Berikut Pajak-Pajak yang Berpotensi Naik di Jakarta

JAKARTA — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membutuhkan dukungan legislatif untuk merombak setidaknya enam Peraturan Gubernur dan tiga Peraturan Daerah terkait perpajakan, demi optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) di sektor pajak.

Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) Provinsi DKI Jakarta Faisal Syafruddin menekankan bahwa arah kebijakan bertajuk ekstensifikasi perpajakan ini bukan hanya demi PAD semata, namun juga demi mengatasi ‘wajib pajak nakal’ dan menyelesaikan masalah perkotaan di DKI Jakarta.

Tiga revisi Perda yang akan diajukan ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD DKI Jakarta ini, di antaranya Perda No 18/2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Perda No 15/2010 tentang
Pajak Penerangan Jalan, dan Perda No 16/2010 tentang Pajak Parkir.

Tiga Pergub terkait pajak yang akan direvisi, yakni penyesuaian tarif parkir off-street berdasarkan zona waktu dan zona tempat, penyesuaian nilai sewa reklame dan mendorong reklame LED pada kawasan kendali ketat, dan melakukan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk pajak bumi dan bangunan.

Sementara itu, tiga Pergub yang akan disusun kembali, yakni Pergub untuk penyesuaian nilai pajak air tanah (PAT) dan mengubah perhitungan yang sebelumnya progresif menjadi clustering, Pergub agar kendaraan bermotor yang belum membayar pajak terkena tarif parkir lebih tinggi, dan Pergub agar objek pajak hotel, restoran, parkir, dan hiburan menerapkan sistem cashless untuk membayar pajak.

Faisal mengungkap regulasi terkait PAT merupakan yang paling urgen untuk dibahas, sebab berhubungan dengan kondisi penurunan muka tanah di Ibu Kota.

“Kondisi di Jakarta, banyak mal dan hotel ternyata masih menggunakan air tanah. Mereka berdalih menggunakan PAM, padahal kalau kita hitung kubikasi meteran penggunaan airnya, kecil sekali mereka membayar, tidak mungkin mencukupi,” ujar Faisal dalam rapat Kebijakan Umum Anggaran dan Perkiraan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) bersama Komisi C Bidang Keuangan DPRD DKI, Selasa (29/10/2019).

Faisal menjelaskan bahwa pihak pemprov tengah merancang regulasi untuk mengatasi penurunan muka tanah ini. Nantinya, dalam beleid tersebut akan tercantum zona-zona pengenaan PAT yang lebih mahal, sebab dinilai mengakibatkan permukaan tanah terus menurun di daerah tersebut.

Terkait BPHTB, Faisal menjelaskan bahwa pajak ini merupakan satu-satunya pajak yang diproyeksi tak mencapai target pada tahun ini, akibat sektor properti yang tengah lesu akibat kondisi perekonomian nasional.

“Sudah kami cek, memang transaksi [dengan NJOP] di atas Rp2 miliar [yang bisa dikenakan BPHTB] tidak ada. Kalau di bawah itu memang banyak. Inilah yang menyebabkan BPHTB kita masih Rp3,3 triliun dari target Rp9,5 triliun,” tambah Faisal.

Dalam revisi Perda ini, Faisal menjelaskan bahwa pihaknya akan membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai dasar pengenaan BPHTB, bukan lagi berdasarkan Akta Jual Beli (AJB).

Alasannya, BPRD menemukan penjualan apartemen di Ibu Kota hanya mengandalkan PPJB, kemudian dijual kembali sebelum lunas dan mendapat AJB.

Oleh sebab itu, BPRD pun telah menelaah putusan Mahkamah Agung, di mana PPJB dimungkinkan menjadi dasar pengenaan bea. Nantinya, besaran BPHTB yang dibayarkan wajib pajak pemilik properti pun bisa ditarik kembali apabila ingin menjual asetnya kembali sebelum mendapat AJB.

Sementara terkait PPJ, Faisal memahami bahwa PPJ yang rencananya naik dari sebelumnya 2,4 sampai 3% menjadi 2,4% sampai 5% ini memang akan berpengaruh terhadap besaran pembayaran listrik oleh masyarakat. Namun, BPRD menekankan kenaikan PPJ hingga 5% hanya akan dikenakan pada masyarakat menengah ke atas.

“Tarif kita di Jakarta masih 2,4% flat semuanya. Nah, di daerah lain sudah disesuaikan. Maka nanti untuk middle up, yaitu pengguna 1.200 kWh ke atas rencananya kita naikkan. Namun, ini juga masih dibahas di Bapemperda, jadi kita juga masih butuh banyak masukan,” ungkap Faisal.

Terakhir, terkait pajak reklame merupakan upaya menciptakan payung hukum reklame modern berbentuk digital. Sebelumnya, Faisal mengungkap beberapa poin perubahan, di antaranya menyesuaikan nilai sewa reklame videotron atau LED yang akan disesuaikan, tak lagi Rp.50.000 per meter per hari.

Selain itu, pemprov pun berencana mengatur kebijakan penyelenggaraan reklame LED di dalam gedung dan penetapan pajak reklame indoor yang lebih dari 0,25 m2 di pertokoan, pusat perbelanjaan, dan perkantoran.

Dalam rapat KUA-PPAS di Komisi C Bidang Keuangan DPRD DKI Jakarta, pajak parkir menjadi sorotan walaupun realisasinya telah mencapai Rp443 miliar dari target Rp525 miliar.

Faisal merencanakan pajak parkir yang akan naik yang sebelumnya 20% menjadi 25% dari omzet parkir. BPRD akan berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan terutama Unit Pengelola Perparkiran terkait hal ini.

Peningkatan tarif dan regulasi baru terkait parkir merupakan salah satu upaya mendorong masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi. Selain itu, bertujuan agar para pemilik kendaraan yang tak patuh membayar pajak makin jera, akibat mendapatkan sanksi berupa tarif parkir yang lebih mahal.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta dari Fraksi NasDem Jupiter menilai bahwa target yang dipatok Pemprov DKI Jakarta terbilang rendah, menilik mal, perkantoran, dan hotel yang ada di Jakarta.

“Harusnya optimalisasi online system BPRD itu yang jadi fokus. Supaya bisa melihat, berapa omzet parkir mereka yang sebenarnya,” ujarnya.

Jupiter menyarankan BPRD makin gencar inspeksi di lapangan untuk mengatasi modus akal-akalan pengelola, seperti pembukuan omzet palsu. Selain itu, Jupiter menilai Pemprov DKI Jakarta membutuhkan regulasi tambahan terkait parkir valet yang kerap menjadi dalih pemasukan ekstra untuk pengelola.

Sementara itu, Anggota Komisi C dari Fraksi PSI Anthony Winza Prabowo menekankan agar BPRD mengoptimalkan online system karena DPRD akan mensupport lewat pendanaan dan mengawasi realisasinya.

Sumber : Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only