JAKARTA. Ada angin segar bagi pengusaha farmasi dan alat kesehatan. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) memberikan fasilitas percepatan pencairan kelebihan pembayaran pajak atau restitusi bagi pedagang besar farmasi dan distributor alat kesehatan.
Kebijakan ini tertuang di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 117 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Beleid yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tersebut berlaku sejak 19 Agustus 2019 lalu.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas (P2Humas) Ditjen Pajak Kemkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, pemerintah ingin mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Makanya, pemerintah menambah dua Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah (PKPBR) di beleid anyar itu. Yaitu, pedagang besar farmasi dan distributor alat kesehatan.
“Keduanya sering bertransaksi dengan rumahsakit pemerintah (sebagai pemungut pajak pertambahan nilai PPN), yang merupakan mitra Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan,” terang Hestu kepada KONTAN, Sabtu (24/8).
Memang, di sisi lain, kebijakan percepatan pembayaran restitusi yang diluncurkan pemerintah mulai April 2019 menjadi momok bagi penerimaan pajak. Percepatan resitusi membuat kinerja penerimaan pajak terlihat melemah.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi peneriman pajak semester I2019 hanya Rp 603,34 triliun atau 38,25% dari target penerimaan pajak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp 1.577,6 triliun. Per Juni tahun ini, penerimaan pajak hanya naik tipis 3,75% dibanding Juni 2018.
Loyonya kinerja penerimaan pajak tersebut disebabkan oleh tingginya restitusi pajak. Restitusi pajak pada sektor pengolahan misalnya, tercatat tumbuh 30,8% year on year (yoy) sepanjang semester I-2019. Demikian pula pada sektor perdagangan menunjukkan restitusi pajak pada periode tersebut tumbuh 41,3% yoy. Belum lagi restitusi pajak pada sektor pertambangan yang juga tercatat tumbuh cukup tinggi.
Namun Yoga optimistis, perluasan PKP yang mendapatkan fasilitas percepatan restitusi kali ini tidak akan mempengaruhi penerimaan pajak secara signifikan. Sebab, restitusi adalah pengembalian hak dari wajib pajak. Prosedur pengembalian pendahuluan dalam PMK tersebut, lanjut Yoga, hanya mempercepat prosesnya saja untuk membantu likuiditas pelaku usaha. “Sehingga secara agregat tidak mengancam penerimaan pajak,” tambah Yoga.
Meskipun demikian, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai bahwa PMK baru ini bisa menggerus penerimaan pajak lebih dalam tahun ini.
“Saya rasa itu fasilitas yang bagus, ada prosedur juga (dalam restitusi pajak) yang perlu dijalankan, jadi tidak masalah. Yang penting ukuran kinerja Ditjen Pajak perlu dimoderasi dengan banyaknya insentif,” kata Yustinus.
Dia menambahkan, kebijakan restitusi pajak sudah cukup baik bagi dunia usaha dan terbukti membantu wajib pajak. Sehingga, percepatan restitusi pajak secara umum layak diteruskan.
Hanya, kantor pajak perlu melakukan pengetatan dan pengawasan saat menentukan kriteria wajib pajak yang mendapat fasilitas ini. Sementara untuk mengatasi bolongnya penerimaan akibat restitusi, “Dapat dilakukan dengan strategi penggalian potensi yang lain agar pertumbuhan terjaga,” katanya.
Sumber: Kontan.co.id
Leave a Reply