Bahan Baku 14 Obat Akan Diproduksi di Dalam Negeri

Jakarta, Ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku untuk produk obat dan alat kesehatan impor masih tinggi. Saat ini, sekitar 95% bahan baku obat mengandalkan impor dari sejumlah negara seperti India dan Tiongkok. Kementerian Kesehatan (Kemkes) menargetkan ketergantungan terhadap impor ini ini turun sampai 15 % dalam dua tahun atau 2021 mendatang.

Dirjen Kefarmasian dan Alkes Kemkes, Engko Sosialine Magdalena, mengatakan, terdapat sekitar 14 jenis obat yang bahan bakunya akan diproduksi sendiri oleh Indonesia pada 2021 mendatang. Di antaranya adalah sefalosporin (kelompok antibiotik untuk membunuh bakteri) dan turunannya, atorvastatin dan simvastatin (untuk menurunkan kolesterol), clopidogrel (untuk jantung) entecavir (untuk hepatitis B), efavirenz (antiretroviral untuk HIV/AIDS, erythropoetin atau EPO (mengobati anemia), insulin, probiotik, ekstrak bahan alam, sel punca protein, fraksionasi darah, vaksin, dan golongan beta laktam buat mengatasi infeksi bakteri.

Untuk mencapai target impor turun hingga 15% di tahun 2021, pemerintah melakukan berbagai upaya. Di antaranya adalah menyederhanakan proses perizinan, misalnya melalui digital signature atau tanda tangan elektronik.

Pejabat Kemkes yang mengeluarkan sertifikat produksi dan distribusi tidak lagi menandatangani surat, tetapi lewat android yang bisa diakses kapan dan di mana pun. Pemerintah juga mendorong RS untuk lebih banyak menggunakan produk dalam negeri daripada impor. Misalnya melalui katalog elektronik, produk dalam negeri ditandai dengan logo merah putih atau kalimat cintai produk dalam negeri yang tujuannya meminta RS utamakan produk lokal. Dorongan pun dilakukan lewat regulasi, misalnya Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional mengamanatkan penggunaan alkes dalam negeri diutamakan.

Upaya terbaru adalah dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) 117/2019 yang merupakan revisi dari Permenkeu 39/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Aturan ini memberikan prosedural yang ramah bagi perusahaan besar farmasi (PBF) dan penyalur alkes, sehingga aliran arus kas (cash flow) mereka tetap lancar.

Sebelum adanya Permenkeu yang baru, menurut Engko, PBF dan penyalur alkes dikenakan pemotongan pajak pertambahan nilai (PPN) dua kali oleh pemerintah. Pertama, pemotongan 10% otomatis dilakukan saat proses di katalog elektronik. Kedua, 10% ketika pemerintah membeli obat dari PBF.

PPN ini akan dikembalikan, namun tidak tentu waktunya bisa tiga tahun bahkan lebih. Dengan adanya Permenkeu yang baru diterbitkan akhir Agustus 2019 ini, pengembalian PPN dari pemerintah ke PBF dan penyalur hanya 5 hari.

Sumber: beritasatu.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only