Fundamental Ekonomi Tahan Dana Repatriasi

Jakarta – Masa tahan (holding period) dana repatriasi dari program amnesti pajak (tax amnesty) mulai habis pada September 2019. Salah satu peserta repatriasi pajak, Dato Sri Tahir tak berencana membawa kembali uangnya ke luar negeri. Kondisi ketidakpastian global seperti perang suku bunga, perang dagang Amerika – Cina dan melemahnya harga komoditas, meyakinkan Tahir menempatkan uangnya di dalam negeri.

“Aktivitas ekonomi dan peluang di Indonesia masih yang terbaik,” kata dia saat ditemui di kantornya, Kamis 19 Oktober 2019.

Pada periode tax amnesty, Tahir merepatriasi dananya ke Indonesia dengan pertimbangan nilai tukar rupiah. “Value rupiah waktu itu ngawur, tidak separah itu,” kata dia. Prediksi taipan ini tak meleset, rupiah menguat kini di kisaran Rp 14.100 (nilai tukar Senin 20 Oktober 2019) dari waktu menukarkan uang tiga tahun lalu, Rp 15.200 (rata-rata nilai tukar rupiah). Setahun kemudian, orang terkaya keempat versi Forbes ini menyuntikkan Rp 2 triliun ke Bank Mayapada dari hasil pencairan deposito di Singapura.

Tahir mengakui Singapura, tempat pelarian modal favorit para pengusaha Indonesia. “Hanya deposit saja, yang terbaik untuk investasi cuma di Indonesia.” Kementerian Keuangan mencatat Singapura, memang negara asal jumlah dana repatriasi dan deklarasi harta luar negeri warga negara Indonesia yang terbanyak. Masing-masing 64 persen dan 69 persen.

Peserta repatriasi lain, Suryadi Sasmita, juga menggunakan sebagian dananya untuk bisnis modal baru dan melakukan ekspansi. Wakil Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini menuturkan banyak rekannya sesama pebisnis, juga menggunakan dana repatriasi untuk pengembangan usaha. Direktorat Jenderal Pajak terus memantau dana repatriasi. Jumlah dana repatriasi yang habis masa tahannya pada September 2019 sebesar Rp 12,6 triliun dari total dana Rp 146 triliun. Dari total jumlah Rp 146 triliun, sebanyak Rp 130 triliun masuk melalui gateway dan sisanya melalui crossing dari surat berharga negara yang beralih nama ke Indonesia.

“Kami meyakini bahwa berakhirnya holding periode repatriasi dalam rangka tax amnesty tidak ada pengaruh atau trigger dana keluar. Kami lihat pergerakannya sementara tidak ada yang mengkhawatirkan,” kata Robert Pakpahan saat masih menjabat menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, Senin 14 Oktober 2019. Saat ini Dirjen Pajak dijabat oleh Suryo Utomo.

Dana repatriasi yang habis masa tahannya tersebut adalah yang masuk pasar keuangan Indonesia pada periode pertama amnesti pajak, yaitu Juli-September 2016. Amnesti pajak berlangsung dalam tiga periode. Periode kedua Oktober-Desember 2016, dan periode ketiga Januari-Maret 2017. Sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak, masa tahan dana repatriasi, tiga tahun. Dalam masa tahan, dana repatriasi wajib diinvestasikan di dalam negeri. Investasi dapat berupa instrumen keuangan seperti deposito, saham, atau obligasi, atau investasi langsung pada sektor riil.

Juru bicara Ditjen Pajak Hestu Yoga Sukma, optimistis dana repatriasi yang akan jatuh tempo tetap berada di Indonesia. Pasalnya, hasil imbal balik investasi portofolio seperti suku bunga, surat berharga dan obligasi swasta di Indonesia lebih baik dibanding negara lain. Pemerintah juga memberi gula-gula insentif fiskal ke investor, seperti tax holiday. “Dana asing yang masuk sejak awal tahun Rp 195 triliun juga masih di Indonesia,” kata dia.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja, menuturkan tidak banyak dana repatriasi yang masih terparkir di BCA. Direktur BCA Santoso memperkirakan kurang dari 15 persen dari dana repatriasi yang disimpan berupa uang tunai dan produk perbankan yang likuid seperti deposito. Sisanya, kata dia, telah digunakan nasabah untuk ekspansi bisnis, melunasi utang, belanja modal, obligasi hingga saham. BCA adalah bank nasional terbesar yang menampung repatriasi, yakni sekitar Rp 40 triliun.

Direktur Konsumer Bank Mandiri Hery Gunardi menuturkan sejauh ini belum ada nasabah yang melakukan penarikan dana repatriasi. Bank Mandiri menawarkan imbal hasil dalam produk investasi untuk mempertahankan dana repatriasi. Seperti investasi berdenominasi dolar, seperti obligasi hingga pengelolaan dana berbasis dolar, diversifikasi portofolio offshore melalui Bank Mandiri cabang Singapura dan pilihan global bonds.

Sekertaris Perusahaan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Hary Purnomo menuturkan perseroan memiliki beragam instrumen produk keuangan untuk menjaga hasil dana repatriasi. Salah satunya bunga deposito, penjualan obligasi BRI untuk korporasi dan ritel.

Ketidakpastian ekonomi global, kata Kepala Group Kebijakan Makro Prudential Bank Indonesia Retno Ponco Widarti, akan berpengaruh pada aliran modal. Karena itu, bank sentral memperkuat cadangan devisa dan menjaga selisih suku bunga sebagai bagian dari resilensi faktor eksternal. Hingga masa tahan repatriasi periode terakhir selesai, kata dia, secara fundamental kondisi ekonomi Indonesia masih bagus.

“Dana repatriasi sejauh ini masih terjaga, tidak perlu ada kecemasan berlebihan,” kata dia. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Budi Armanto menilai potensi dana repatrasi kabur belum ada. “Di luar juga kondisinya tidak sebaik di Indo, sehingga kemungkinan keluar kecil.”

Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, pemerintah perlu membuat instrumen investasi jangka panjang yang menarik untuk ‘mengikat’ dana repatriasi. Seperti instrumen dana investasi real estat (DIRE) atau real estate investment trust (REITs).

Dia mengakui imbal hasil surat utang pemerintah lebih tinggi dari negara lain. Namun Vietnam dan Thailand lebih unggul untuk urusan foreign direct investment (FDI atau penanaman modal asing secara langsung) karena sarat insentif.

Kepastian hukum dan iklim bisnis, kata dia, masih menjadi pekerjaan besar pemerintah untuk membuat pemodal merasa aman menempatkan uangnya di pemerintah. Yustinus berpendapat, kondisi riil dana repatriasi berbanding lurus pada kondisi ekonomi dan politik Indonesia di akhir tahun. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmaja berpendapat imbal balik investasi surat utang di Indonesia lebih baik dari negara lain. Karena itu, investor masih mempunyai alasan untuk menyimpan dananya di Indonesia.

“Jika mencari yield (imbal balik surat utang), di dalam negeri sudah cukup menarik. Tetapi jika mereka tidak merasa aman dananya di dalam negeri ya enggak bisa dicegah,” kata Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA.

Estimasi Harta Kekayaan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri

-McKinsey
Rp 3.250 Triliun
-Credit Suisse & Allianz
Rp 11.125 Triliun
-Bank Indonesia
Rp 3.147 Triliun
-Kementerian Keuangan
Rp 11.000 Triliun
-Tax Justice Network
Rp 4.400 Triliun

Program tax amnesty berlangsung Program Juli 2016 – 31 Maret 2017

-Deklarasi harta Rp 4.881 triliun (39,5 persen dari PDB)
dari dalam negeri Rp 3.660 triliun, dari luar negeri Rp 1.184 Triliun
-Dana repatriasi Rp 146 triliun (1,08 persen PDB).
Masuk ke gateway perbankan Rp 130 triliun, masuk ke SBN Rp 16 triliun

Peserta: 972.530 wajib pajak. (52.757 wajib pajak baru)

413.613 wajib pajak orang pribadi non UMKM (Rp 90,36 triliun),
321.895 wajib pajak orang pribadi UMKM (7,56 triliun),
125.784 wajib pajak badan non UMKM (Rp 4,31 triliun),
111.238 wajib pajak badan UMKM (Rp 0,62 triliun).

Negara asal repatriasi terbanyak:

Singapura Rp 84,52 triliun (57,9 persen)
Cayman Island Rp 16,28 triliun (11,31 persen)
Hong Kong Rp 16,28 triliun (11,15 persen)
Virgin Island Rp 6,58 triliun (4,51 persen)
Cina Rp 3,65 triliun (2,5 persen)

Sumber data: Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan berbagai sumber

Sumber : Tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only