Indonesia Tetap di Posisi ke-73 EoBD,Omnibus Law Harus Dipercepat

Jakarta: Tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia masih stagnan alias jalan di tempat. Hal ini berdasarkan peringkat yang dirilis Bank Dunia dimana Indonesia masih menduduki posisi ke-73 dari 190 negara dalam daftar Ease of Doing Business (EoDB) 2020. Peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia tidak berubah dari posisi tahun lalu dan jauh dari target urutan ke 40 dunia yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani berharap pemerintahan Jokowi jilid II bisa segera mungkin menerapkan Omnibus Law.

Omnibus Law yang bertujuan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran dinilai dapat mempercepat target Indonesia untuk berada di urutan 40 dunia terkait kemudahan berbisnis.

“Semoga dengan adanya omnibus law yg kita rencanakan ke depan bisa secara signifikan mengubah rezim-rezim perijinan yang ada. Sehingga nantinya betul-betul memangkas dan mengeliminasi berbagai aturan perijinan dan birokrasi yang tidak perlu, yang menyebabkan ketidakpastian berusaha di Indonesia,” kata dia ketika dihubungi Media Indonesia, Minggu, 27 Oktober 2019.

Dia menjelaskan bahwa masih banyak indikator penilaian EoDB yang sulit bagi Indonesia dalam melakukan perbaikan selama 5 tahun terakhir dan untuk mencapai target ranking 40 tahun ini. Indokator tersebut adalah starting business (prosedur memulai usaha) dimana Indonesia masih di ranking 140 dari 190 negara meskipun sudah meningkat dari ranking 155 tahun lalu.

Kemudian enforcing contracts (biaya dan waktu untuk menyelesaikan perselisihan) yang mana masih diposisi 139 dari 190 negara meski sudah naik dari ranking 172.

“Trading accross borders (ekspor dan impor) ranking 116 dari 190 negara, turun dari ranking 62 di tahun 2015, dealing with constructions permit (sistem izin konstruksi) ranking ke110 dari 190 negara meski sudah meningkat dariranking 153 dan registering property (transfer properti dan pertanahan) ranking 106 dari 190 negara meski sudah naik dari ranking 117,” tambahnya.

Shinta menambahkan bahwa yang mengalami peningkatan signifikan hanya pada indikator EoDB getting electricity (kelistrikan) dan paying taxes (pajak) karena keberhasilan pembangunan infrastruktur energi dan tax amnesty. Sementara untuk faktor-faktor yang lain menurutnya sangat lambat perbaikannya.

Di samping itu, ia menyayangkan adanya penurunan kinerja faktor trading accross borders karena tingginya biaya pemenuhan dokumen untuk ekspor dan impor. Hal tersebut disebabkan adanya perijinan yang begitu banyak dan tidak menentu dari berbagai kementerian.

Padahal, menurutnya dari segi infrastruktur logistik dan perbaikan mekanisme post-border di bea cukai yang sudah dilakukan lima tahun belakangan seharusnya bisa lebih efisien dalam berdagang dan bisa naik level dalam global supply chain.

“Sayangnya karena perijinannya tidak diubah, efisiensi menjadi lebih sulit sehingga kita malah turun ranking. Kami harap ke depan, kementerian-kementeria yang memegang rekomendasi dan perijinan ekspor-impor bisa mengefisiensikan dan menyederhanakan berbagai regulasi terkait rekomendasi, izin-izin dan bahkan persyaratan ekspor-impor agar cost of compliance untuk perdagangan akan jauh lebih efisien,” tuturnya.

Untuk bisa naik peringkat EoDB dan mencapai target urutan 40 dunia secara signifikan, menurutnya pemerintah harus melakukan perubahan secara signifikan dan cepat dengan memberlakukan omnibus law. Reformasi kebijakan ekonomi ke arah penyederhanaan dan efisiensi regulasi bisa lebih serius dikerjakan pemerintah. Selain itu antara pemerintah pusat dan daerah harus bisa bersinergi agar perubahan bisa terjadi dengan cepat dirasakan di lapangan.

Capaian-capaian pemerintah selama lima tahun belakang menurutnya perlu diteruskan dan lebih difokuskan lagi. Penyederhanaan kebijakan dan pelaksanaan perubahan kebijakan harus bisa dirasakan di lapangan.

“Kami harap ini bisa dilakukan dengan cepat tanpa mengulur waktu karena kita sudah banyak tertinggal dari negara-negara pesaing di kawasan. Jadi walaupun kita sudah berupaya untuk melakukan banyak perbaikan, banyak negara lain yang juga melakukan perbaikan yang jauh lebih banyak dan cepat,” pungkasnya.

Sumber : Medcom.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only