Turki tetapkan pajak over the top 7,5%, Indonesia bagaimana?

JAKARTA. Pemerintah Turki menentukan tarif pajak atas perusahaan over the top (OTT) sebesar 7,5% dari pendapatan kotor didapat dari Turki. Digadang-gadang beleid yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut akan disahkan oleh parlemen Turki pada akhir tahun 2019.

Mengutip Bloomberg, Jumat (15/11), rencana pengenaan pajak tersebut diutamakan akan menyasar pada perusahaan sekaliber Google dan Facebook, pasar elektronik seperti eBay, serta platform e-commerce yang terlibat dalam penjualan barang dan layanan digital seperti Spotify dan Netflix.

RUU tersebut menjelaskan perkembangan teknologi memungkinkan perusahaan digital memiliki operasi komersial di suatu negara tanpa kehadiran fisik. Sehingga, draf RUU ini bertujuan memungut penghasilan dari layanan semacam itu oleh perusahaan, dengan mempertimbangkan praktik di negara lain.

Namun sayangnya, Indonesia nampaknya belum siap menerapkan tarif pajak digital. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengatakan belum ada pembahasan soal tarif pajak. Namun menurutnya, tarif pajak digital Turki mungkin menjadi saran bagi Organization for Economic Co-opration and Development (OECD).

Di samping itu juga melakukan redefinisi badan usaha tetap (BUT), di mana ketentuan saat ini mensyaratkan kehadiran fisik di Indonesia menjadi significant economic presence.

“Belum ada pembahasan tarif, saat ini yang ada di Omnibus Law baru soal kedudukan perusahaan digital yang tidak harus physical presence,” kata Suryo kepada Kontan.co.id di Kompleks Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jumat (15/11).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menambahkan untuk OTP, Indonesia belum ke arah model pemajakan unilateral seperti di Inggris, India, dan Prancis.

“Masih menunggu kesepakatan internasional melalui OECD yang sedang memformulasikan skema perpajakan OTP dan diharapkan tahun 2020 sudah selesai,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Jumat (15/11).

Sementara itu, dalam RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang mengandung skema Omnibus Law Perpajakan, pemerintah telah mencantumkan aturan kewajiban pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh OTP atas penjualan barang tidak berwujud dan jasa kepada konsumen di Indonesia.

Pajak e-commerce

Google dalam laporan bertajuk e-Conomy 2019 mencatat Indonesia sebagai negara yang punya nilai transaksi paling besar di Asia Tenggara. Pada 2019, diprediksi nilai transaksi digital di Indonesia bisa mencapai US$ 41 miliar.

Nilai tersebut paling banyak disumbang oleh transaksi e-commerce senilai US$ 21 miliar, disusul online travel senilai US$ 10 miliar, kemudian ride hailing US$ 6 miliar, dan media online US$ 4 miliar.

Di sisi lain, menjelang akhir tahun merupakan momentum bagi e-commerce dalam meraih pundi-pundi pendapatan. Sebut saja tag-line promo tanggal 10 Oktober (10-10) dan 11 November (11-11) yang diprediksi transaksi tahun ini tumbuh dibanding tahun lalu.

Menanggapi fenomena tersebut, Yoga mengatakan pada dasarnya, walaupun tidak diatur secara khusus, bukan berarti transaksi di e-commerce tidak dikenakan pajak. Ketentuan pajak secara umum juga berlaku untuk pelaku usaha melalui e-commerce.

Misalnya pengusaha UMKM dengan omzet sampai dengan Rp 1,8 miliar setahun dapat membayar PPh Final 0,5 %. Hal itu, berlaku sama apakah dia berjualan secara konvensional ataupun e-commerce. “Jadi tidak benar bahwa pemerintah tidak mengenakan pajak e-commerce, dan itu sudah berjalan selama ini.,” ungkap Yoga.

Bahkan Yoga mengaku, pembayaran pajak e-commerce semakin menggeliat semenjak menjalin kerjasama dalam pembayaran pajak. Contohnya pembayaran melalui channel persepsi Bukalapak, Tokopedia, dan Finnet.

Diakui Yoga dari Wajib Pajak (WP) yang bayar di sana banyak juga dari para UMKM yang berjualan di platform e-commerce.

Sumber : Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only