Pengamat: Toko Online Skala Mikro Sebaiknya tak Dipajak

BANDUNG — Pengamat Ekonomi Acuviarta Kartabi menilai pajak e-commerce sebaiknya jangan diberlakukan sama rata. Menurutnya, pemerintah jangan menarik pajak dari toko online yang masih berskala mikro.

Karena, kata dia, toko online berskala mikro seharusnya mendapat insentif dari pemerintah. “Tidak semua e-commerce bisa dipajaki. Pelaku usaha mikro yang omzetnya masih kecil, jangan dikenakan kewajiban membayar pajak. Itu sebagai insentif,” ujar Acuviarta di acara FGD Bandung Tax Forum di Hotel Grandia, Jln. Cihampelas, Bandung, Selasa, (10/12).

Menurut Acuviarta, pelaku usaha mikro ditarik pajak, maka akan kontraproduktif dengan upaya pemerintah mendorong tumbuh kembang UMKM di Indonesia. Bukan tidak mungkin, banyak di antara mereka yang akan mati sebelum berkembang.

Namun, kata dia, jika usaha yang dipajaki adalah usaha skala kecil menengah (UKM) yang omzetnya sudah cukup stabil, hal itu wajar. Apalagi saat ini transaksi e-commerce terus menanjak.

“Selama ini memang ada potential loss pajak yang cukup besar dari e-commerce. Salah satunya berasal penjualan produk luar melalui e-commerce,” katanya.

Ia juga tidak menampik penjualan produk oleh pelaku UKM yang sudah mengantongi omzet signifikan selama ini melenggang bebas menjual produk tanpa dibebani kewajiban membayar pajak.

Acuviarta menilai, kondisi itu menimbulkan persaingan tidak sehat dengan pelaku usaha offline yang selama ini sudah dikenakan kewajiban membayar pajak. Pelaku usaha offline, banyak yang kalah bersaing karena harus memperhitungkan pajak dalam harga jual produknya.

“Sebetulnya pajak e-commerce memiliki sisi positif dalam bentuk perlindungan produk lokal dari serangan impor serta membangun iklim persaingan sehat antara sektor usaha offline dan online,” paparnya.

Acuviarta mengatakan, dengan adanya kewajiban membayar pajak bagi pelaku e-commerce, penjual dari luar negeri tidak akan leluasa lagi berjualan di e-commerce Indonesia. Karena, mereka harus terdaftar secara resmi.

Selain itu, kata dia, harga jual produk mereka juga bisa lebih terjaga karena adanya komponen pajak dalam perhitungan harga jual. Dengan demikian, daya saing produk lokal akan terjaga.

“Akan tetapi, sebelum memberlakukan kebijakan pajak e-commerce tersebut pemerintah sebaiknya membuat aturan teknis secara terinci,” katanya.

Pemerintah, kata dia, harus mendefinisikan UMKM mana saja yang diwajibkan membayar pajak. Kriteria tersebut harus disusun berdasarkan perhitungan omzet usaha dan volume transaksi. Dalam merealisasikan aturan pajak e-commerce, pemerintah jangan hanya menjadikan fiskal sebagai pertimbangan utama. “Pertimbangkan juga serapan tenaga kerja dan sumber daya lokal,” katanya.

Sementara menurut Asisten Daerah Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kota Bandung Erik M Ataurik, potensi bisnis e commerce di Kota Bandung memang cukup besar. Namun, hingga saat ini Pemkot Bandung belum memiliki aturan untuk mengambil pajaknya. Padahal, potensinya cukup tinggi dan bisa menambah pendapatan asli daerah (PAD).

“Nah kami sedang memikirkan bagaimana agar potensi pajak ini tak jadi potential loss. Dulu belum ramai transportasi online. Sekarang, tak hanya transportasi bisnis perhotelan dan restoran online juga ramai. Harus dipikirkan bagaimana agar Pemkot bisa menerobos dan intervensi itu,” katanya.

Seperti diketahui, dengan adanya Perarturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), mulai awal 2020 semua pelaku e-commerce harus mengantongi izin usaha. Kewajiban mengantongi izin tersebut tentu akan berkorelasi dengan keharusan membayar pajak bagi pelaku e-commerce.

Selama ini pelaku e-commerce tidak diwajibkan mengantongi izin usaha. Karena tidak terdata, mereka juga tidak memiliki kewajiban membayar pajak, yang tentu saja berbanding terbalik dengan pelaku usaha offline.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only