Hari Ini, Sri Mulyani Lantik Dirjen Pajak Baru

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dijadwalkan melantik direktur jenderal (dirjen) pajak Kementerian Keuangan yang baru hari ini, Kamis (31/10), menggantikan Robert Pakpahan yang memasuki masa pensiun 20 Oktober 2019 lalu. Pelantikan dilakukan menyusul penandatanganan keputusan presiden (keppres) tentang penunjukkan dirjen pajak baru oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti membenarkan telah diagedakannya pelantikan dirjen pajak yang baru oleh menteri keuangan tersebut. “Iya, rencananya begitu (dilantik besok),” ujar dia ketika dihubungi Investor Daily, Rabu (30/10) malam.

Namun Nufransa masih enggan mengungkap nama yang telah ditetapkan oleh Presiden sebagai orang nomor satu di Direktorat Pajak Kementerian Keuangan tersebut. Bahkan, ia pun menolak untuk menjawab pertanyaan bahwa sosok dirjen pajak yang baru ini satu di antara nama-nama pejabat eselon I Kemenkeu yang telah beredar di publik. “Lihat saja besok saat pelantikan,” ujar dia.

Namun, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo disebut-sebut sebagai kandidat terkuat mengisi posisi direktur jenderal pajak. Nama-nama lain yang sebelumnya sempat mencuat adalah Awan Nurmawan (staf ahli menteri keuangan bidang peraturan dan penegakan hukum pajak), Astera Primanto Bhakti (dirjen perimbangan keuangan), Luky Alfirman (dirjen pengelolaan pembiayaan dan risiko), serta Suahasil Nazara (Kepala Badan Kebijakan Fiskal yang kemudian ditunjuk menjadi wakil menteri keuangan).

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, direktur jenderal pajak baru harus mampu menghadapi tekanan politik yang dapat mengganggu kinerja lembaga yang dipimpinnya berfungsi dengan optimal.

“Tekanan politik akan menyebabkan kebijakan pajak yang distortif dan menghasilkan penerimaan yang tak optimal. Oleh karenanya dirjen pajak harus mampu mengatasi tekanan politik dalam tingkat kebijakan maupun pemungutan,” ujar Yustinus di Jakarta, Rabu (30/10).

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, dalam sepuluh tahun terakhir, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Pada 2018 lalu, capaian penerimaan pajak terhadap target hanya mencapai 92,41%. Tiga tahun sebelumnya bahkan di bawah 90% yaitu 89,68% pada 2017, 81,6% pada 2016, dan 81,9% pada 2015.

Apalagi pada 2020, menurut Yustinus, target penerimaan pajak sebesar Rp 1.639,9 triliun, terlalu optimistis di tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, dirjen pajak baru juga harus mampu membangun sinergi baik antara kantor pusat dengan wilayah maupun antarkantor wilayah. “Tak hanya itu, sinergi juga diperlukan dengan kementerian lain dan juga pihak swasta,” ujar Yustinus seperti dikutip Antara.

Selanjutnya, dirjen pajak baru harus mampu membangun jejaring misalnya dalam mengatasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yang memerlukan jaringan dengan negara-negara lain dan juga organisasi internasional.

BEPS adalah strategi perencanaan pajak yang memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan domestik untuk menghilangkan keuntungan atau mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan bebas pajak.

Terakhir, lanjut Yustinus, seorang dirjen pajak harus mampu berkomunikasi baik dengan internal direktorat jenderal pajak ataupun pihak eksternal. “Komunikasi ini penting agar dapat membangun kepercayaan dan juga menjadikan suatu kebijakan menjadi efektif dalam pelaksanaan,” ujar Yustinus.

Visi Presiden

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengharapkan, dirjen pajak yang baru nantinya sejalan dengan visi presiden dalam menjalankan kebijakan fiskal. Sebab pertumbuhan sektor riil sangat bergantung terhadap kebijakan yang dijalankan pemerintah.

“Kita menghadapi tantangan ekonomi yang berbeda. Upaya pengumpulan pajak masih pro cyclical. Sehingga tidak ahead of the curve antartarget penerimaan dan upaya pengumpulan penerimaan,” ucap Arif.

Ia mengatakan, harus ada inovasi dalam pengumpulan penerimaan. Saat ini pemerintah juga harus bergerak cepat dalam mengumpulkan penerimaan dari sektor digital. Menurutnya upaya pengumpulan pajak adalah sesuatu yang tidak pasti, padahal belanja konstan dilakukan. Apalagi pemerintah juga menjalankan kebijakna mandatory spending. “Hal ini menyebabkan ruang fiskal semakin kecil,” ucap Arif.

Sedangkan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan, harus ada hubungan yang harmonis antara pengusaha dan direktorat jenderal pajak. Bagaimana pengusaha bisa diakomodasi dengan baik oleh pemerintah, khususnya dalam kebijakan yang berkaitan dengan upaya mengumpulkan penerimaann pajak.

“Kalau saya lihat sementara ini banyak peraturan yang dikeluarkan pemerintah tanpa disosialisasikan dulu ke pengusaha,” ucap Suryadi. Ia berharap, kalangan pengusaha bisa dilibatkan dalam penyusunan regulasi di sektor perpajakan. Sebab pengusaha merupakan mitra pemerintah.

Sumber: investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only