Jose Antonio Ocampo : Darurat Pajak Perusahaan Digital, Saatnya Negara Berkembang Bersuara

Banyak pemerintahan dan negara sempat dilanda kemarahan pada beberapa tahun lalu, akibat rendahnya pembayaran pajak atau tidak adanya pembayaran dari beberapa perusahaan multinasional terbesar di dunia. G20 kemudian menunjuk Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) untuk merancang alternatif perpajakan demi mengakhiri pengemplangan pajak.

Sebagai respons atas hal itu, pada 9 Oktober lalu OECD mengajukan proposal sistem perpajakan internasional baru yang rencananya akan diterapkan di dunia dalam beberapa dekade mendatang.

Kita sedang berbicara tentang masalah besar. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, 60 dari 500 perusahaan terbesar, termasuk Amazon, Netflix, dan General Motors, tidak membayar pajak sesen pun pada 2018 meski terdapat keuntungan kumulatif sebesar US$ 79 miliar. Itu terjadi karena sistem saat ini memungkinkan mereka melakukan hal tersebut dengan cara yang sepenuhnya legal.

Penyalahgunaan, seringkali legal, dilakukan berdasarkan pengaturan yang rumit tetapi pada prinsipnya sangat sederhana. Perusahaan multinasional hanya membayar pajak di anak perusahaan di mana perusahaan multinasional tersebut menyatakan keuntungannya.

Dengan cara tersebut, mereka memperlihatkan laba yang rendah atau defisit di negara berpajak tinggi jika di negara-negara itulah perusahaan melakukan sebagian besar kegiatannya. Perusahaan akan melaporkan laba yang tinggi di yurisdiksi di mana pajak sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali.

Akibatnya, negara-negara berkembang kehilangan pendapatan setidaknya US$ 100 miliar setiap tahun, yang disembunyikan oleh perusahaan multinasional di negara bebas pajak. Menurut ekonom Gabriel Zucman, secara global, cara ini mengalihkan 40% dari keuntungan asing ke surga pajak.

Dengan digitalisasi ekonomi yang dipercepat, jumlah dana yang dialihkan terus meningkat sebagaimana disoroti oleh banyak lembaga, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) dan Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD). Namun, langkah terpenting datang dari OECD yang menerima mandat dari G20 untuk mengusulkan alternatif bagi sistem perpajakan internasional saat ini, termasuk efek dari digitalisasi.

OECD Tak Memberi Perlakuan yang Sama
Setelah beberapa dekade berakhir tanpa tindakan, proses penyusunan proposal maju pesat. Setelah publikasi proposal tersebut belum lama ini, OECD akan membuat versi finalnya pada 2020 dan meletakkan landasan untuk sistem perpajakan internasional yang baru. Setelah tanggal itu, praktis tidak mungkin memengaruhi proses reformasinya.

Itu sebabnya kita perlu mengingatkan negara-negara berkembang. Mereka tidak dapat lagi mengatakan bahwa mereka tidak memiliki suara dalam proses tersebut.

OECD telah memberi mereka tempat di meja perundingan dengan menciptakan kelompok yang disebut “Kerangka Kerja Inklusif”. Dengan beranggotakan 134 orang, kelompok tersebut menjadi arena di mana sistem perpajakan global mendatang akan diputuskan.

Sayangnya, terlepas dari namanya, kami tidak memiliki level permainan yang sama dalam Kerangka Kerja Inklusif ini. Negara-negara kaya memiliki lebih banyak sumber daya manusia, politik, dan keuangan untuk memenangkan pandangan mereka.

Dengan jumlah kantor pusat multinasional terbesar, mereka juga paling rentan terhadap tekanan dunia usaha sehingga mengorbankan warga negara mereka sendiri dan seluruh dunia. Tetapi dengan menolak untuk menyadari apa yang dipertaruhkan, negara-negara berkembang juga gagal menghadapi tanggung jawab mereka masing-masing.

Dua Pilar dalam Proposal Reformasi Pajak OECD
Proposal reformasi dari OECD dibuat berdasarkan dua “pilar”. Pilar pertama, menetapkan dengan jelas di mana laba perusahaan dihasilkan untuk keperluan perpajakan.

Cita-cita yang diperjuangkan ICRICT sebagai ketua komisi reformasi pajak selama bertahun-tahun adalah menetapkan perusahaan multinasional sebagai perusahaan tunggal. Artinya, total labanya harus dikenakan pajak di tempat mereka beroperasi sesuai dengan faktor-faktor objektif seperti pekerjaan, penjualan, konsumen digital, dan sumber daya alam yang digunakan.

Namun, proposal OECD tidaklah ambisius ataupun cukup adil dalam hal ini. Bagian laba yang akan didistribusikan kembali secara internasional bakal terbatas pada apa yang disebut bagian “residual” dari total laba perusahaan multinasional.

Yang lebih buruk, prinsip ini hanya akan berlaku bagi perusahaan multinasional yang sangat besar dan alokasi keuntungan hanya akan bergantung pada volume penjualan, tidak termasuk lapangan kerja dan faktor lain yang akan menguntungkan negara-negara berkembang.

Pilar kedua adalah pembentukan pajak perusahaan minimum yang efektif di tingkat global. Dengan menanggalkan insentif pajak sebagai amunisinya, beberapa negara berkembang khawatir tidak akan lagi dapat menarik investasi dari perusahaan multinasional. Namun, menurut penelitian IMF, bukti bahwa insentif tersebut menarik investasi masih kontroversial.

Perlu Konsensus Internasional untuk Tarif Pajak
Yang terpenting, jika komunitas internasional menyetujui tarif yang cukup tinggi (ICRICT meminta setidaknya 25%, seperti tarif pajak rata-rata di negara maju), hal ini akan mengakhiri persaingan ke level dasar. Langkah ini akan menghapus alasan utama keberadaan (raison d’être) surga pajak, sambil memastikan bahwa semua negara memiliki akses ke sumber daya yang penting untuk pembangunan.

Dengan tidak adanya konsensus internasional, beberapa negara memilih untuk menemukan solusi alternatif. Ini seperti kasus Prancis yang akan mengenakan pajak 3% dari omset perusahaan di sektor digital.

Negara lain, contohnya Meksiko, sedang mempertimbangkan kemungkinan memaksa platform digital, seperti Uber atau Netflix untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas layanan yang disediakan di negara tersebut.

Walaupun ini adalah inisiatif yang baik untuk memungut pendapatan yang luput saat ini, tidak mungkin memecah-belah ekonomi digital dan menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan reformasi. Alasannya, semakin banyak perusahaan yang menggunakan teknologi digital sebagai bagian dari kegiatan komersial mereka. Dan negara tidak akan keluar dari defisit dan penghematan berulang dengan sekali langkah.

Sudah saatnya negara-negara berkembang bergerak. Sebab, peningkatan sumber daya fiskal menjadi satu-satunya cara meningkatkan akses ke kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender atau perjuangan melawan perubahan iklim.

Jika kepala negara dan menteri keuangan negara-negara tersebut terus meremehkan betapa pentingnya perdebatan ini, mereka akan segera menemukan diri mereka dipaksa untuk menerima sistem perpajakan internasional baru yang tidak sesuai dengan kemauan mereka. Pemenangnya akan selalu sama, tetapi kemudian sudah terlambat untuk mengeluh.

Sumber : Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only