan non fiskal,” ujarnya.

Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 45 Tahun 2019 yang mengatur masalah penghitungan penghasilan kena pajak maupun pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan. Beleid itu, kata Agung, harus efektif meningkatkan daya para pekerja Indonesia agar menghasilkan barang dan jasa yang bisa diterima di pasar global.

Ia melanjutkan, langkah kedua yang wajib dimulai yakni membentuk sinergisitas antara sektor hulu dan hilir. Mau tidak mau, kata dia, pelaku industri dari hulu ke hilir harus bekerja sama.

Menurut Agung, pemerintah dapat menetapkan penghargaan dan hukuman jika terdapat pelaku bisnis di tiap-tiap level yang tidak mau bekerja sama.

Adapun upaya ketiga yang juga tidak boleh luput dari perhatian terkait keberjalanan perundingan perjanjian perdagangan internasional. “Ini sangat ditunggu agar kita punya level playing field dengan negara-negara Asean lainnya yang sudah punya perjanjian dagang,” kata Agung.

Perjanjian perdagangan dengan negara-negara Eropa salah satu yang paling dinantikan oleh pengusaha. Sebab, lewat kesepakatan dagang, tarif bea masuk produk dari Indonesia akan turun sehingga produk yang diekspor lebih kompetitif.

Selain masalah kebijakan, Apindo Research Institute menggarisbawahi persoalan layanan kepabeanan dan logistik. Menurut dia, dua hal itu berperan penting menentukan tingkat efisiensi arus barang dan jasa di Indonesia.

Pelayanan kepabeanan dan logistik, menurut Agung, masih memakan waktu lebih dari satu hari. Hal itu sangat menghambat pelaku industri manufaktur untuk berkembang.

Terakhir, ia mengungkapkan, pembenahan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) industri. Agung menyebut, berinvestasi di kawasan KEK belum cukup kompetitif karena mahalnya biaya operasional.

Secara spesifik masalah ketersediaan energi dan harga tanah. Seyogianya, KEK memberikan kemudahan bagi investor dalam berusaha.

“Pemerintah harus membuat KEK yang memang pure bisa membuat industri bisa kompetitif. Memang ini butuh sinergi semua pihak agar manufaktur kita lebih berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Sumber: replubika.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only