Peranan Robot Makin Marak, Perlu Aturan Pajak Khusus?

Jakarta, Pemanfaatan teknologi robotik di bidang industri sudah kian marak seiring perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini.

Pemanfaatan robot pun tak melulu soal penggunaan mesin-mesin canggih tapi mulai merambah pada aplikasi perangkat lunak yang dilengkapi kecerdasan buatan alias artificial
intellegence seperti penggunaan robot humanoid.

Perkembangan teknologi ini akan berdampak besar bukan hanya terhadap perekonomian saja, tetapi juga kehidupan sosial, prinsip-prinsip kemanusiaan dan etika, serta formulasi kebijakan.

Berdasarkan data International Federation of Robotics (IFR), penggunaan robot pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai tiga juta unit atau meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Hal ini berpotensi mengubah struktur rantai nilai global (global value chain) sehingga berdampak pada arus perdagangan internasional dan investasi.

“Indonesia perlu memperkuat langkah antisipasi,” kata Ekonom Centre for Strategics International Studies (CSIS) Marie Elka Pangestu dalam paparannya, Selasa (17/9/2019).

Ia menambahkan, penggunaan robot dan teknologi otomatisasi di bidang manufaktur telah mendorong terjadinya tren reshoring pada perusahaan multinasional. Akibatnya, investasi yang mengandalkan upah yang relatif lebih murah, kian mengecil.

Perkembangan teknologi juga mendorong bertumbuhnya servisifikasi di industri manufaktur. Industri jasa seperti logistik, jasa informasi dan telekomunikasi telah menjadi penopang bagi industri manufaktur.

Untuk mengakomodasi meningkatnya peran industri jasa dalam industri manufaktur diperlukan perubahan mendasar dalam strategi industrialisasi di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Teknologi digital dan otomatisasi diprediksi tidak hanya akan mengubah karakter, jenis dan jumlah pekerjaan, tapi juga membuat hubungan hubungan industrial semakin kompleks.

Hal ini sejalan dengan semakin berkembangnya perusahaan yang berinovasi pada teknologi yang
bersifat disruptif. Pekerjaan yang bersifat virtual freelance semakin meningkat, di sisi lain pekerjaan yang bersifat manual dan repetitif seperti penjaga tol dan teller bank kian berkurang.

Dalam kasus Indonesia, hal ini terasa pada meningkatnya persaingan antara perusahaan yang mengandalkan hubungan kerja tradisional, seperti perusahaan taksi, dengan perusahaan yang mengandalkan hubungan kerja virtual freelance, misalnya ride-hailing.

Untuk mengakomodasi perkembangan ini, regulasi ketenagakerjaan khususnya yang terkait dengan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja perlu diubah.

Peran perpajakan dan ekonomi digital dalam pertumbuhan ekonomi digital yang semakin cepat, pemerintah perlu mereformasi sistem perpajakan yang ada. Namun hal ini bukanlah hal yang mudah karena rezim perpajakan yang rumit dan berbeda-beda antar negara menjadi penghambat.

Diperlukan sistem perpajakan yang berlaku secara universal dan dapat diterima di semua negara.

Untuk itu, 125 negara berkolaborasi melalui OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) untuk menciptakan standar acuan internasional yang baru bagi peraturan perpajakan.

Selain itu, meningkatnya penggunaan robot memunculkan inisiatif baru untuk mengenakan robot tax selayaknya pekerja manusia.

“Inovasi-inovasi perpajakan ini perlu didiskusikan lebih lanjut pada forum antar negara,” tambah dia.

Pembahasan mengenai reformasi perpajakan di era digital ini adalah salah satu bahasan dalam gelaran Global Dialogue 2019 dengan tema “Harnessing Frontier Technologies: Redesigning National, Regional and Global Architecture.

Sumber: detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only