Realisasi Investasi Kunci Ekonomi

JAKARTA. Tahun 2019 belum sepenuhnya berpihak kepada perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak, meskipun sejumlah kebijakan telah ditempuh, baik dari sisi moneter maupun fiskal, nyatanya pertumbuhan ekonomi belum beranjak dari angka 5%, bahkan mulai terlihat mulai melambat. Kelesuan ekonomi global dituding menjadi biang kerok perlambatan ekonomi Indonesia. Akibat perang dagang Amerika Serikat dan China, misalnya, menekan ekspor dan menahan arus investasi ke dalam negeri. Pada saat bersamaan, berbagai faktor di dalam negeri turut pula berandil pada kelesuan ekonomi. Salah satunya, kerasnya persaingan di masa pemilu awal tahun ini, mengerem arus investasi investor lokal maupun dari luar negeri.
Tak heran bila laju ekonomi cenderung melambat dari kuartal ke kuartal di tahun ini. Awal tahun 2019, ekonomi Indonesia tumbuh 5,07%. Pada kuartal kedua dan ketiga, ekonomi tumbuh tipis masing-masing 5,05% dan 5,02%. Berbagai cara ditempuh untuk menghela laju ekonomi agar lebih kencang. Memasuki kuartal III-2019, misalnya, Bank Indonesia (BI) mulai memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5,75%.
Penurunan BI7DRRR terus berlanjut sebanyak empat kali dengan total 100 bps sejak Juli hingga Oktober menjadi 5%. BI juga melonggarkan giro wajib minimum (GWM) dua kali dengan total sebesar 100 bps, hingga relaksasi uang muka kredit properti dan kendaraan. Toh, berbagai upaya itu belum terlihat tajinya. Proyeksi sejumlah lembaga ekonomi dunia, ekonomi Indonesia tahun ini tumbuh tipis diatas 5%. Prediksi BI dan Kementrian Keuangan (Kemenkeu), ekonomi tahun ini tumbuh 5,05%. Proyeksi tren pelemahan ekonomi sesungguhnya masih menyisakan kontasiksi dengan prestasi yang tercatat din indikator makro ekonomi Indonesia. Mulai dari inflasi yang rendah, rupiah cenderung stabil, dan konsumsi masyarakat yang terjaga.
Masih ada risiko domestik
Yang terang, tantangan ekonomi tahun depan belum ringan. Banyak rintangan yang siap mengadang, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Ekonomi Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat, situasi ekonomi tahun depan masih mirip dengan aat ini. Pertama, ada risiko potensi kenaikan inflasi di awal tahun akibat kenaikan sejumlah tarif yang diataur pemerintah (administered prices), yaitu harga rokok, premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS) Kesehatan, dan tarif listrik 900 volt ampere (VA). Tapi, prediksi dia, inflasi sepanjang tahun depan tak akan beda jauh dengan inflasi tahun ini.
Kedua, tekanan pasar ekspor masih besar. Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan, kesepakatan datang fase pertama antara AS dan China awal tahun 2020 tak serta merta menggairahkan perdagangan global. Situasi ini masih berpengaruh terhadap ekspor Indonesia. Dalam situasi seperti ini, selain konsumsi dan belanja pemerintah, investasi jadi motor ekonomi. Nah, sinyal waspada ini agaknya mulai ditangkap BI. “Kami akan mencermati perkembangan ekonomi domestik dan global dalam memanfaatkan ruang kebijakan moneter yang akomodatif, baik dari bentuk kebijakan, besaran, maupun waktunya,” kata Perry Warjiyo, Gubernur BI beberapa waktu lalu.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menyatakan, saat ini fokus BI adalah menggunakan pedal gas untuk menggenjot kebijakan makroprudensial. Menurut dia, BI masi bisa memberi relaksasi kebijakan untuk mendorong sektor riil melalui kredit perbankan. “Lending nanti sifatnya lebih prudent, lebih selektif dan ada disinsentif melalui RIM (Rasio Intermedasi Perbankan),” kata Dody. Pemerintah juga telah menyiapkan jurus utama untuk menggairahkan perekonomian tahun depan lewat dua aturan sapu jagat, yaitu Omnimbus Law perpajakan dan Omnimbus Law Cipta Lapangan Kerja. Dua beleid ini rencananya akan diserahkan ke DPR Januari mendatang. “Dengan Omnimbus Law, investor lebih confidence, apalagi pertumbuhan ekonomi dunia lebih baik.” Kata Iskandar Simonangkir, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian kepada KONTAN, Jumat(20/12).
Pelaksana tugas kepala badan kebijakan fiskal Kemenkeu Arif Baharudin menambahkan, insentif perpajakan lewat tax allowance, tax holiday,super deduction tax, dan belanja pajak lain akan ditambah thun depan. Ini bertujuan unutuk menarik investor pada semester I-2019 sebagai antisipasi sebelum omniombus law diterapkan. Melalui bauran kebijakan tersebut, BI optimis ekonomi tahun depan tumbuh 5,1%-5,5%. Prediksi pemerintah, ekonomi tahun depan bisa tumbuh 5,3%.


Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only