Dana repatriasi tax amnesty diprediksi masih bertahan di Indonesia

JAKARTA. Holding period dana repatriasi dari pemutihan pajak atau tax amnesty periode pertama dan kedua telah berakhir pada 31 Desember 2019. Sehingga, Wajib Pajak (WP) terkait memiliki hak untuk tetap menaruh dana ke aset investasi dalam negeri atau kembali ke luar negeri.

Adapun skema soal holding period diatur dalam PMK No.141/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.16/2016 tentang Pengampunan Pajak. Beleid tersebut menyebutkan bahwa waktu tiga tahun dihitung sejak wajib pajak menempatkan harta tambahannya di cabang bank persepsi yang berada di luar negeri dimaksud.

Artinya dengan maksimal waktu pengalihan untuk WP yang memanfaatkan periode 1 atau 2 adalah 31 Desember 2016, maka untuk periode 1 dan 2 holding period maksimal berakhir pada 31 Desember 2019.

Informasi saja, Kemenkeu menunjuk 18 bank persepsi sebagai lahan penampung dana repatriasi. Dus, wajib pajak peserta tax amnesty tersebut menginvestasikan dananya ke berbagai instrument investasi salah satunya instrument surat berharga atau obligasi.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) realisasi repatriasi pada periode tax amnesty jilid pertama dan kedua masing-masing sebesar Rp 130 triliun dan Rp 10,5 triliun. Bila dikalkulasikan angka tersebut senilai Rp 140,5 triliun, jumlah ini setara 95,7% dari total nilai repatriasi yang mencapai Rp 146,7 triliun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya belum menghitung berapa dana repatriasi yang masih hinggap di dalam negeri sampai akhir holding period tahun lalu.

Otoritas pajak mencatat, dana repatriasi holding periode pertama yang jatuh pada 31 Agustus 2019 masih mencatatkan jumlah yang sama dari total dana repatriasi.

“Sampai akhir tahun ini belum kami hitung, kalau selesai holding period-nya, sudah tidak ada kewajiban diinvestasikan di dalam negeri,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Selasa (31/12).

Yoga menambahkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku aset atau dana repatriasi yang telah melewati holding period selain dianggap tidak memiliki dosa pajak, juga bebas dari kewajiban investasi di dalam negeri.

Namun demikian, pemerintah meyakini dana repatriasi masih banyak bertengger di dalam negeri karena kinerja investasi dalam negeri yang positif pada 2019.

Di sisi lain, Kepala Ekonom Center of Reform Economics (CORE) Piter Abdullah menilai dana repatriasi besar kemungkinan untuk bertahan di Indonesia.

Alasannya, pemilik dana repatriasi tersebut adalah pengusaha Indonesia yang tentunya sangat paham kondisi termasuk risiko investasi dalam negeri, sementara imbal hasilnya masih relatif tinggi.

Sepanjang tahun 2019 instrumen investasi obligasi korporasi memberikan imbal hasil 14,01%, sementara obligasi pemerintah 13,9%. Kata Piter dengan tingkat risiko yang terukur dan imbal hasil masih menarik, pemilik dana repatriasi akan melanjutkan investasinya di Indonesia.

Sementara untuk tahun depan, iklim investasi dalam negeri diramal akan membaik. Berbagai upaya pemerintah termasuk rencana penerbitan undang-undang (UU) Omnibus Law, serta komitmen pemerintah terus membangun berbagai infrastruktur adalah gambaran bahwa iklim investasi tahun 2020 akan lebih baik.

Dari sisi kinerja obligasi pemerintah tahun depan, Piter memandang sekiranya akan tetap baik terutama didukung oleh kondisi likuiditas global yg masih akan cukup berlimpah. Namun, tantangan ada di pasar obligasi swasta pasca adanya gagal bayar obligasi sektor swasta di tahun 2019.

“Jauh dari kata rawan. Apalagi didukung juga oleh kebijakan moneter yang akomodatif. Yang masih kita harapkah adalah kebijakan yang lebih longgar di sisi fiskal,” kata Piter kepada Kontan.co.id, Selasa (31/12).

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan terpenting bagi otoritas pajak adalah telah mempunyai data terkait dengat aset tersebut untuk dapat memetakan serta mengawasi dana repatriasi tax amnesty dalam sistem administrasi pajak.

“Pengawasan bisa dilakukan tidak hanya melalui Automatic Exchange if Information (AEoI) saja, tetapi juga bisa melalui saluran lainnya seperti pemeriksaan dengan segala turunannya,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Rabu (1/1).

Namun demikian dana repatriasi tax amnesty tidak menuntut kemungkinan untuk kembali ke luar negeri. Sampai akhir September 2019, otoritas pajak mencatat jumlah yurisdiksi partisipan AEoI mencapai 98 negara atau terjadi peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 65 negara.

Sayangnya, negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Swis belum menyetorkan data informasi tersebut. Asal tahu saja, kedua negara tersebut merupakan salah satu pelarian wajib pajak sebagai tempat persembunyian harta kekayaan sebagai modus penggelapan pajak.

Sumber : Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only