Industri Perlu Regulasi Produnia Usaha untuk Genjot Ekspor

Pemerintah diharapkan meningkatkan daya saing sektor industri strategis sehingga mampu mendorong ekspor nasional. Pelakku usaha juga meminta pemerintah membuat regulasi yang berpihak pada dunia usaha.

“Banyak investor yang awalnya berminat ke Indonesia, namun karena masalah regulasi mereka lebih memilih Vietnam,” kata Sekjen Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur usai dialog interaktif bertema ‘Meningkatkan Daya Saing dengan Regulasi Produktif Untuk Peningkatan Ekspor Nasional” di Jakarta, Rabu (30/10/2019).

Sobur memberi contoh ekspor furnitur yang tidak didukung regulasi produnia usaha, sehingga target ekspornya meleset. Padahal dari segi bahan baku, Indonesia jauh lebih unggul dibanding Vietnam. “Tahun lalu, ekspor furnitur hanya mencapai US$ 1,7 miliar. Bandingkan dengan Vietnam yang mampu meraih US$ 8,5 miliar,” ujar Abdul Sobur.

Soal pajak kata dia, di Vietnam semuanya flat 17 persen. “Sementara di Indonesia, untuk pajak badan saja 24 persen, PPN 10 persen, bunga bank 10 persen, sehingga total 44 persen,” kata Abdul Sobur.

Di tempat yang sama Ketua DPD Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) DKI Jakarta Irwandy MA Rajabasa mengakui, pemerintah sudah banyak melakukan perbaikan regulasi, tetapi dalam praktiknya di lapangan belum optimal.

Irwandy mengatakan, kendala regulasi membuat industri manufaktur dalam lima tahun terakhir mengalami pasang surut dalam pertumbuhannya. Pada tahun 2014 pertumbuhannya 4,64 persen, tahun 2015 sebesar 4,33 persen, tahun 2016 sebesar 4,26 persen, tahun 2017 sebesar 4,29 persen dan tahun 2018 sebesar 4,27 persen.

Untuk itu, GPEI maupun HIMKI mengajukan 10 usulan untuk meningkatkan kinerja ekspor. Pertama, memfasilitasi eksportir mendapatkan bahan baku dari lokal dengan fasilitas Kemudahan Lokal Tujuan Ekspor (KLTE) dan Optimalisasi Penggunaan PLB. Kedua, harmonisasi kebijakan pengembangan industri manufaktur dan perlindungan pasar dengan memberikan fasilitas penurunan production cost bagi industri upstream dan intermediate, sehingga bisa bersaing dangan barang impor. Sedangkan industri hilir dilindungi dengan bea masuk, tariff & non tariff barrier.

Ketiga, restrukturisasi permesinan/peralatan industri manufaktur menuju global supply chain dan industry 4.0, dimulai dari 10 industri andalan ekspor dan industri subtitusi impor bahan baku/penolong dan barang modal. Keempat, memperkuat Industri Kecil-Mikro (downstream) sebagai jaminan pasar bagi industri besar-menengah (Intermediate Goods dan/ atau semi-finished products). Kelima, kerja sama perdagangan Internasional dengan negara-negara komplementer (kepentingan pasar) dan negara sumber bahan baku yang tidak diproduksi dan/atau terbatas pasokannya didalam negeri (kurang keekonomian).

Keenam, evaluasi baseline Nilai UMK Karawang, dan daerah lain sejenis, dan meninjau kembali/kaji pemberlakuan upah sektoral. Ketujuh, menjadi bagian dari global supply chain untuk produk yang memiliki value addedKedelapan, tidak mengeluarkan kebijakan yang kontra-produktif. Kesembilan, percepatan perbaikan insfrastruktur (jalan raya, rel KA, fasilitas pelabuhan dan bandara). Kesepuluh, penurunan suku bunga bank.

Sumber: beritasatu.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only