Sepeda Lokal Melaju, Impor pun Menyerbu

Industri sepeda masih menunjukkan pertumbuhan positif. Kinerja bakal lebih baik asalkan ada perlakukan yang adil atas sepeda impor.

Boleh juga niat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menciptakan Jakarta sebagai kota ramah buat pesepeda. Selain menyipaka ruas jalan khusus sepeda, Pemprov DKI juga Menyediakan rak-rak sepeda di kawasan stasiun MRT. Targetnya,diakhir tahun ini semua stasiun MRT sudah dipasangi rak untuk tunggangan roda dua itu.

Tak cuma di stasiun MRT. Nantinya rak-rak speda juga akan dibangun di area stasiun KRL dan halte busway.

Hanya, sayang, sudah hampir tiga bulan rak-rak sepeda di kawasan stasiun MRT terpasang, tapi belum tampak geliat warga yang memanfaatkannya. Seperti yang terlihat di Stasiun Senayan, pada Rabu (11/12) lalu, tak terlihat satu pun sepeda yang terparkir.

Begitu halnya dengan beberapa rak sepeda yang terpasang di ruas Jl. Jend Sudirman, Jakarta; hanya ada satu sepeda terparkir. Itu pun tampaknya hanya sepeda pancingan belaka.

Kendati fasilitas ini belum dimanfaatkan warga, tapi aling tidak sudah menjadi kabar baik bagi masyarakat. Bukan hanya bagi pesepeda doang, fasilitas-fasilitas pendukung ini juga yang ditunggu-tunggu oleh para penjual sepeda.

“Sedikit banyak akan berpengaruh ke toko kami. Tak sedikit pembeli yang datang ingin memiliki sepeda karena di MRT sudah boleh bawa sepeda.Parkiran juga ada, “ujar Gilbert, pemilik Toko Speda Yeriko.

Pengalaman membuktikan. Menurut Gilbert, ketika dulu pihak KRL mengizinkan sepeda lipat masuk di kereta, permintaan sepeda lipat di tokonya juga meningkat.

Infrastruktur yang memadai menjadi salah satu pendorong majunya industri sepeda.

Pun dengan layanan transportasi baru macam MRT yang pada akhirnya membuat penjualan sepeda lipat di Toko Sepeda Yeriko, yang terletak di Jl Raya Bogor No.21, Jakarta, kembali mengalami panen penjualan. Gilbert bilang, peningkatan itu terjadi dalam kurun enam bulan terakhir.

Hal itulah yang mendongkrak penjualan sepeda secara keseluruhan di Tahun 2019, hingga naik dua sampai tiga kali lipat dibanding dengan tahun lalu.

Nah, yang mencolok memang sepeda lipat. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo) Eko Wibowo menyebut, dalam dua tahun terakhir tren penjualan sepeda lipat memang meningkat. “Market share penjualan sepeda lipat kini sebesar 60% sampai 70%, “kata Eko kepada wartawan KONTAN, Muhammad Julian.

Ketua Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia (AIPI) Rudiyono menambahkan, peminat sepeda lipat yang kian berlipat-lipat itu mendorong produsen sepeda seperti United dan Polygon untuk kian banyak memproduksi sepeda lipat. Sebelumnya, mereka tak fokus di sepeda lipat.

Direktur Polygon William Gozali bilang, peningkatan permintaan sepeda lipat terjadi karena konsumen ingin memiliki sepeda yang compact dan stylish. Tren tahun depan pun diperkirakan tidak akan banyak berubah. “Tapi kalau saya lihat, permintaan sepeda jenis MTB masih mendominasi permintaan pasar, sekalipun belakangan permintaan sepeda lipat meningkat pesat, “katanya.

Tahun ini, Polygon mengaku penjualannya mengalami peningkatan yang cukup baik. Sayangnya, William enggan menyebutkan besarannya.

Hal serupa juga diungkapkan Chief Executive Officer PT Roda Maju Bahagia Hendra. Produsen sepeda dengan merek Element ini mengaku penjualan tahun ini tumbuh hingga 50 % dibandingkan tahun lalu. Target tahun ini sekitar 200.000 unit.

Rudiyono memandang, secara keseluruhan, tahun ini industri sepeda di Tanah Air memang masih tumbuh. Hanya saja, pertumbuhannya tidak begitu besar. “Angka pastinya belum ada, tapi adalah peningkatan 5% samapai 10%, “ujarnya.

Lebih optimis

Tahun depan, para produsen dan penjual sepeda semakin yakin melajukan pertumbuhan.Pihak Polygon maupun Element melihat tren sepeda lipat masih akan terjadi. Kesadaran untuk hidup lebih sehat diprediksi akan meningkat, terutama untuk warga kota besar.

Menurut Hendra, pertumbuhan besar bakal terjadi tahun depan apabila ada dukungan pemerintah. Dukungan itu antara lain dalam hal ketersediaan jalan yang lebih banyak untuk pesepeda.”Kalau demikian, tahun 2020 kami bisa capai 300.000 unit sepeda, “katanya.

Selain peningkatan sepeda lipat, tahun depan sepeda listrik juga bakal menjadi tren tersendiri. Semangat pemerintah untuk menggerakkan industri mobil dan motor listrik bakal menjadi momentum bagi pasar sepeda listrik.

“Sekarang saja, permintaannya sudah lumayan.Kalau di toko kami, sepeda listrik merek Selis dan Volta yang banyak di minati, “jelas Gilbert.

Tren sepeda listrik tahun depan sudah terbaca Polygon. Akhir Oktober lalu, Polygon meluncurkan dia jenis sepeda listrik dengan sistem pedelec; yaitu Sage V3 dna Path E5.

Yang perlu konsumen ketahui, antara sepeda listrik dan pedelec itu berbeda. Untik sepeda listrik, pesepeda tak perlu mengayuh buat menggerakkan motor, cukup memekai tangan. Sebaliknya untuk pedelec alias sepeda pedal elektrik. Pesepeda harus mengayuh untuk menjalankan motor. Tapi sekalipun harus mengayuh, beban pesepeda tetap ringan karena sekali kayuh akan ada dorongan dari motornya yang membuat sepeda meluncur.

Polygon meluncurkan produk ini karena ingin membagikan sensasi berolahraga yang menyenangkan. Tetap dapat keringat karena harus mengayuh tapi juga tidak terlalu lelah karena ada tenaga motornya. “Dengan teknologi inilah harapan kami dua jenis sepeda ini dapat meningkatkan minat konsumen bersepeda,”ujar William.

Polygon membanderol Sage V3 Rp 13 juta per unit. Pada awal peluncuran, sepeda ini hanya diproduksi sekitar 200 unit dan langsung habis.

Selain adanya tren didalam negeri, peluang untuk ekspor sepeda juga masih terbuka lebar. William bilang, adanya perang dagang antara China dan AS membuka peluang bagi produk sepeda Indonesia untuk masuk pasar AS dan Eropa. Tahun ini, dengan kapasitas pabrik 720.000 unit per tahun, negara tujuan ekspor produsen sepeda menyasar Eropa, Selandia Baru, Australia, dan AS. Porsi Antara Ekspor dan domestik nyaris seimbang.

Upaya ekspor ini juga akan dilakukan oleh Element. Tahun depan, produsen sepeda yang baru saja pindah ke Kendal, Jawa Tengah, ini akan bekerjasama dengan produen sepeda lipat terbesar di Amerika, Dahon. Pihak Element akan memproduksi sepeda merek Dahon, yang selanjutnya akan diekspor ke Eropa dan negara-negara di Asia pada semester dua tahun depan.

Masih dominasi impor

Sekalipun peluang industri sepeda Tanah Air besar untuk tumbuh, namunprodusen sepeda masih m emiliki kegelisahan.Rudiyono mengungkapkan, pasar sepeda di Indonesia sebesar 6,5 juta sampai 7 juta unit per tahun. Tapi dari angka itu, produksi lokal hanya sekitar 2,2 juta sampai 2,5 juta. Ya, pasar sepeda Indonesia masih dikuasai sepeda impor.

Melansir data BPS, periode 2016 hingga 2018 saja terjadi lonjakan impor sepeda yang sangat signifikan.

Produk-produk impor rata-rata memang lebih murah ketimbang produk lokal. Masyarakat yang masih sensitif dengan harga jelas akan memilih harga termurah sekalipun kualitasnya tak maksimal.

Gempuran sepeda impor inilah yang boleh jadi membuat salah satu produsen sepeda lokal, Wimcycle, harus berhenti produksi. Padahal, produsen sepeda berbasis di Surabaya, Jawa Timur, ini sudah eksis sejak era tahun 1970-an.

“Di sisi lain, banyak pemain lokal yang juga akhirnya memilih mengimpor langsung barang jadi. Ya, mau bagaimana? Biaya impor lebih murah ketimbang biaya produksi di dalam negeri,”jelas Rudiyono.

Pajak impor barang jadi hanya 5%. Besaran itu juga diterapkan untuk pajak impor bahan baku. Ya, tentu saja hal itu membebani produsen lokal.

William berharap, regulator dapat menertibkan impor sepeda sehingga lebih adil bagi industri dalam negeri. “Kami tidak minta fasikitas. Kami hanya mengharapkan perlakuan adil,” tegasnya.

Menurut William, di Indonesia banyak sekali beredar sepeda impor berharga puluhan juta  rupiah hingga ratusan juta rupiah lebih. Tapi fakta itu sama sekali tidak tercermin di data impor Indonesia.

Data impor menunjukkan rata-rata harga impor sepeda hanya Rp 200.000 per unit sehingga bea masuk dan pajak yang dibayar tidak lebih dari Rp 30.000 per unit. “Ini tidak fair karena setiap sepeda yang diproduksi di dalam negeri membayar pajak sekitar 15% dari harga jual. Sedangkan sepeda impor mahal bisa masuk dengan cara tidak jelas dengan bea masuk dan pajak jauh lebih rendah,”tandas William.

Hendra curhat, phaknya kesulitan buka pabrik baru. Sebab biaya produksi lebih besar nketimbang impor sepeda. Maklum, bea masuk suku cadang dan sepeda impor sama. Sementara, tahun lalu ada selisih 10%.

Namun, Element yang sudah punya pabrik senilai Rp 373,7 miliar dengan luas 2,5 hektare itu tak hilang akal. Element memilih untuk memproduksi sepeda yang berkualitas lebih bagus ketimbang sepeda impor. Dan, menyasar segmen yang lebih peka akan kualitas.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only