Jakarta, Siklus pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR) hingga kini belum mencapai puncaknya. Padahal, sejak Juli 2019, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sudah turun empat kali hingga 1 persen secara total. Selain itu, uang muka (down payment/DP) bisa dicicil, bahkan ada yang 0 persen dengan tenor panjang. Namun nyatanya kemudahan yang diberikan pengembang dan perbankan belum direspons positif konsumen.
“Analisis dengan menggunakan pendekatan short term cycle menunjukkan bahwa siklus pembiayaan properti berada dalam fase akselerasi yang belum mencapai puncaknya,” kata Ekonom Bank Permata Josua Pardede dalam ‘Property Market Outlook 2020’ di Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Ia mengatakan, permintaan KPR cukup tinggi terjadi pada 2013 dimana aturan kepemilikan rumah cukup rileks. Sehingga BI dirasa perlu memperketat aturan LTV, meski imbasnya indeks properti turun dan KPR melambat. Namun belakangan, bank sentral sudah banyak melonggarkan berbagai kebijakan yang diharapkan mampu meningkatkan permintaan kredit yang lesu, termasuk KPR.
“Kombinasi kebijakan BI, PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah), penurunan suku bunga, makroprudensial dan kebijakan pemerintah, jika itu bagus maka tahun ini jadi turning point untuk tahun depan paling cepat kuartal III-2020 properti akan bagus, meski tantangan ekonomi domestik dan global masih berat,” kata Josua Pardede.
Ia menambahkan, untuk mendorong minat pembelian rumah, para pengembang perlu menyesuaikan permintaan konsumen. Sebab permintaan paling besar saat ini untuk kelas menengah dengan harga di bawah Rp 750 jutaan. “Yang ada saat ini, pengembang lebih banyak fokus untuk menengah ke atas, padahal permintaan banyak dari yang menengah dan menengah ke bawah. Jadi, ada miss match yang kelihatan cukup jelas,” kata Josua Pardede.
Terkait rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL), Josua menyebutkan, untuk rumah tipe sedang (22-70 m2) lebih rendah dari rata-rata KPR. Sementara NPL KPR tipe besar (70 m2) mencapai 3,3 persen. “NPL KPR cenderung stabil di kisaran 2,7 persen, NPL KPA terus turun ke 1,7 persen, sedangkan kredit ruko terus meningkat ke 5,8 persen,” kata Josua Pardede.
Di sisi lain, ia menyebutkan, rasio harga properti per meter persegi di Indonesia terhadap PDB per kapita tercatat 72 kali, relatif lebih rendah dibandingkan India, Kamboja, Tiongkok, dan Filipina yang tercatat masing-masing 628 kali, 228 kali, 146 kali, dan 135 kali. “Perubahan harga properti Indonesia cenderung stagnan dibanding negara lainnya yag cenderung meningkat,” kata Josua Pardede.
Sumber: beritasatu.com
Leave a Reply