Berharap DPR Baru Bantu Jokowi Dorong Ekonomi dan Investasi

Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019 hingga 2024 sudah resmi bertugas mulai 1 Oktober kemarin. Di dalam periode tersebut, terdapat 575 anggota legislatif terpilih.

Jumlah tersebut lebih banyak 15 orang dibanding anggota DPR periode sebelumnya yang 560 orang.

Anggota legislatif ini akan meneruskan beberapa penyusunan legislasi yang sempat tertunda di masa DPR sebelumnya. Di akhir masa kepengurusan DPR sebelumnya, tercatat ada sembilan rancangan undang-undang (ruu) yang sudah memasuki tahap pembahasan tingkat I, namun belum sempat memasuki tahapan berikutnya.

Sembilan ruu tersebut adalah RUU tentang Pertanahan, RUU tentang Daerah Kepulauan, RUU tentang Kewirausahaan Nasional, RUU tentang Desain Industri, RUU tentang Bea Meterai, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, RUU tentang Pertembakauan, dan RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan.

Sebagian besar dari ruu tersebut berkaitan dengan sektor ekonomi. Namun, selain ruu tersebut, DPR juga perlu memprioritaskan penyusunan rencana penerbitan uu lain. Dari segi dunia usaha, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Raden Pardede meminta DPR untuk menelurkan produk legislasi yang bertujuan agar pelaku usaha merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.

Selain itu, tentu ruu yang disahkan DPR juga harus memberikan kepastian berusaha.

Ia menyebut terdapat dua ruu yang perlu menjadi prioritas DPR dalam waktu dekat. Pertama, revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kedua, rencana pemerintah untuk melakukan omnibus law terhadap 72 undang-undang agar perizinan investasi di daerah bisa lebih mudah.

“Jadi produk legislasi yang diharapkan agar bisa mendorong dunia usaha, sehingga mampu bersaing dalam percaturan dan persaingan global,” jelas Raden kepada CNNIndonesia.com.

Selain dua revisi uu yang sudah ada, dunia usaha juga sejatinya menanti beberapa paket legislasi yang berkaitan dengan investasi dan ekspor. Hanya saja, di dalam penyusunan beberapa uu tersebut, ia berharap ada diskusi dan kajian yang lebih mendalam bersama pelaku usaha.

Sejauh ini, ia mengakui bahwa pelaku usaha sudah sering dilibatkan dalam penyusunan atau revisi beberapa undang-undang. Hanya saja, dunia usaha seharusnya lebih dilibatkan untuk menilai dampak dari implementasi ruu tersebut ke depannya.

Misalnya, hitung-hitungan terkait manfaat ruu tersebut, pihak yang mendapat manfaat dari produk hukum DPR, serta beban atau biaya yang perlu dikeluarkan pelaku usaha atas kebijakan baru tersebut. Kemudian, juga perlu dilakukan kajian mendalam mengenai pihak yang dirugikan atas sebuah ruu, bagaimana memitigasi kerugiannya, dan mengukur efektivitas kebijakan ini secara riil.

“Jadi (keterlibatan dunia usaha) bukan hanya buat uu saja, tapi memastikan bahwa uu yang baik tersebut terimplementasi dengan baik,” papar dia.

Sementara itu, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan bahwa DPR harus fokus di dalam merevisi beberapa produk legislasi yang dianggap sudah usang dan membuat daya tarik investasi Indonesia kurang bersinar. Ia menyebut tiga ruu yang sekiranya perlu menjadi prioritas dalam waktu dekat.

Pertama, adalah revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Menurutnya, uu tersebut bisa menjadi gerbang pemerintah untuk mereformasi sistem administrasi perpajakan agar lembaga otoritas pajak bisa lebih optimal dalam menghimpun pendapatan negara.

Lagipula, RUU KUP sejatinya membuka gerbang bagi revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, di mana pemerintah ingin menurunkan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen agar investasi kian moncer.

“Seharusnya, DPR saat ini sudah harus bisa melihat UU KUP ini lebih mendalam,” terang Yose.

Kedua, lanjutnya, adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Memang, selama ini rencana uu tersebut kerap mengundang kontroversi. Namun, DPR sebenarnya punya pilihan agar isi RUU Pertanahan tetap ramah investasi tanpa mengesampingkan hak-hak golongan masyarakat tertentu.

Dalam hal ini, ia mencontohkan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) yang seharusnya bisa lebih lama dari ketentuan saat ini, yaitu 30 tahun. Ia kemudian berkaca pada ketentuan HGU negara lain.

Di negara lain, konsesi bisa mencapai 99 tahun. Pembahasan RUU Pertanahan ini seharusnya juga dibarengi dengan ruu prioritas ketiga versinya, yakni RUU Ketenagakerjaan.

Dua ruu ini, lanjut Yose, seharusnya bisa mendukung ekosistem investasi yang lebih baik bagi dunia usaha. “Meski memang secara proses politik, meloloskan dua ruu ini tidak mudah karena akan ada pro kontra,” kata dia.

Hanya saja menurutnya, hasil produk legislasi tersebut akan bermanfaat jika DPR mau bersikap transparan soal penyusunannya. Sebab, selama ini, ia menganggap dewan legislatif kurang terbuka terhadap proses penyusunan kebijakan yang sedang berlangsung.

Ia kemudian mencontohkan beberapa produk legislasi yang dikebut pengerjaannya tanpa memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Selain itu, DPR juga jarang mengunggah draf RUU yang sedang disusun ke dalam situs resminya.

Padahal, menurut pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, masyarakat punya hak untuk memberikan masukan secara lisan dan tertulis mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Jadi memang transparansi kepada publik itu sesuatu yang penting. Saya dengar 55 persen dari anggota DPR ini merupakan wajah baru, sehingga seharusnya bisa membawa penyegaran terhadap transparansi ini,” kata dia.

Perbaiki Pengawasan APBNDi sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kinerja anggota DPR dari aspek ekonomi tak melulu menyoal produk hukum yang diterbitkan. Namun, juga dari sisi pengawasan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sejatinya, DPR dan APBN merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebab, di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, DPR adalah pihak yang menyetujui APBN serta pihak yang mempertanyakan realisasi APBN pemerintah.

Oleh karenanya, Bhima berharap anggota DPR yang baru benar-benar bisa mengerti substansi APBN sehingga perencanaan anggarannya lebih terukur dan pengawasannya bisa lebih ketat.

“Harapannya anggota dewan, khususnya komisi XI, bisa lebih kritis lagi dengan argumen yang tajam dan solutif,” kata Bhima.

Apalagi, tantangan APBN ke depan akan semakin berat. Dari sisi penerimaan, DPR harus lebih kritis mengenai rasio pajak Indonesia yang saat ini masih di angka 11,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di tengah keinginan pemerintah yang jor-joran memberikan insentif fiskal dan berencana menurunkan tarif PPh badan 2021 mendatang.

Kemudian dari sisi belanja, DPR seharusnya bisa lebih tegas mengenai penyusunan beberapa pos belanja seperti belanja pegawai yang terus meningkat, pembayaran bunga utang, hingga efektivitas belanja sosial pemerintah yang jumlahnya meningkat terus setiap tahun.

“Itu membutuhkan masukan anggota dewan sehingga anggaran bisa lebih kredibel dan strateginya tepat di tengah isu resesi ekonomi,” pungkas Bhima.

Sumber : Cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only