Model Pertumbuhan ‘Baru’ untuk Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah cukup lama terlalu memanfaatkan boom komoditas yang bersifat jangka pendek. Alhasil, penciptaan teknologi yang menjadi jaminan pertumbuhan jangka panjang tertinggal. Pertumbuhan jangka pendek yang selama ini dinikmati mengorbankan jaminan pertumbuhan jangka panjang tersebut.

Tidak terelakan, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini stagnan pada sekitaran 5 persen, jauh dari target pemerintah pada 7 persen. Untuk sebuah perekonomian yang mengalami permasalahan ini, dari kaca mata ilmu ekonomi, arah kebijakan berlandaskan hipotesis supply-leading bisa dijadikan jawaban sebagai salah satu solusi unggulan.

Adapun pembangunan Jokowi pertama sebenarnya telah mengikuti mazhab ekonomi neoklasik ini. Infrastruktur sebagai modal fisik, menurut seminal work Auscher (1989) memiliki dampak positif terhadap pembangunan ekonomi, karena membuka akses ke sumber pertumbuhan lainnya yang tidak efektif dan efisien bila dilakukan oleh pihak swasta.

Misalnya saja proyek bisnis yang sebelumnya tidak menguntungkan karena ada fixed cost yang besar untuk membangun infrastruktur, baik untuk distribusi atau pengantaran barang input-output menjadi feasible. Bersandar pada hipotesa ini saja tidaklah cukup.

Untuk mengisi loop hole yang ada, paradigma pembangunan Jokowi yang ditawarkan pada periode kedua bisa dikatakan masih berakar ke mazhab ekonomi klasik, sebuah model pertumbuhan endogen tetapi sudah mengikuti model pengembangannya, yaitu model pertumbuhan baru (new growth model).

Secara eksplisit model Romer (1996) mengatakan dalam sebuah perekonomian investasi tidak hanya dilakukan untuk modal fisik tetapi juga modal manusia yang diakumulasi melalui pendidikan, pelatihan, hingga alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan. Esensinya, modal fisik bertumbuh bila dilakukan investasi tambahan. Adapun pengetahuan bisa bertumbuh indefinitely.

Masalahnya, model-model pertumbuhan ini mensyaratkan sebuah negara memiliki tingkat tabungan (dana) yang cukup guna mendanai akumulasi (investasi) modal fisik dan manusia tersebut, baik untuk memproduksi barang dan jasa atau teknologi.

Adapun Indonesia saat ini mempunyai masalah saving investment gap yang cukup akut. Menggunakan persamaan identitas produk domestik bruto (PDB) pendekatan pengeluaran, diketahui bahwa tabungan Gap S-I hanya bisa positif apabila net export (ekspor–impor, barang, dan jasa) juga positif. Padahal mengacu ke data Bank Indonesia, neraca transaksi berjalan telah defisit sejak 2012. Artinya ekspor neto Indonesia saat ini adalah negatif.

Secara agregat Indonesia kekurangan dana untuk investasi. Defisit Indonesia dari neraca transaksi berjalan berkisar pada 2 persen-4 persen dari PDB. Untuk mendanai kegiatan akumulasi modal, Indonesia harus mencari ‘tabungan’ dari luar, bisa berbentuk utang, investasi portofolio ke surat utang dan ekuitas maupun penanaman modal langsung (FDI).

Indonesia, sayangnya, terlalu mengandalkan aliran dana dari sumber kedua, yaitu investasi portofolio yang bersifat fluktuatif. Arus masuk FDI, walaupun realisasi dalam dua kuartal terakhir meningkat, hanya sekitar 1 persen dari PDB. Alhasil, ketergantungan Indonesia terhadap pendanaan fluktuatif berkisar 1 persen-3 persen dari PDB.

Jadi, ada alasan kuat untuk lebih menyambut FDI. FDI bisa menjadi solusi penyeimbang masalah dinamika jangka panjang dan jangka pendek ini. Selain berguna dalam kacamata neraca pembayaran (manfaat short run), FDI juga bermanfaat dalam kacamata model pertumbuhan baru yang telah disinggung di atas (manfaat long run).

Menurut Das (2010), FDI berguna menjadi sumber teknologi serta pengetahuan bagi sebuah perekonomian. FDI kemudian akan memberikan kesempatan penciptaan produktivitas yang lebih tinggi lagi untuk perusahaan domestik. Disebut sebagai efek spillover.

Akan tetapi, model pertumbuhan baru menunjukkan bahwa efek spillover dari FDI sangat bergantung kepada endowment dari sebuah negara tersebut. Borensztein et. al (1998) menekankan bahwa FDI memiliki teknologi dan pengetahuan baru untuk sebuah negara tuan rumah. Namun, kemampuan menyerap teknologi baru FDI tersebut sangat mengandalkan modal manusia negara tuan rumah.

SDM Jadi Kunci

Bila tidak ada modal manusia yang cukup, transfer teknologi tidak bisa. Perlu dilakukan pelatihan tambahan misalnya, yang menyebabkan biaya transfer teknologi meningkat. Sebaliknya, bila modal manusia sebuah negara sudah tinggi maka biaya transfer teknologi turun. Biaya yang turun akan meningkatkan profitabilitas dari sebuah usaha. Alhasil, FDI akan semakin deras masuk.

Alhasil, fokus pemerintah di mana investasi manusia menjadi kunci dirasa tepat. Menyadari modal manusia Indonesia yang masih tertinggal, pemerintah memberikan insentif pengurangan pajak penghasilan super (60 persen sampai dengan 200 persen) untuk perusahaan yang melakukan kegiatan vokasi (dan juga riset dan pengembangan), sehingga mampu meningkatkan modal manusia sekaligus mengurangi biaya transfer teknologi perusahaan.

Walaupun fokus ke sumber daya manusia sudah tepat tapi baiknya jangan mengulangi kesalahan: ada loop hole yang baru dijadikan sasaran pembangunan setelah bertahun-tahun. Banyak pengembangan dari model pertumbuhan endogen yang bisa dijadikan acuan untuk memaksimalkan efek spillover dan atau untuk lebih menarik FDI. Salah satunya Balasubramanyam et. al (1996) yang mensyaratkan keterbukaan perdagangan.

Ada juga Hermes dan Lensink (2003) yang menujukan pentingnya pendalaman sektor keuangan. Mengutip World Bank (2019), insentif pajak atau pelonggaran moneter saja tidaklah cukup. Reformasi yang tegaslah yang dapat mengatasi masalah Indonesia saat ini.

Sumber: ekonomi.bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only