Menkeu: Akhir Oktober, Defisit Anggaran 1,8% PDB

JAKARTA – Defisit APBN 2019 hingga Kamis (31/10) sudah mencapai Rp 289,1 triliun. Angka ini setara dengan 1,8% dari produk domestik bruto (PDB) dan sudah mendekati target defisit 2019 sebesar Rp 296 triliun atau 1,84% dari PDB.

Jumlah defisit tersebut meningkat dari posisi Agustus 2019 yang baru mencapai Rp 199,1 triliun atau 1,24% dari PDB. Defisit itu juga meningkat dibanding periode sama 2018 yang mencapai Rp 229,7 triliuan atau 1,56% dari PDB .

“Kenaikan defisit terjadi karena penerimaan migas dan nonmigas, baik pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP), mengalami tekanan, terutama pada sektor primer dan sekunder,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN Kita di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Senin (18/11).

Menkeu mengungkapkan, penerimaan negara baru mencapai Rp 1.508,9 triliun atau 69,7% dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 2.168,1 triliun. Jumlah ini terbagi dalam penerimaan perpajakan yang terealisasi sebesar Rp 1.173,89 triliun (65,71%), PNBP yang telah terealisasi sebesar Rp 333,29 triliun (88,1%), dan penerimaan hibah yang terealisasi Rp 1,72 triliun (395,55%).

“Secara umum, realisasi tersebut mengalami pertumbuhan dan membaik dibandingkan kinerja September 2019, meskipun perekonomian global masih mengalami tekanan yang berdampak pada kondisi domestik,” ujar Sri Mulyani.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menjelaskan, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.018,47 triliun atau 64,56% dari target APBN 2019. Capaian penerimaan pajak ini tumbuh 0,23% secara tahunan (year on year/yoy) bila dibandingkan periode sama tahun lalu (Januari-Oktober 2019). Kontaraksi penerimaan pajak terjadi karena adanya sektor penerimaan yang mengalami penurunan.

“Secara agregat, penerimaan perpapajakan, khususnya PPh migas sangat berdampak pada kinerja PPh migas. Terlebih harga minyak juga mengalami tekanan,” tutur dia.

Pertumbuhan penerimaan pajak, menurut Suryo, didorong peningkatan kinerja pajak penghasilan (PPh) nonmigas yang telah mencapai Rp 556,63 triliun, tumbuh 3,3% (yoy) dibandingkan periode sama 2018.

Realisasi PPh nonmigas sampai Oktober pun mencapai 67,20% dari target, lebih tinggi dibandingkan pencapaian Oktober tahun lalu sebesar 65,95%. Adapun sektor penerimaan perpajakan lain yang tumbuh negatif adalah pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak lainnya.

Adapun untuk penerimaan pajak nonmigas pada Oktober hanya tumbuh 3,3%, jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 17%. Penerimaan dari sisi PPN juga terkontraksi 4,2%, padahal tahun lalu tumbuh 14,9%.

“Kemudian pajak lainnya relatif tidak begitu signifikan. Pajak bumi dan bangunan (PBB) tumbuh 63,1%, masih dalam posisi normal. Sedangkan pajak lainnya minus 11,3% karena ada pengeluaran terkait perusahaan-perusahaan dan produk-produk hukum yang harus dikeluarkan,” papar Suryo.

Dia menambahkan, realisasi belanja negara hingga 31 Oktober 2019 baru 73,1% atau Rp 1.798 triliun dari target APBN 2019 sebesar Rp 2.461,1 triliun. Secara tahunan, belanja negara hanya tumbuh 4,5%, jauh lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu 11,9%.

“Belanja negara masih menunjukkan kinerja yang on track dan berperan dalam memberikan stimulus terhadap perekonomian,” tutur Menkeu Sri Mulyani.

Realisasi belanja negara itu terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.121,1 triliun atau 68,6% dari target APBN dan mengalami pertumbuhan 4,3% (yoy). Angka ini lebih rendah dari periode sama 2018 sebesar 19,6%.

Belanja pemerintah pusat didukung belanja kementerian/lembaga (K/L) yang realisasinya baru mencapai Rp 633,5 triliun atau 74% dari target. Angka ini hanya tumbuh 8% (yoy). Realisasi belanja pegawai sebesar Rp 204,4 triliun atau 91,1%, belanja barang Rp 236,5 triliun atau 68,6%, belanja modal Rp 100,8 triliun atau 53,2%, dan bantuan sosial Rp 91,7 triliun atau 94,5%.

Menkeu menegaskan, realisasi belanja bantuan sosial (bansos) sudah mencapai 94,5% pada akhir Oktober 2019. Realisasi bansos digenjot untuk menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

“Realisasinya memang hampir 100% untuk menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah,” ucap Sri Mulyani.

Adapun defisit keseimbangan primer sudah mencapai Rp 68,4 triliun, padahal pemerintah menargetkan defisit Rp 20,1 triliun. Alhasil, pembiayaan anggaran menjadi Rp 375,4 triliun per Oktober 2019.

Pembiayaan anggaran meningkat dari asumsi awal Rp 296 triliun sesuai proyeksi defisit anggaran awal pelaksanaan APBN 2019.

Sri Mulyani mengemukakan, tren penurunan suku bunga di negara maju ikut berdampak positif untuk Indonesia. Hal ini terlihat pada meningkatnya aliran modal asing (capital inflow) yang terus masuk ke Indonesia. Padahal ada negara berkembang yang masih mengalami capital outflow, misalnya Afrika Selatan dan Brasil. Argentina juga sudah mematok tingkat suku bunga yang tinggi, tetapi belum mampu meningkatkan capital inflow.

“Inilah yang menunjukkan bahwa Indonesia mampu dari sisi persepsi global. Dengan kondisi suku bunga global menurun, daya tarik kita meningkat sehingga menarik capital inflow,” tegas Sri Mulyani.

Pemerintah, menurut Menkeu, tetap mewaspadai masuknya aliran hot money. Sebab, capital inflow bersifat jangka pendek. Pemerintah tetap berupaya menahan capital inflow agar bersifat lebih permanen. Presiden Jokowi sudah menginstruksikan tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju untuk fokus meningkatkan investasi.

“Secara kumulatif, baik insurance maupun bonds Indonsia dalam posisi outstanding dari negara emerging lainnya,” ujar Menkeu.

Meskipun kinerja sejumlah indikator makro berada di bawah target, Sri Mulyani menilai, daya tahan dan stabilitas ekonomi Indonesia tetap terjaga di tengah prospek perlambatan ekonomi global. PDB Indonesia pada triwulan III-2019 masih tumbuh 5,02% (yoy) dan secara cumulative to cumulative masih tumbuh 5,04%.

Kodisi ini, kata Sri Mulyani, dicapai seiring tetap kuatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga (RT) dan lembaga non-profit rumah tangga (LNPRT). Masih solidnya pertumbuhan tersebut salah satunya merupakan peran dari APBN yang bersifat counter cyclical dalam memberikan stimulus ke perekonomian.

“Dalam kondisi global yang begitu sangat dinamis dan cenderung negatif, Indonesia masih tetap bisa menjaga pertumbuhan ekonominya pada kisaran 5%,” papar Sri Mulyani.

Dia menambahkan, neraca perdagangan juga sudah mengalami surplus pada Oktober 2019, membaik dari bulan sebelumnya yang mengalami defisit. Demikian pula net ekspor yang sudah mulai positif pada triwulan III-2019, seiring perbaikan neraca pembayaran Indonesia (NPI) yang didorong penurunan defisit transaksi berjalan dan peningkatan surplus transaksi modal dan finansial.

“Kondisi ini akan memberikan pondasi kuat terhadap perkembangan ekonomi nasional hingga akhir tahun ini dan tahun depan,” tandas mantan derektur pelaksana Bank Dunia ini.

Senada dengan Sri Mulyani, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo meminta semua tidak semata melihat data ekonomi keseluruhan (agregat), tapi juga mencermati data-data mikro yang tidak semuanya buruk.

Dia mencontohkan, di samping ekspor migas dan manufaktur secara keseluruhan yang turun, impor mesin dan ekspor emas serta kendaraan (vehicle) masih naik.

“Jadi, kami melihat, ekonomi ini bergerak. Ini perlu agar kita ada confidence. Gambaran ekonomi itu nggak hanya gambaran agregat saja, di mikro masih ada yang bergerak. Ini penting, karena kalau melihat perkembangan data agregat melambat, orang (pelaku usaha) akan memiliki pemikiran, sebaiknya stay, sebaiknya menaham (invetasi),” ujar Dody.

Menurut Dody, pertumbuhan kredit yang hanya di kisaran 8% per tahun tidak bisa serta-merta menjadi landasan kesimpulan bahwa permintaan terhadap perekonomian kecil. “Harus dilihat juga sisi financing yang lain. Mungkin melalui financing di pasar modal atau dari pasar luar negeri. Bagi korporasi, hitung-hitungan paling murah mencari pinjaman saat ini ke luar negeri,” ucap Dody.

BI, menurut Dody, meyakini outlook perekonomian Indonesia akan tumbuh menuju titik tengah 5,1-5,5% pada 2020. Salah satu yang melandasi keyakinan itu adalah kebijakan akomodatif pemangkasan suku bunga acuan hingga 100 basis poin dalam empat bulan terakhir akan bekerja ekefektif pada 2020. Demikian juga dampak pemangkasan ketentuan giro wajib minimum (GWM).

“Seharusnya, likuiditas (dari hasil kebijakan pelonggaran moneter) kemarin sudah memasok ke perbankan, ditambah lagi likuiditas dari defisit pemerintah (melebar) tahun ini yang kemungkinan di atas angka awal tahun. Ini sudah akan memasok ke perekonomian melalui lending (kredit),” papar dia.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan, realisasi pembiayaan utang hingga akhir Oktober 2019 telah mencapai Rp 384,52 triliun atau 107,03% target APBN yang terdiri atas realisasi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 401,71 triliun atau 103,28% target APBN dan realisasi pinjaman yang negatif Rp 17,19 triliun atau 57,88% target APBN.

Pertumbuhan pembiayaan anggaran dilakukan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan belanja dan penerimaan sepanjang 2019. “Ini menjadi penyeimbangan anggaran supaya tetap menjalankan APBN dan tetap mendapatkan prinsip efisiensi anggaran,” kata Suahasil.

Pertumbuhan pembiayaan anggaran, kata dia, dapat menggambarkan pelebaran defisit APBN yang sudah dilakukan pemerintah beberapa waktu lalu, yaitu dari 1,84% terhadap PDB menjadi 2-2,2% terhadap PDB. Pinjaman dilakukan berdasarkan dua sumber, yaitu lembaga multilateral dan pasar. Keduanya digunakan sebagai sumber pembiayaan APBN yang terus disiagakan.

“Pertumbuhan juga dilakukan agar pemerintah tetap dapat bersiap-siap, terutama dalam menghadapi situasi global yang masih dalam kondisi tidak pasti. Kalau kita butuhkan, harus kita ambil supaya belanja negara bisa tetap kita keluarkan dengan tetap efisien,” ujar Suahasil.

Dia menjelaskan, dari total pembiayaan utang yang ada, sebanyak Rp 401,7 triliun bersumber dari surat berharga negara (neto). Nilai tersebut tumbuh 17% dibandingkan periode sama tahun lalu Rp 343,2 triliun. Kenaikan ini merupakan bagian dari strategi front loading dalam memanfaatkan kondusifnya situasi pasar keuangan pada semester I-2019 guna mengantisipasi risiko global yang makin meningkat ke depan.

Pertumbuhan lebih tinggi terjadi pada pinjaman (neto) yang juga merupakan bagian dari pembiayaan utang. Pertumbuhannya mencapai 168,6%, dari Rp 6,4 triliun pada periode Januari-Oktober 2018 menjadi Rp 17,2 triliun pada periode yang sama tahun ini.

Peneliti Center of Economic Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, bila melihat pertumbuhan penerimaan dan perkembangan pembiayaan. ada potensi defisit semakin melebar. Apalagi, menurut dia, pertumbuhan pajak juga masih melambat, padahal pajak menyumbang 80% terhadap penerimaan negara. Pos manufaktur juga masih terkontraksi, padahal manufaktur menyumbang 30% atau yang terbesar terhadap penerimaan negara.

“Meskipun demikian, saya prediksi pertumbuhan penerimaan negara tidak akan terkontraksi. Masih akan tumbuh positif didorong penerimana pos-pos, misalnya cukai dan pos PPh yang relatif besar terhadap pos perpajakan,” kata Yusuf.

Yusuf mengungkapkan, konsekuensi dari pelebaran defisit terlihat pada pagu penerbitan SBN yang sudah melebih target. Permasalahan yang terjadi ketika pemerintah agresif menerbitkan SBN adalah terjadinya distorsi likuiditas di masyarakat. Dana di masyarakat yang sudah semakin ketat akan menjadi semakin ketat ditarik pemerintah. Hal ini turut memengaruhi dunia usaha.

“Swasta kesulitan melakukan penerbitan obligasi, mereka harus berpikir ulang apakah menerbitkan obligasi atau menunda ekspansi sampai tahun depan. Kalau swasta berencana menerbitkan obligasi, dia harus memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dari pemerintah. Ini akan berdampak terhadap penundaan ekspansi yang dilakukan swasta,” papar Yusuf.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, target penerimaan yang ditetapkan pemerintah terlalu optimistis. Pada saat yang sama, kondisi yang terjadi di lapangan adalah penerimaan jauh lebih rendah dari target. Saat asumsi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan terlalu optimistis di level 5,3% maka hal itu akan tercermin pada kondisi penerimaan yang jauh panggang dari api. Kondisi target pertumbuhan penerimaan jauh melebih kemampuan penerimaan.

“Biasanya pertumbuhan penerimaan perpajakan rata-rata 9% sampai 10%. Pada 2019, pemerintah mencoba pada pertumbuan 11-12%. Karena terlalu tinggi tanpa melihat kondisi lapangan, sebenarnya asumsi ini jauh dari realitas yang sebenarnya,” ucap Tauhid.

Tauhid menjelaskan, kondisi yang terjadi adalah penerimaan migas juga menurun, sebab harga minyak di pasar dunia menurun di bawah asumsi makro APBN 2019. Pada saat yang sama, penerimaan dari industri juga menurun. Dia menilai defisit APBN bisa melebar sampai 2,2%.

“Kalau defisit sampai 2,2% pembiayaan utang bisa berada di kisaran Rp 80 triliun sampai 100 triliun,” ujar Tauhid.

Menurut Tauhid, pemerintah seharusnya sudah melakukan revisi APBN sejak Juli lalu. Saat ini sudah tidak mungkin melakukan APBN-P, sebab pelelangan sudah dilakukan sehingga program belanja tidak bisa dihentikan.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only