Dunia Usaha Dukung Kebijakan Omnibus Perpajakan

JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyiapkan sejumlah insentif perpajakan untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan peranan UMKM. Ditambah bagaimana meningkatkan iklim investasi dalam rangka meningkatkan penciptaan kesempatan kerja di Indonesia.

Kemenkeu telah menyiapkan Omnibus Perpajakan yang terdiri atas enam kelompok isu untuk meningkatkan kemampuan perekonomian Indonesia dalam menciptakan kesempatan kerja dan menyangkut Undang-Undang PPh, PPN, Undang-Undang KUP, Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta Undang-Undang Pemda yang terpengaruh atau yang dipengaruhi oleh undang-undang ini.

Kalangan dunia usaha berharap aturan yang terangkum dalam Omnibus Law yang disusun pemerintah bisa berpihak pada sektor usaha swasta. Selama ini, banyak sektor usaha yang belum mendapat perhatian, apalagi mengingat sektor usaha punya bidang bisnis yang luas.

“Pada dasarnya, kita mendukung usaha-usaha yang dilakukan pemerintah. Karena itu, berkoordinasi terus-menerus diperlukan,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perbubungan Carmelita Hartoto kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin.

Dia menambahkan bahwa pihaknya mengapresiasi pemerintah karena terus merangkul kalangan usaha mempermudah percepatan perizinan, termasuk melalui penyusunan Omnibus Law. “Kita di sektor usaha, yang penting berbisnis itu aman, diberikan kemudahan dan regulasinya tidak berbelit. Sebab bagaimana pun, pengusaha itu adalah mitra pemerintah yang juga perlu mendapat perhatian dari sektor pajak,” katanya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai insentif perpajakan dalam RUU Omnibus Law secara umum sudah cukup bagus. Namun jika ingin menarik investasi lebih banyak lagi maka perlu dukungan dari aspek-aspek lain. “Misalnya masalah logistik, kepastian hukum, stabilitas politik, pemda, itu semua harus mendukung dalam upaya peningkatan investasi. Tapi kalau bisa di-packing, saya kira cukup efektif,” ujarnya.

Dari sisi pajak, lanjut Yustinus, memang tidak bisa memberi banyak. Dalam jangka pendek, insentif tersebut bisa saja berdampak pada penerimaan pajak. “Penerimaan jangka pendek pasti tertekan, tapi itu konsekuensi merelaksasi supaya ekonomi tumbuh. Jadi, harapannya dapat multiplier effect,” tandasnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yaqut Cholil Qoumas mengatakan dirinya melihat beberapa poin yang disampaikan Menkeu dalam Omnibus Law Perpajakan. Namun, dia mengingatkan aturan tersebut tidak akan efektif jika tidak disinergikan dengan penerapan Omnibus Law Perizinan atau RUU Cipta Lapangan Kerja.

Sinergi antarregulasi dibutuhkan agar investasi juga terdorong masuk ke dalam negeri. “Soal Omnibus Law Perpajakan ini butuh sosialisasi. Namun, ini harus saling mendukung dengan Omnibus Law Perizinan dan RUU Cipta Lapangan Kerja,” ujar Yaqut.

Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan naskah akademik Omnibus Law perizinan tidak mengindikasikan pemerintah akan membentuk satu UU mengenai perizinan. Bisa saja UU yang dibentuk nantinya juga mengatur urusan lain seperti perpajakan, lapangan kerja, dan usaha mikro kecil-menengah (UMKM).

Dalam Omnibus Perpajakan, pada kelompok pertama PPh untuk badan turun dari 25% saat ini menjadi 22% dan 20%. Dengan rincian, 22% untuk periode 2021–2022 dan untuk periode 2023 akan turun menjadi 20%. Pemerintah juga akan menurunkan untuk pajak badan yang melakukan go public dengan pengurangan tarif PPh-nya 3% lagi di bawah.

Penurunan ini, lanjut Menkeu, terutama hanya untuk yang go public, baru selama lima tahun sesudah mereka go public. “Dengan demikian, untuk yang mereka go public, PPh-nya akan turun dari 22 menjadi 19 dan yang go public nanti tahun 2023 mereka akan turun dari 20% menjadi 17%, karena turun 3% di bawah tarif,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Pemerintah juga akan membuat penurunan tarif atau pembebasan tarif PPh dividen dalam negeri. Dalam hal ini, menurutnya dividen yang diterima oleh wajib pajak badan maupun orang pribadi akan dibebaskan, dan nanti akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan-peraturan pemerintah di bawahnya.

Untuk kelompok kedua adalah menyesuaikan tarif PPh Pasal 26 atas bunga, lanjut Menkeu, ini di dalam rangka untuk tarif pajak penghasilan. Pasal 26 atas penghasilan bunga dari dalam negeri yang selama ini diterima oleh subjek pajak luar negeri yang dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20%, yang selama ini berlaku dengan diatur dalam peraturan pemerintah.

Di dalam RUU Omnibus tersebut, pemerintah juga akan mengatur sistem teritori dalam rangka untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri, yaitu untuk wajib pajak yang penghasilannya berasal dari luar negeri baik dalam bentuk dividen maupun penghasilan setelah pajak dari usahanya, badan usaha tetapnya di luar negeri dividen tersebut tidak dikenakan pajak di Indonesia.

Untuk sistem teritori yang kedua, terutama untuk penghasilan tertentu dari luar negeri yaitu dari warga negara asing yang merupakan subjek pajak dalam negeri, yang selama ini mereka mendapatkan posisi sebagai dual residence, menurut Menkeu, maka yang dipajaki yang objek pembayaran pajaknya hanya PPh yang berasal dari penghasilannya yang berasal dari Indonesia.

Pemerintah tidak meminta penghasilan mereka yang berasal dari luar teritori Indonesia. Dalam memilih omnibus ini juga akan diatur mengenai subjek pajak orang pribadi, terutama yang selama ini cut off harinya adalah 183 hari, apakah berasal bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia.

Untuk warga negara Indonesia yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari, selama ini mereka dianggap masih sebagai subjek pajak dalam negeri, karena orang Indonesia walaupun tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari masih dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dan oleh karena itu, dikenakan PPh untuk pajak dalam negeri.

Sekarang dalam RUU ini, subjek pajaknya bisa dikecualikan apabila mereka memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mereka bisa dianggap subjek pajak luar negeri. Dan PPh yang diperoleh atas penghasilan yang berasal dari Indonesia dikenakan mekanisme pemotongan Pasal 26. Namun untuk pendapatan mereka yang berasal dari luar Indonesia itu adalah subjek pajak di luar negeri, karena sudah lebih dari 183 hari.

Untuk warga negara asing yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari, otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri. “Kita juga akan melakukan sama, namun pajak yang dibayar oleh warga negara asing yang ada di dalam negeri adalah hanya atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia saja,” kata Sri Mulyani.

Bagian lain dari RUU ini juga mengatur mengenai hak untuk mengkreditkan pajak masukan, terutama bagi pengusaha kena pajak. Ini terutama pengusaha kena pajak yang memperoleh barang ataupun jasa, namun dari pihak yang bukan merupakan pengusaha kena pajak. Selama ini mereka tidak bisa melakukan pengkreditan.

Di dalam undang-undang ini nanti, Menkeu mengusulkan agar mereka tetap bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut maksimal 80%. Bagian keenam adalah mengenai sanksi di dalam RUU ini. Kementerian Keuangan mengusulkan bahwa sanksi administrasi bagi pelanggaran penerimaan pajak yang selama ini dihitung berdasarkan flat rate yaitu 2% per bulan.

Kemenkeu akan mengubah berdasarkan tarif bunga yang berjalan sekarang ini dan dibagi berdasarkan berapa lama mereka, dengan tentu saja memberikan perhatian bahwa sanksi tersebut adalah dianggap adil karena sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku sekarang ini dengan suku bunga yang rendah tentu akan memberikan keuntungan bagi mereka untuk bisa komplain lebih baik.

Tujuannya adalah untuk para wajib pajak untuk dapat meningkatkan komplainnya dan mereka bisa menghitung sanksi administrasinya secara lebih rasional, dan oleh karena itu kemudian bisa menciptakan kultur komplain yang lebih baik.

Sumber : sindonews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only