Penerimaan Pajak DKI Tidak Optimal

Jakarta – Optimalisasi penerimaan pajak di DKI masih rendah. Setidaknya dapat dilihat dari upaya mengejar pajak kendaraan mewah yang hingga kini masih kedodoran. Maka peningkatan target pajak untuk menyeimbangkan belanja dan pendapatan APBD DKI 2020 yang telah disepakati sebesar Rp 87,1 triliun menjadi tantangan tersendiri.

“Seharusnya DKI berani untuk menetapkan APBD 2020 sebesar Rp 100 triliun. Rp 87,1 triliun itu kecil. Kalau mereka sejak awal mampu mengelola sektor pajak saya rasa tidak ada isu defisit APBD,” kata Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, di Jakarta, Rabu (27/11/2019).

DPRD DKI telah menyepakati Kebijakan Umum Anggaran dan Perkiraan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD DKI Jakarta 2020 sebesar Rp 87,1 triliun, jauh di bawah rencana awal sebesar Rp 95,5 triliun. Bahkan sempat diturunkan menjadi Rp 89,4 triliun.

Penerimaan sektor pajak harus ditingkatkan untuk menghindari adanya defisit sekitar Rp 6 triliun dari APBD DKI 2019 yang besarnya Rp 89,08 triliun. Pihak DKI mengatakan defisit keuangan disebabkan antara lain dana perimbangan dari pemerintah pusat yang tak sesuai ekspektasi. Awalnya Rp 25,81 triliun tetapi kemudian diturunkan menjadi Rp 15,2 triliun.

Adapun target pajak yang dinaikkan antara lain Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dari Rp 5,8 triliun menjadi Rp 5,9 triliun, pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dari Rp 1,35 triliun menjadi Rp 1,4 triliun, pajak Hotel dari Rp 1,9 triliun menjadi Rp 1,95 triliun.

Selanjutnya pajak parkir dari Rp 1,1 triliun menjadi Rp 1,35 triliun dan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan (PBB-P2) dari Rp 10,8 triliun menjadi Rp 11 triliun. Sedangkan dari total target pajak 2019 yang ditetapkan Rp 44,5 triliun, realisasinya per November ini baru sebesar Rp 33,5 triliun.

Sekda DKI Saefullah optimistis bisa mengejar sisa target pajak tersebut di sisa waktu 1,5 bulan. Sedangkan Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi DKI Faisal Syafruddin meminta DPRD turut membantu dengan mempercepat revisi regulasi pajak yang dinaikan ke depan.

Menanggapi situasi itu, Uchok menyebut, selama pengawasan pajak masih lemah maka optimalisasi penerimaan dari sektor pajak rawan penyalahgunaan. Terlebih data pajak tergolong rahasia negara yang tidak mudah untuk diakses termasuk oleh anggota DPRD DKI.

“Kalau tidak ada keterbukaan, penerimaan pajak tidak akan optimal bahkan terbuka potensi ‘mark down’. Jadi efektif atau tidaknya penerimaan pajak sangat bergantung dari pengawasan di DKI,” ungkapnya.

Dia meyakini, dengan memanfaatkan sektor pajak saja, DKI bisa membiayai seluruh pembangunan bahkan menutup biaya belanja. Selama ini dia tidak melihat hal itu lantaran sektor pajak tertutup.

Dia mencontohkan pengejaran pajak kendaraan mewah sebagai contoh buruknya pengelolaan pajak di DKI.

“Padahal cukup dari penerimaan hotel saja nilai pajak DKI pasti besar. Sekarang DKI apakah memiliki data jumlah hotel di ibu kota. Dana perimbangan pusat itu kecil. Cukup memanfaatkan gedung dan hotel saya rasa DKI bisa menutupi semuanya,” tutur Uchok.

Sumber : Beritasatu.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only