Ponsel Ilegal Hilang, Saatnya Rebut Peluang

Diperkirakan sekitar 20% ponsel yang beredar di pasar Indonesia adalah ponsel ilegal. Jika mereka hilang, siapa yang dapat peluang ?

Pedagang telepon seluler ilegal atau sering disebut BM alias black market barangkali mulai merasa cemas karena periuk nasi mereka terancam. Mereka harus bersiap menghadapi rencana pemerintah untuk memblokir ponsel ilegal mulai April 2020 nanti.

Seperti kita tahu, Pemerintah mengesahkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 11 tahun 2019 mengenai pemblokiran ponsel ilegal berdasarkan identifikasi nomor International Mobile Equipment Indentity (IMEI). Jadi, bila nanti nomor IMEI sebuah ponsel tidak ditemukan di data base Pemerintah, dipastikan perangkat itu adalah ilegal. Buntutnya, ponsel tersebut tidak diizinkan tersambung ke jaringan seluler milik operator.

Ponsel ilegal atau BM yang harganya miring, memang menyenangkan bagi konsumen. Sebaliknya, keberadaan ponsel ilegal ini, bikin masygul vendor resmi. Soalnya, agar satu unit ponsel resmi bisa masuk pasar Indonesia, para distributor dan vendor harus memenuhi sejumlah syarat yang tak mudah.

Berapa sih jumlah ponsel ilegal yang ada di pasar Indonesia? Ternyata lumayan banyak. Menurut Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) jumlah ponsel pintar yang beredar di Indonesia setiap tahun mencapai 45 juta. Nah, sekitar 20% dari jumlah itu atau 9 juta merupakan ponsel ilegal. Artinya, perangkat tersebut dibawa masuk ke pasar Indonesia, tanpa membayar pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% dan pajak penghasilan (PPh) sebesar 7,5%.

Hasan Aula, Ketua APSI menyebut jika dibandingkan secara harga, selisih antara banderol ponsel resmi dan BM bisa mencapai 20%-30%. Inilah yang membuat ponsel ilegal berpengaruh besar bagi industri telekomunikasi. “Ponsel ilegal bikin pedagang sulit menjaga harga dan profit,” ujar Hasan.

Makanya, kalau ponsel BM ini bisa diberantas, setidaknya ada banyak pihak yang diuntungkan. Pertama, pemerintah soalnya selama ini ponsel ilegal tidak membayar pajak. Jadi kalau semua ponsel yang masuk ke pasar Indonesia membayar kewajibannya, dipastikan ada tambahan pemasukan bagi dompet negara.

Melindungi vendor.

Kementerian Komunikasi dam Informatika telah menghitung, dengan adanya peredaran ponsel ilegal, setiap tahun negara telah kehilangan kesempatan untuk meraup penerimaan pajak sebesar Rp 2 triliun. Sebaliknya, kalau pemberlakuan aturan ini terus diundur, akan terjadi kerugian sekitar Rp 55 miliar per hari.

Kedua, konsumen akan diuntungkan dengan aturan ponsel ilegal. Memang sih, harga ponsel BM ini lumayan miring adan menguntungkan. Tapi, jika ada masalah dan kerusakan, konsumen jadi tidak berhak menuntut vendor untuk memperbaiki. Dengan beli produk resmi, konsumen akan mendapat layanan purna jual.

Ketiga, yang juga diuntungkan adalah pedagang dan distributor. Mereka tidak lagi harus bersusah payah menghadapi persaingan dengan barang ilegal. Kalau yang beredar semuanya adalah barang resmi maka toko bisa menjaga harga dan mengantongi keuntungan.

Tak hanya itu, menurut Hasan, aturan pemblokiran juga mendorong produsen ponsel untuk meningkatkan produksi mereka. Selama ini, ia melihat peredaran ponsel ilegal membuat produsen ragu-ragu mengucurkan investasinya. “Nah, dengan aturan ini, produsen yang sudah investasi di Indonesia melalui tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) akan lebih tenang,” paparnya.

Hal itu diamini oleh vendor ponsel asal China, Oppo. Selama ini, mereka merasa tidak dilindungi dari peredaran produk ilegal, meski sudah mengikuti segala ketentuan yang berlaku. Sebagai pelaku industri, Oppo diwajibkan untuk mengikuti aturan TKDN tetapi kenyataannya tetap saja ada perangkat yang masuk tanpa memenuhi syarat itu.

Aryo Meidianto, Public Relation Manager Oppo Indonesia, mengatakan, aturan ini membuatnya merasa dilindungi. Soalnya, Pemerintah hanya melegalkan perangkat yang diproduksi di dalam negeri dengan IMEI yang diperoleh melalui proses TKDN. “Sebelumnya kami sangat dirugikan. Sudah ikut aturan, tapi kok tetap banyak ponsel black market masuk,” cetusnya.

Lebih lanjut, Aryo mengatakan, keberadaan ponsel ilegal juga telah merusak merek Oppo. Soalnya, ketika ada konsumen yang membawa ponsel ilegalnya ke pusat servis Oppo. Soalnya, ketika ada konsumen yang membawa ponsel ilegalnya ke pusat servis Oppo. Soalnya, ketika ada konsumen yang membawa ponsel ilegalnya ke pusat servis oppo untuk diperbaiki, pihak Oppo tidak bisa menerima. Soalnya, ponsel itu bukan produk mereka di Indonesia. Biasanya, si konsumen tidak peduli. Mereka pikir karena mereknya sama-sama Oppo, tidak alasan untuk vendor menolak. “Kalau sudah begini kan, merusak cara pandang konsumen terhadap merek,” paparnya.

Tanggapan Advan juga setali tiga uang. Candra Tansri, Direktur Operasional PT Advan Teknologi Solusi optimis aturan pemblokiran berdasarkan IMEI bisa membuat bisnisnya kian terjaga. Maklum, peredaran produk ilegal telah menekan harga jual di pasaran. Padahal untuk bisa memenuhi persyaratan TKDN, produsen Advan harus menjual dengan harga yang lebih mahal.

Sementara itu, Lee Kang Hyun, Vice President Samsung Indonesia, berharap aturan menyangkut IMEI ini benar-benar bisa memberantas peredaran ponsel ilegal. Pasalnya, Samsung sendiri sudah berkali-kali berusaha memerangi ponsel ilegal dengan melaporkan ke pihak terkait, tetapi karena penyebarannya sudah terlalu masif maka sulit dibendung. Menurut Lee, selain mempengaruhi bisnis Samsung di Indonesia, keberadaan ponsel ilegal juga berpotensi membuat pelaku resmi tersingkir.

Bukan produsen ponsel saja yang terancam dengan peredaran ponsel ilegal dan berusaha membendungnya. Distributor ponsel PT Erajaya Swasembada Tbk pun melakukannya. Djatmiko Wardoyo, Head of Marketing and Communication Erajaya Group, mengatakan, selama ini pihaknya mengalami kesulitan jika bersaing secara langsung dengan perangkat-perangkat tak resmi. “Kami tidak bisa bersaing. Produk ilegal itu kan memangkas banyak biaya, tidak seperti kami semuanya ada biayannya,” kilahnya.

Pangsa pasar baru

Penerapan aturan blokir berdasarkan IMEI, mau tidak mau, pasti akan mengubah kebiasaan konsumen. Mereka, yang semula lebih memilih ponsel ilegal, harus beralih menjadi ponsel resmi. Jadi, ini adalah angin segar bagi pelaku industri telekomunikasi.

Kalau benar perhitungan pemerintah bahwa pasar ponsel ilegal menyumbang 20% dari total ponsel pintar yang beredar artinya jumlah itulah yang akan menjadi pangsa pasar baru bagi pelaku bisnis. Kue tersebut bisa mulai diperebutkan oleh industri ketika aturan blokir ini resmi berlaku April 2020.

Aryo, mengungkapkan sebenarnya sebelum Permen No 11 tahun 2019 resmi ditekan, sinyal positif beleid IMEI ini sudah dirasakan pada Agustus lalu. Konsumen sepertinya mulai bereaksi saat beredar kabar aturan blokir akan dilakukan bersamaan dengan HUT RI kala itu. Berita hoaks tersebut sempat menimbulkan keresahan dan menggerakkan pasar.

Sekarang, meski mengklaim peningkatan penjualan tidak terlalu signifikan, ada juga konsumen yang datang ke gerai Oppo untuk menanyakan harga produk. Menurut Aryo, nanti saat blokir mulai diterapkan, peluang pasar mereka bakal semakin jelas. “Pasar yang 20% tadi kan lumayan bisa diperebutkan oleh perangkat yang sudah punya TKDN dan IMEI nya resmi terdaftar di Indonesia,” terangnya.

Sayangnya, Aryo masih belum bisa memperkirakan berapa porsi yang akan diincarnya. Pasalnya, aturan ini sendiri baru akan resmi berlaku tahun depan. Namun, setidaknya ini bisa menjadi pembelajaran konsumen untuk tidak memilih produk ilegal lagi.

Reaksi serupa juga ditunjukkan oleh Lee. Menurut dia, jika blokir berdasarkan IMEI diterapkan, pelaku usaha dalam negeri bisa mengisi pasar yang sebelumnya diambil oleh pembisnis ponsel ilegal. Sayang, ia pun belum bisa berbicara banyak karena aturan ini sendiri masih dalam tahapan sosialiasi.

Risky Febrian, analis lembaga riset pasar IDC memperkirakan aturan soal IMEI akan meningkatkan pengapalan ponsel pintar Indonesia, tahun depan. Menurut dia, belakangan sentimen pemblokiran itu saja berhasil membuat konsumen cemas dan meningkatkan pengapalan selama kuartal II 2019. Selama periode tersebut pengapalan ponsel pintar tercatat mencapai 9,7 juta unit. Jumlah ini mengalami kenaikan 20% dibanding kuartal sebelumnya. “Tampaknya konsumen mulai takut (blokir IMEI segera diterapkan), jika mereka lebih pilih membeli perangkat yang resmi,” terang Risky.

Tak hanya itu, menurut dia, ada kemungkinan sentimen IMEI ini juga akan membawa pergeseran pengusasaan pasar tahun depan. Riset IDC terakhir menunjukkan selama kuartal II 2019 Samsung masih berada di urutan pertama dengan pangsa pasar 26,9% diikuti Oppo 21,5%, Vivo 17%, Xiaomi 16,8% dan Realme 6,1%.

Sementara itu distributor ponsel Erajaya masih belum bisa memperkirakan bagaimana pengaruh penerbitan aturan pemblokiran ini terhadap bisnis perusahaan. Djatmiko hanya menyebut pengaruh signifikan baru akan terjadi setelah aturan mulai berlaku pada April 2020.

Di sisa tahun ini ia sendiri tak berani berharap terlalu banyak. Menurut dia, seperti pengalaman sebelumnya, kinerja Erajaya di kuartal IV memang cenderung meningkat. Soalnya, kuartal IV merupakan periode festive. “Kami hanya berharap di kuartal IV, aturan ini bisa memberi efek psikologis di mana orang berpikir untuk tidak lagi memilih produk ilegal,” kata dia.

Setidaknya, vendor dan distributor ponsel di Indonesia bisa memandang peluang di depan mata mereka.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only