Sengketa Terkait Pajak Digital Jadi Sorotan

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, setidaknya sudah ada 26 aksi unilateral di seluruh dunia terkait pajak layanan digital yang telah diberlakukan maupun dalam proses diberlakukan.

MUMBAI, Aksi unilateral negara-negara untuk pengenaan pajak ekonomi digital terus bergulir. Langkah itu antara lain menuai sengketa pajak antarnegara yang berpotensi memicu perang dagang baru.
Desakan agar Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) segera melahirkan konsensus global terkait perpajakan transaksi ekonomi digital, menguat.

Hal itu terungkap dalam Konferensi Perpajakan Internasional 2019. Konferensi tahunan ke-24 itu bertema “Menjawab Tantangan Pajak Ekonomi Digital”, di Mumbai, India, Kamis (5/12/2019). Konferensi dihadiri peserta dari 28 negara, termasuk Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) Indonesia.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, setidaknya sudah ada 26 aksi unilateral di seluruh dunia terkait pajak layanan digital yang telah diberlakukan maupun dalam proses diberlakukan. Sejumlah negara itu di antaranya Perancis, Republik Ceko, Italia, Turki, Meksiko, Kanada, dan Uganda. Uni Eropa juga akan meluncurkan skema pajak layanan digital jika konsensus global tidak dapat segera dicapai.

President Asosiasi Fiscal Internasional (IFA) 2012-2017 Murray Clayson mengemukakan, aksi unilateral pemberlakuan pajak layanan digital terus menyebar. Inggris berencana memberlakukan pajak layanan digitalnya sendiri mulai April 2020. Di sisi lain, Amerika Serikat dengan keras mempertahankan sikap oposisinya terhadap langkah-langkah tersebut, yang dapat memicu balas dendam atau penghambat kesepakatan perdagangan.

Wakil Direktur Pusat Kebijakan dan Administrasi Pajak OECD Grace Perez-Navarro mengemukakan, pihaknya berharap konsensus global terkait perpajakan digital dapat tuntas pada akhir Juni 2020. Aksi unilateral pemajakan transaksi ekonomi digital oleh negara-negara tanpa disertai solusi berbasis konsensus multilateral dinilai dapat menuai kekacauan pajak internasional.

Perang sengketa pajak dapat beralih menjadi perang dagang.

Ia mencontohkan, saat ini terjadi sengketa pajak antara Perancis dan AS yang dapat berujung pada perang dagang baru. AS mengancam mengenakan tarif hingga 100 persen atas barang impor dari Perancis, termasuk minuman sampanye, tas dan produk-produk lainnya senilai 2 miliar dollar AS. Ancaman tarif itu disampaikan AS setelah penyelidikan pemerintah AS menemukan pajak layanan digital Perancis yang baru akan merugikan perusahaan teknologi AS.

“Perang sengketa pajak dapat beralih menjadi perang dagang. Dapat dibayangkan, jika sanksi perdagangan dijatuhkan, akan muncul sanksi perdagangan balasan dan ini akan merusak perdagangan bebas. Untuk itu, kami berupaya menemukan solusi untuk segera menghasilkan konsensus global,” katanya.

Ditanya terkait omnibus law untuk perpajakan di Indonesia, Grace berpendapat, sepanjang regulasi itu menyederhanakan prosedur pengumpulan pajak, maka langkah itu dinilai baik. Beberapa negara dinilai telah melaksanakan langkah itu dengan efektif, seperti Australia.

Sebaliknya, aturan sepihak tersebut menjadi kurang efektif jika bertentangan dengan sistem pajak internasional yang merujuk pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Ia juga mengingatkan agar langkah sepihak negara untuk pemajakan digital memperhitungkan potensi sengketa pajak dengan negara lain.

Secara terpisah, Managing Partner DDTC Darussalam mengemukakan, konsensus global kini menghadapi tantangan karena pertarungan kepentingan hak pemajakan dan porsi pajaknya. “Apabila konsensus global tidak menguntungkan posisi Indonesia, Indonesia dapat membuat aksi sepihak untuk memajaki ekonomi digital,” katanya

Ia menambahkan, omnibus law bidang perpajakan bukan UU Pajak penghasilan (PPh), sehingga tidak tunduk pada konsensus global yang berbasis P3B. Dengan demikian, negara mitra tidak bisa menuntut pakai P3B.

Agar efektif, UU Omnibus Law bidang perpajakan wajib mengatur tarif dan dasar pengenaan pajak. Omnibus Law itu bisa dibuat permanen, atau bersifat sementara sambil menunggu konsensus global tercapai.

Sumber : Harian Kompas

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only