Inflasi Rendah Momentum Genjot Ekonomi

Untuk kedua kalinya dalam tahun ini Indonesia mengalami deflasi. Pada September 2019, terjadi deflasi sebesar 0,27%, setelah Februari mencatat deflasi sebesar 0,08%. Dari 82 kota Indeks Harga Konsumen (IHK), sebanyak 70 kota mengalami deflasi dan 12 kota mengalami inflasi.

Deflasi September terjadi karena turunnya indeks kelompok bahan makanan sebesar 1,97%. Beberapa bahan pangan penyumbang deflasi adalah komoditas bumbu-bumbuan seperti cabai merah, bawang merah, cabai rawit, serta daging ayam ras dan telur ayam ras.

Adapun komoditas yang memberi andil terhadap inflasi antara lain makanan jadi, beras, rokok, emas, bahan bakar, transportasi dan komunikasi, hingga pendidikan dan kesehatan.

Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi tahun kalender (Januari– September) 2019 tercatat sebesar 2,20% dan tingkat inflasi tahun ke tahun (year on year/yoy) sebesar 3,39%. Angka ini memberi keyakinan bahwa inflasi tahun ini hanya sedikit di atas 3%. Artinya, dalam lima tahun terakhir laju inflasi dapat dikendalikan dalam kisaran sekitar 3%.

Laju inflasi yang rendah, bahkan sampai deflasi, dapat dimaknai dari dua sisi. Pertama, hal itu mengindikasikan harga-harga komoditas dapat dikendalikan lantaran terjadinya keseimbangan permintaan dan pasokan. Kedua, indikator itu bisa dibaca bahwa daya beli masyarakat rendah. Kita berharap asumsi pertama yang berlaku.

Secara teori, semua negara menghendaki inflasi yang rendah. Selain mencerminkan terkendalinya harga barang dan jasa, rendahnya inflasi akan mendorong penurunan suku bunga. Suku bunga yang rendah akan memberikan dampak berlipat (multiplier effect) yang besar, terutama meningkatnya kapasitas kredit dan pembiayaan yang digelontorkan oleh perbankan dan lembaga keuangan lain.

Bank Indonesia (BI) telah tiga kali berturut-turut menurunkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 75 basis poin (bps) tahun ini menjadi 5,25%. Selain memangkas bunga acuan, untuk menggenjot daya beli, BI juga mengeluarkan kebijakan makroprudensial guna mendorong pertumbuhan kredit properti dan pembiayaan properti serta kendaraan bermotor. BI melonggarkan aturan makroprudensial melalui Loan To Value (LTV) yang membuat uang muka atau down payment (DP) kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) menjadi lebih murah.

Pelonggaran moneter oleh Bank Indonesia tentu saja bertujuan akhir untuk memberikan stimulus bagi perekonomian, di tengah atmosfer global yang penuh ketidakpastian dan diselimuti bayang-bayang resesi. Sinyal BI itu kemudian diikuti oleh penurunan suku bunga penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Hal ini kian menegaskan adanya justifikasi bahwa suku bunga perbankan harus segera turun.

Dorongan dari dua kekuatan tersebut, BI dan LPS, seyogianya ditransmisikan oleh perbankan dalam dua langkah penyesuaian, yakni penurunan suku bunga simpanan terlebih dulu baru kemudian penurunan suku bunga kredit mengikuti. Jeda waktu penurunan suku bunga simpanan dan kredit memang bisa terpaut jauh, karena alasan jatuh tempo.

Namun seperti imbauan Gubernur BI Perry Warjiyo, perbankan jangan terlalu lama menyesuaikan suku bunga. Meski umumnya menyambut baik kebijakan pelonggaran moneter, para bankir cenderung pesimistis bahwa beleid itu mampu menggenjot ekspansi kredit secara signifikan. Otoritas Jasa Keuangan yang awalnya optimistis berubah menjadi tidak yakin bahwa pertumbuhan kredit tahun ini dapat mencapai 12%. Mereka sependapat bahwa faktor utamanya adalah permintaan kredit yang lemah, karena kondisi bisnis yang tidak bersahabat.

Jika demikian masalahnya, pelonggaran moneter tidaklah cukup untuk mendongkrak perekonomian. Perlu ada terobosan dari sisi fiskal dan kebijakan penunjang lain. Dari sisi fiskal, rencana penurunan tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak badan harus disegerakan. Kebijakan insentif pajak yang sudah dikeluarkan harus lebih dioptimalkan dan dipertajam.

Selain itu, kebijakan fiskal mesti lebih ekspansif dengan meningkatkan belanja negara, lewat pelebaran defisit anggaran. Paralel dengan itu, efektivitas dan efisiensi anggaran harus diperbaiki. Efektif artinya belanja negara harus dialokasikan ke sektor atau proyek yang memiliki dampak multiplier tinggi, agar anggaran yang terbatas memiliki daya dorong lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan efisiensi adalah mengurangi kebocoran anggaran baik karena korupsi maupun belanja yang boros.

Simultan dengan pelonggaran fiskal, iklim bisnis harus terus dibenahi. Janji pemerintah untuk merevisi sekitar 72 undang-undang yang selama ini menghambat investasi jangan sebatas retorika. Seluruh penghambat yang memicu ekonomi biaya tinggi harus dikikis.

Bauran berbagai kebijakan tersebut diyakini mampu menyelamatkan perekonomian nasional dari ancaman stagnasi. Dengan inflasi yang terjaga rendah, ruang untuk pelonggaran moneter ke depan masih terbuka. Kondisi ini menjadi momentum yang bagus untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Sinergi kebijakan moneter, fiskal, dan sektor riil yang kredibel, terukur, dan tepat diyakini dapat mengatasi permintaan kredit yang lemah, dapat menumbuhkan bisnis-bisnis baru, sekaligus berpotensi memunculkan pengusaha-pengusaha baru.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only