Dana Abadi ala Jokowi dan Mimpi Tentang ‘Pendongkrak’ Ekonomi

Jakarta, CNN Indonesia — Masa kepemimpinan baru Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dimulai seiring dengan pelantikan yang berlangsung di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Minggu (20/10).

Ada hal yang mencolok dari pidato Jokowi di hari pelantikannya. Dalam pidato tersebut, Jokowi mengungkapkan ambisinya untuk terus mendongkrak sektor ekonomi nasional.

Pada bait-bait awal saja, Jokowi sudah mematok target perekonomian Indonesia bisa masuk peringkat lima besar dunia pada tahun 2045. Dia juga bermimpi mencapai pendapatan per kapita Rp27 juta per bulan, dan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga ke level US$7 triliun.

Tak hanya itu, Jokowi menjanjikan program endowment fund atau dana abadi untuk mengerek sumber daya manusia (SDM) yang diharapkan mampu berdaya saing ke depan. Topik pembangunan infrastruktur yang selama ini telah dikebut juga tak bosan-bosan diulas kembali olehnya.

Bukan hal aneh jika Jokowi kembali menekankan soal kemajuan perekonomian Indonesia. Pasalnya, pada periode pertama, ekonom menilai kinerja Jokowi tak berhasil membawa pertumbuhan ekonomi ke level 8 persen sesuai target dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Realisasinya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II 2019 hanya 5,05 persen. Pertumbuhan ekonomi yang mandek disebabkan pelbagai masalah dalam seperti pertumbuhan investasi, sumber daya manusia (SDM), dan infrastruktur.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menilai pidato Jokowi yang menitikberatkan tentang perekonomian tak lari dari alasan ketidakberhasilan Jokowi dalam mengangkat ekonomi tembus menjadi 8 persen.

“Kalau dilihat 2015 janji awal itu kan lebih dari 7 persen tapi nyatanya kita terjebak di 5 persen. Mungkin ini yang ingin ditekankan, tapi saya rasa memang saat ini diperlukan, untuk lebih mendorong kemajuan perekonomian saat ini,” kata Ahmad saat diwawancarai CNNIndonesia.com, Senin (21/10).

Menurut Ahmad, melempemnya tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut disebabkan pertumbuhan pertanian dan industri yang minim. Padahal, kedua sektor telah menjadi penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.

“Banyak di pertanian sekitar 14 persen, yang di industri mungkin 40 persen lebih pertumbuhan sektoral itu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Dua sektor ini dihuni banyak orang, tapi pertumbuhannya itu melambat,”

Kendati demikian, Ahmad melihat target baru yang dicanangkan Jokowi termasuk hal realistis walaupun berat untuk dilakukan. Ahmad mengatakan Indonesia sendiri memiliki potensi besar untuk mendongkrak perekonomian negeri.

Dengan tingkat populasi yang besar, dan usia produktif yang lebih banyak, tak menutup kemungkinan Indonesia untuk dapat menerbangkan tingkat produktivitas negeri yang akan berujung peningkatan PDB.

“Kalau membahas kita akan menjadi ekonomi 5 besar dunia, dengan sendirinya kita akan kesana. Pasti, siapapun pemerintahnya, siapapun presidennya, melihat kondisi kita, Indonesia punya populasi ke empat di dunia, konsumsi banyak, usia produktif lebih banyak,” ungkap Ahmad.

Pemerataan Ekonomi

Namun, Ahmad menilai yang seharusnya jadi titik berat pembicaraan bukan kapabilitas Indonesia untuk dapat meningkatkan PDB, tapi lebih pada pemerataan perekonomian dalam negeri.

Dalam hal tersebut, Indonesia dapat berkaca dari banyaknya negara maju yang memiliki tingkat PDB tinggi dengan ketimpangan perekonomian masyarakat yang bengkak.

Untuk itu, pemerintah seharusnya mulai mencari cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tergolong memiliki kondisi perekonomian tingkat bawah yang tak berhasil mengejar pertumbuhan perekonomian golongan menengah dan atas.

“Dari merdeka sampai sekarang masih timpang. Kebijakan ini masih kurang. Kita secara struktur kelas masyarakat masih menciptakan suatu kesenjangan,” tuturnya.

Pemerintah diminta untuk membuat SDM yang lebih bisa beradaptasi dengan perkembangan dunia.

Sedihnya, terdapat lebih dari 40 persen pekerja di Indonesia hanya memiliki status Pendidikan terakhir SD dan SMP. Apabila SDM tersebut tidak dapat mengikuti perkembangan zaman yang mengarah terhadap Industri 4.0, maka tingkat pengangguran dapat meledak.

Lebih lanjut, Ahmad pun merasa strategi Jokowi untuk membuka endowment fund dalam rangka mendongkrak daya saing SDM sudah tepat. Ahmad berpendapat SDM merupakan kunci dari pendongkrak perekonomian negara.

“Agendanya sudah tepat, mau mengedepankan SDM di 5 tahun mendatang. SDM itu kan bekerja di semua sektor itu kan semua punya SDM, SDM ini kan kunci. harus punya keahlian, harus diberikan dukungan. Bukan subsidi ya, tapi dikasih modal, dilatih, supaya bisa jadi pengusaha dan bisa bekerja serta bersaing, intinya dapat adaptif dengan perkembangan dunia,” tuturnya.

Selain SDM sebagai kunci, Ahmad menyebutkan tiga hal lain yang sebaiknya dicanangkan pemerintah ke depan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yakni pembangunan infrastruktur, dan kebijakan fiscal dan moneter.

“Kedua infrastruktur, karena semua sektor butuh infrastruktur. ketiga adalah kebijakan fiskal dan moneter. contohnya adalah diskon pajak insentif pajak saya kira yang utama itu,” imbuhnya.

Sementara itu, Ekonom senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani juga menyebut wajar apabila pidato Jokowi menyinggung soal perekonomian, karena Indonesia saat ini memiliki kesempatan untuk menumbuhkan perekonomian dari sisi demografis.

“Wajar jika Pak Jokowi bicara terkait perekonomian. Karena memang dari dulu interest-nya juga terkait perekonomian, selain itu Indonesia ke depan memiliki keunggulan demografis untuk bias meningkatkan produktivitas dan juga pertumbuhan perekonomian, dan ini kesempatan tidak datang dua kali,” ungkapnya

Mimpi Jangka Panjang

Namun, Aviliani menilai pidato Jokowi hanya mengutarakan “mimpi” jangka menengah dan panjang, namun belum menyentuh sisi jangka pendek yang sekarang dibutuhkan dalam negeri.

Sementara itu, Aviliani berpendapat, pemerintah harus lebih merencanakan kebijakan jangka pendek untuk mengantisipasi dampak resesi global yang berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi, ketimbang ‘bermimpi’ dalam jangka panjang.

“Hal yang dibutuhkan saat ini adalah supaya kita tidak masuk resesi, dibutuhkan kebijakan short term melibatkan pelaku ekonomi. Contoh, sekarang perusahaan besar kesulitan karena penjualan menurun ekspor turun, terjadi PHK. Mestinya pemerintah lebih concern agar perusahaan itu supaya bertahan,” tuturnya.

Menurut Aviliani, tingkat daya beli masyarakat menjadi penting dengan kondisi perekonomian global yang semakin menghimpit Indonesia.

Dia mengimbau pemerintah harus menerapkan kebijakan terukur berdasarkan anggaran, sehingga tidak berpengaruh terhadap penurunan daya beli masyarakat.

“Oleh karena itu demand supaya bagus, harus ada kebijakan yang menjaga demand dalam negeri supaya tidak turun. Jangan sampai mengganggu daya beli atau pengeluaran masyarakat,” tuturnya.er:

Sumber: cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only