JAKARTA – Presiden Joko Widodo dalam lima tahun ke depan akan lebih fokus pada penciptaan lapangan kerja dan pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ini dinilai sebagai strategi menyongsong terjadinya bonus demografi dan mengantisipasi ancaman resesi global.
Bahkan, untuk mendukung kesuksesan kedua program tersebut, pemerintah memasukkan penerbitan Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja, dan UU Pemberdayaan UMKM dalam lima program prioritas pemerintah.
Masing-masing UU itu akan menjadi omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi.
Sejumlah kalangan menilai penciptaan lapangan kerja memiliki arti strategis yang menentukan keberhasilan dalam memanfaatkan bonus demografi. Jika lonjakan jumlah usia produktif berhasil mendapatkan pekerjaan maka hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi.
Sebaliknya, jika usia produktif gagal produktif karena tidak mendapatkan kesempatan kerja, maka bisa menjadi bencana bagi Indonesia akibat ledakan pengangguran yang berujung pada meningkatnya kemiskinan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengemukakan agar tujuan UU Cipta Lapangan Kerja tercapai, maka perlu memuat berbagai insentif bagi perusahaan yang mendukung penciptaan lapangan kerja.
“Lalu insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan unskill labor (tenaga kerja kasar), dan perlu juga diatur kewajiban investor untuk merekrut tenaga yang unskill dan tenaga ahli dari lokal,” ujar dia, ketika dihubungi, Selasa (22/10).
Akan tetapi, Imron mengingatkan, yang lebih penting adalah insentif, seperti untuk perusahaan yang menggunakan tenaga manusia daripada mesin. Sebab, ke depan, tantangannya adalah kehadiran teknologi Artificial Intelligence (AI) dan otomatisasi menggunakan robot yang akan mengancam bonus demografi Indonesia.
“Selain itu, mekanisme kenaikan upah tiap tahun harus diatur, karena ini yang membuat industri tidak nyaman, ada demo dan sebagainya. Harus ada kepastian penentuan tarif upah. Itu yang substansial,” tukas dia.
Ekonom Universitas Padjadjaran, Bandung, Ina Primiana, menambahkan perlu adanya pemetaan yang jelas mengenai produk unggulan suatu daerah agar daerah-daerah bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas. “Untuk membuka lapangan pekerjaan harus dibuat dulu yang mau jadi unggulan di daerah itu apa sesuai dengan kapasitas dan kemampuan warga setempat,” jelas dia.
Menurut dia, selama ini masih muncul persoalan perizinan dan iklim usaha yang tidak kondusif sehingga mempengaruhi penciptaan lapangan pekerjaan, karena investor merasa terbebani.
Lebih Efisien
Terkait UU Pemberdayaan UMKM, Ina mengingatkan harus ada ketegasan bahwa tidak banyak kementerian yang ikut campur mengurus UMKM, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien. “Sekarang kan yang mengurus UMKM lebih dari 25 instansi. Jadi, nanti harus dipertegas lagi peran dan tugas Kementerian UMKM, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perindustrian, supaya tidak tumpang tindih,” papar dia.
Imron menambahkan, regulasi UMKM perlu menunjukkan keberpihakan dengan mengatur soal birokrasi perizinan, pembiayaan, dan insentif pajak. Sebab, secara alamiah mereka selama ini termarginalkan. “Padahal, sudah terbukti bahwa kebijakan ekonomi dalam mengantisipasi ancaman resesi global harus melibatkan penguatan kewirausahaan, UMKM serta koperasi” ujar dia.
UMKM harus mendapat perhatian karena kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 60 persen, penyerapan tenaga kerja hingga 95 persen dan kontribusinya terhadap ekspor nonmigas mencapai 16,45 persen.
Hasil analisis Komite Ekonomi dan Industri Nasional pada 2017 menunjukkan jika pemerintah fokus mendorong kenaikan omzet UMKM, dengan target kenaikan omzet usaha mikro sebesar 30 persen, usaha kecil sekitar 10 persen maka perekonomian nasional dapat tumbuh sebesar 7–9 persen.
Sumber: koran-jakarta.com
Leave a Reply