Cuma Utang yang Selamatkan APBN 2019 dari Shortfall Rp 140 T

Kinerja penerimaan pajak periode Januari – Oktober 2019 agak mengkhawatirkan. Penerimaan perpajakan Januari-Oktober 2019 tercatat Rp 1.173,9 triliun, baru 65,7% dari target dalam APBN 2019.

Khusus penerimaan pajak sendiri, hingga 31 Oktober 2019 telah terealisasi Rp 1.018,47 triliun atau hanya mencapai 64,56% dari target sebesar Rp 1.577,56 triliun di APBN 2019.

Dalam situasi ekonomi 2019 yang cenderung tidak normal, kinerja penerimaan pajak bisa jadi lebih buruk. Defisit anggaran dan utang pemerintah kemungkinan besar akan turut meningkat.

DJP saat ini mulai menyisir para pemilik rekening Jumbo di perbankan di atas Rp 1 miliar. Keputusan memberlakukan rencana tersebut dianggap semakin mempertegas stigma sejumlah pihak yang menganggap bahwa otoritas pajak bagaikan berburu di ‘kebun binatang’ dalam mengejar kewajiban perpajakan.

“Menurut saya ini suatu rencana yang blunder,” kata Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara saat berbincang dengan CNBC Indonesia, pekan lalu.

Bhima mempertanyakan data-data hasil program pengampunan pajak yang seharusnya bisa dipergunakan fiskus untuk mengejar kewajiban perpajakan kelas kakap. Namun, yang dikejar justru wajib pajak yang selama ini patuh.

“Kenapa nggak follow up data-data mereka yang tidak ikut tax amnesty? Atau data hasil informasi perpajakan yang katanya sudah ada di tangan pemerintah. Kenap itu nggak di follow up?,” kata Bhima.

“Jadi bukan berburu di kebun binatang gini. Kalo gini akan blunder ke ekonomi. Akan membuat takut deposan dan ganggu likuiditas perbankan apalagi di 2020, konteks likuiditas ketat. Jangan bikin kebijakan tanpa ada kajian,”

Dengan sisa waktu yang ada saat ini, rasanya memang sulit untuk mengerahkan berbagai upaya yang lain untuk bisa menambal defisit APBN. Satu-satunya jalan adalah dengan utang.

Kekurangan penerimaan pajak ini sudah tentu membuat defisit anggaran hampir pasti melebar. APBN 2019 menetapkan defisit 1,87% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tetapi bakal bertambah menjadi sekitar 2,2% PDB.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pekan lalu juga sempat memberi imbauan kepada masyarakat agar jangan men-stigmatisasi (membuat stigma) utang pemerintah buruk.

Pasalnya, pelebaran defisit itu diklaim untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah melambatnya perekonomian global. Sehingga pemerintah harus memberikan stimulus kepada masyarakat, terutama di daerah untuk bisa menjaga daya beli.

“Pemerintah akan melakukan pengeluaran barang, modal, dan transfer ke daerah. Ketika perekonomian melemah, maka penerimaan pajak juga pasti berkurang. Supaya APBN bisa memberi support ke perekonomian, maka defisit harus dilebarkan,” ujar Suahasil.

“Defisit tambah besar, utang tambah banyak. Karena itu jangan stigmatisasi utang. Karena pada saat diperlukan kita harus pake alat itu,” kata Suahasil melanjutkan.

Menurut Suahasil utang adalah alat dan apabila dipakai dengan benar, utang bisa menghadirkan keberkahan tersendiri.

“Kalau utang sudah di-stigmatisasi dari awal dan ketika diperlukan, kita tidak bisa pakai, dan tidak bisa lebarkan defisit. Juga, tidak bisa menjaga pengeluaran supaya menjaga momentum pertumbuhan lebih cepat. Itu kita nggak mau,” tuturnya.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2019 berada di angka Rp 4.756,13 triliun. Rasio utang ini mencapai 29,87% terhadap PDB.

Adapun posisi utang ini mengalami kenaikan sebesar Rp 277,56 triliun dibandingkan posisi Oktober 2018 yang tercatat sebesar Rp 4.478,57 triliun.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only