Meski Ada Pusat Data Peminjam, OJK Tak Ingin Kredit Macet Fintech 0%

Industri teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) akhirnya memiliki pusat data terkait nasabah yang terintegrasi. Meski begitu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak ingin Tingkat Wan-Prestasi (TWP) alias rasio kredit macet (Non Performing Loan/NPL) menyentuh 0%.

Alasannya, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menilai, kredit macet 0% merupakan pertanda bahwa fintech pembiayaan mulai mengurangi penyaluran pinjaman. “Saya tidak pernah berharap fintech lending NPL-nya 0%,” kata dia di kantornya, Jakarta, Senin (11/11).

Padahal, fintech pembiayaan hadir untuk melayani masyarakat yang belum mendapat akses keuangan (unbanked) atau punya akun bank tetapi layanannya tidak lengkap (underserved). Karena itu, ia menilai bahwa OJK gagal mendorong inklusi keuangan lewat fintech pembiayaan, jika NPL-nya 0%.

Berkaca pada segmen yang ditarget fintech pembiayaan, menurutnya NPL yang naik-turun sangat wajar. Sebab, para peminjam rerata belum pernah mendapat pinjaman sehingga risiko kreditnya lebih tinggi.

“Ketika NPL fintech lending 0%, itu justru menjadi keraguan bagi kami apakah mereka sungguh serius dalam meningkatkan inklusi keuangan,” kata dia.

Ia mencatat, TWP fintech pembiayaan mencapai 2,89% per September 2019. Sejauh ini, rerata NPL di industri keuangan berbasis teknologi ini sekitar 3%.

Hendrikus menilai, peminjam yang kreditnya macet justru akan mencerdaskan mesin pembelajar (machine learning) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) milik fintech pembiayaan. Dari data-data itu, mesin mendapat informasi terkait peminjam di setiap wilayah.

Semakin banyak informasi yang diperoleh, maka mesin akan semakin pintar dalam mengukur risiko calon peminjam. “Kalau NPL 0%, mesin (penilaian resiko kegagalan) tidak akan cerdas,” kata dia.

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan OJK meresmikan pusat data yang disebut Fintech Data Center (FDC) pada hari ini (11/11). Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menambahkan, fasilitas ini bertujuan mengintegrasikan data antarfintech pembiayaan guna mengawasi secara langsung (realtime) portofolio perusahaan.

Fintech pembiayaan yang menjadi anggota pun tidak dipungut biaya jika ingin menggunakan data yang tersedia di FDC. “Justru (FDC) ini merupakan kewajiban anggota untuk melakukan integrase. Tujuannya manajemen risiko bisa lebih baik,” katanya.

Ia bercerita, FDC mengidentifikasi calon peminjam yang pernah mengalami kredit macet di salah satu perusahaan, mencoba untuk mengajukan pembiayaan. Karena itu, Adrian optimistis fasilitas ini bisa menurunkan risiko kredit macet di industri ini.

FDC juga berperan untuk mencegah terjadinya kejahatan di industri tersebut. Salah satunya melalui metode pengenalan konsumen alias Know Your Customer (KYC). Bahkan, fasilitas ini bisa meminimalkan predatory lending atau penawaran pinjaman yang menjerumuskan peminjam dalam jeratan utang.

Selama ini, ada peminjam yang meminjam di lebih dari lima platform fintech pembiayaan. Alhasil, si peminjam kesulitan membayar kewajibannya. “Kami ingin menekankan excessive lending, ini berkaitan dengan penilaian kredit,” katanya. 

Dari sisi keamanan, ia menegaskan bahwa FDC menggunakan kunci privasi untuk menjaga data. Pemegang kuncinya yakni AFPI. Asosiasi mengerahkan tim khusus untuk menangani FDC.

Saat ini, baru 15 fintech pembiayaan yang mendaftarkan diri ke FDC. Di antaranya Amartha, Danamas, Dompet Kilat, Finmas, Investree, Kimo, KlikACC, Koinworks, Kredit Pintar, KTA Kilat, Mau Cash, Modalku, Taralite, Toko Modal, dan Uang Teman.

Jenis data yang bisa diakses lewat FDC yaitu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan kualitas kredit. “Target kami akhir November semua (platform) sudah terintegrasi,” katanya. 

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi mengatakan, lembaganya akan tetap berkoordinasi terkait pengawasan FDC. Fintech yang tidak patuh terhadap asosiasi bisa saja dicabut keanggotaannya.

“Begitu dicabut keanggotaannya, mereka harus berhati-hari karena di dalam POJK mengatur bahwa harus menjadi anggota asosiasi. Jadi memang terpaksa harus diatur agar (industri menjadi) tertib,” kata dia.

Saat ini, ada 144 fintech pembiayaan yang terdaftar di OJK. Dari jumlah tersebut, 17 anggota di antaranya telah berizin di OJK per 7 November 2019. Per Oktober 2019, fintech pembiayaan sudah menyalurkan pinjaman Rp 60,4 triliun kepada 14,4 juta.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only